Mengancam Bunuh Presiden dengan Warga Negara Biasa, Apa Bedanya?
Utama

Mengancam Bunuh Presiden dengan Warga Negara Biasa, Apa Bedanya?

Tanpa adanya indikasi bahwa ancaman tersebut memang akan dilaksanakan maka belum bisa dikatakan ucapan tersebut sebagai perbuatan makar untuk bisa membunuh presiden.

Hamalatul Qur'ani
Bacaan 2 Menit
Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol Argo Yuwono (tengah) dan Wadir Krimum Polda Metro Jaya AKBP Ade Ary Syam Indradi (kiri) dan Kanit I Subdit Jatanras Polda Metro Jaya AKP Hendro Sukmono (kanan) menunjukkan pakaian tersangka HS yang menjadi barang bukti saat memberi keterangan terkait kasus video dugaan makar dan ancaman pembunuhan terhadap Presiden Jokowi di Polda Metro Jaya, Jakarta, Senin (13/5). Foto: RES
Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol Argo Yuwono (tengah) dan Wadir Krimum Polda Metro Jaya AKBP Ade Ary Syam Indradi (kiri) dan Kanit I Subdit Jatanras Polda Metro Jaya AKP Hendro Sukmono (kanan) menunjukkan pakaian tersangka HS yang menjadi barang bukti saat memberi keterangan terkait kasus video dugaan makar dan ancaman pembunuhan terhadap Presiden Jokowi di Polda Metro Jaya, Jakarta, Senin (13/5). Foto: RES

Baru-baru ini publik digemparkan soal menyebarnya video ‘ancaman pembunuhan’ yang dialamatkan kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi). Bahkan setelah serangkaian pemeriksaan, terduga pelaku (HS) telah ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan di Polda Metro Jaya. Persoalannya, apakah atas ucapan yang dikeluarkan HS sudah tepat dikenakan pasal makar? Ataukah lebih tepat dikenakan jerat pidana berupa ancaman terhadap presiden?

 

Lantas bagaimana bila ancaman tersebut dialamatkan kepada Warga Negara biasa? Apakah jerat pidana mengancam membunuh orang biasa disamakan dengan ancaman membunuh presiden? Pertanyaan mendasar yang juga akan muncul, apakah ancaman tersebut akan ditafsirkan untuk pribadi presiden sebagai seorang calon presiden (warga Negara biasa) atau dialamatkan terhadap jabatan Jokowi yang memang saat ini masih menjabat sebagai Presiden?

 

Pakar pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, menjelaskan bahwa kondisi objek ancaman (jabatan presiden dengan warga Negara biasa) itulah yang karet. Sehingga, Ia beranggapan bahwa terhadap kasus ini bisa saja dikenakan dua pasal pidana tergantung objek ancamannya.

 

Jika dalam konteks jabatan presiden, Ia berpandangan Pasal 104 KUHP bisa diterapkan. Namun bila konteksnya dialamatkan kepada ‘calon presiden’, maka unsur pidana akan lebih terpenuhi melalui Pasal 336 KUHP.

 

“Jadi kondisi objeknya yang karet, sayangnya capres petahana juga presiden,” ujarnya.

 

Pasal 104:

Makar dengan maksud untuk membunuh, atau merampas kemerdekaan, atau meniadakan kemampuan Presiden atau Wakil Presiden memerintah, diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua puluh tahun.

Pasal 336:

(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan, barang siapa mengancam dengan kekerasan terhadap orang atau barang secara terang-terangan dengan tenaga bersama, dengan suatu kejahatan yang menimbulkan bahaya umum bagi keamanan orang atau barang, dengan perkosaan atau perbuatan yang melanggar kehormatan kesusilaan, dengan sesuatu kejahatan terhadap nyawa, dengan penganiayaan berat atau dengan pembakaran.

(2) Bilamana ancaman dilakukan secara tertulis dan dengan syarat tertentu, maka dikenakan pidana penjara paling lama lima tahun.

 

Terkait apakah ancaman itu sudah dapat disimpulkan sebagai percobaan (permulaan actus reus) atau hanya sebatas luapan emosi sesaat, Ia berpandangan hal itu sepenuhnya menjadi otoritas penyidik.

 

“Demikian juga apakah pernyataan itu dapat disimpulkan sebagai mens rea, saya kira penyidik punya alasan dan dasar karena kalimat membunuhnya itu,” katanya.

 

(Baca: DPR-Pemerintah Pertahankan Pasal Penghinaan Presiden dalam RKUHP)

 

Akan tetapi, Ia mengingatkan sesuai dengan asas minimum pembuktian KUHAP, penyidik paling sedikit hendaknya mempunyai dua alat bukti dalam menyimpulkan dan menetapkan seseorang sebagai tersangka.

 

Alangkah lebih bijaksana, katanya, bila memandang persoalan ini dari perspektif psikologis dalam konteks tahun politik, sehingga penerapan pasal yang berat seperti makar ini bisa dihindarkan.

 

Sekadar diketahui, Pasal 87 KUHP mensyaratkan suatu perbuatan dapat dikatakan makar bilamana niat untuk itu (mens rea) telah nyata dengan adanya ‘permulaan pelaksanaan’. Dengan begitu, Pengajar Hukum Pidana STHI Jentera, Arsil berpandangan tanpa adanya indikasi bahwa ancaman tersebut memang akan dilaksanakan maka belum bisa dikatakan ucapan tersebut sebagai perbuatan makar untuk bisa membunuh presiden.

 

Sedangkan, bilamana pasal yang diterapkan adalah Pasal 154 KUHP soal hatespeech terhadap pemerintah maka dinilai Arsil juga kurang tepat, mengingat pasal tersebut telah dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi melalui putusan No 06/PUU-V/2007. Adapun soal celah lain seperti pengenaan pasal perbuatan tidak menyenangkan (vide: 335 KUHP), disebutnya juga tidak tepat, mengingat harus ada paksaan terhadap korban untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu.

 

Lebih memungkinkan, katanya, bila yang digunakan adalah Pasal 336 (1) KUHP. Ancaman yang dimaksudkan di situ, katanya, sifatnya tidak dengan maksud memaksa orang melakukan atau tidak melakukan sesuatu.

 

Sehingga, Ia berkesimpulan dalam konteks ancaman pembunuhan dialamatkan terhadap presiden, ancaman pidananya menjadi tak ada bedanya lagi dengan ancaman pidana dalam konteks ancaman yang dialamatkan terhadap warga Negara biasa, yakni dengan ancaman pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan (bila dilakukan secara terang-terangan) atau dikenakan pidana penjara paling lama lima tahun (bila dilakukan dengan secara tertulis).

 

“Jadi ketentuan yang paling mungkin adalah Pasal 336 (1) KUHP, dan itu berlaku baik bagi presiden maupun orang biasa,” katanya.

 

Tags:

Berita Terkait