Mengaku Berjasa Bagi Negara, Anggoro Minta Dihukum Ringan
Berita

Mengaku Berjasa Bagi Negara, Anggoro Minta Dihukum Ringan

Apapun putusan majelis, Anggoro telah mengambil sikap untuk tidak mengajukan banding.

NOV
Bacaan 2 Menit
Terdakwa kasus dugaan suap Revitalisasi Sistem Komunikasi Radio Terpadu Dephut, Anggoro Widjojo menjalani sidang dengan agenda pembacaan pledoi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta Selatan, Rabu (25/6). Foto: RES.
Terdakwa kasus dugaan suap Revitalisasi Sistem Komunikasi Radio Terpadu Dephut, Anggoro Widjojo menjalani sidang dengan agenda pembacaan pledoi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta Selatan, Rabu (25/6). Foto: RES.
Melalui nota pembelaan (pledoi) yang dibacakan tim pengacaranya, bos PT Masaro Radiocom Anggoro Widjojo meminta hukuman seringan-ringannya. Anggoro mengaku sudah berjasa bagi negara dalam membantu mendapatkan soft loan Rp2 triliun dari Inggris dan Amerika Serikat untuk pembangunan proyek Sistem Komunikasi Radio Terpadu (SKRT).

Pengacara Anggoro Tomson Situmeang mengatakan, Anggoro juga berjasa membantu Badan Pembina Proyek pada Badan Koordinasi Intelijen Negara (BAKIN) pimpinan Yoga Soegama semasa Presiden Soeharto. Anggoro berjasa pula mengatur acara perdagangan antar negara dalam kunjungan kenegaraan Presiden Cina Hu Jin Tau ke Jakarta.

Selain itu, Anggoro berjasa membantu kunjungan kenegaraan Presiden SBY dan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) ke Beijing, sehingga pemerintah mendapatkan plafon soft loan AS$1 miliar dari Cina. “Sebagian soft loan telah dipergunakan untuk membangun jembatan Segoro Madu,” kata Tomson di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (25/6).

Lebih lanjut, Tomson menyatakan, Anggoro sebagai pengusaha putih paling tidak sudah pernah membayar pajak Rp220 miliar kepada negara. Anggoro yang telah berusia lanjut dan menderita penyakit kronis menunjukan penyesalahnnya dengan berjanji tidak akan mengajukan upaya hukum banding atas putusan majelis hakim.

Tomson berharap jasa-jasa dan penyesalan Anggoro membuat majelis menjatuhkan hukuman seringan-ringannya. Ia merasa penuntut umum terlalu naïf karena tidak mempertimbangkan satupun hal-hal meringankan bagi Anggoro. Padahal, Anggoro telah mengakui adanya pemberian uang Rp100 juta kepada Yusuf Erwin Faishal.

Mengenai tuduhan melarikan diri, Tomson membantah. Ia menegaskan Anggoro tidak pernah melarikan diri. Sejak awal, Anggoro ingin segera pulang ke Indonesia untuk menghadapi masalah hukumnya. Namun,  apa daya, Anggoro diminta tidak pulang dulu ke Indonesia oleh Ketua KPK Antasari Azhar dan Kabareskrim Susno Duadji.

Tomson menjelaskan, ketika itu, Anggoro sedang mengantar istrinya berobat ke Singapura. Sementara, di Indonesia, atas perintah Wakil Ketua KPK Bibit Samad Riyanto dan Chandra M Hamzah, KPK melakukan penggeledahan di kantor PT Masaro dan rumah Anggoro terkait kasus Tanjung Siapi-Api yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan Anggoro.

Kemudian, pada 22 Agustus 2008, KPK memohonkan pencegahan ke luar negeri atas nama Anggoro. Pasa 19 September 2008, Anggoro dipanggil KPK sebagai saksi untuk perkara Yusuf Erwin Faishal yang saat itu menjadi tersangka kasus Tanjung Siapi-Api. KPK kembali melayangkan surat panggilan kepada Anggoro pada 25 September 2008.

Terhadap surat panggilan kedua tersebut, menurut Tomson, Anggoro dianjurkan oknum KPK mengirimkan surat yang menyatakan Anggoro tidak bisa hadir memenuhi panggilan karena sedang di Cina untuk urusan bisnis. Selanjutnya, tidak ada lagi surat panggilan KPK kepada Anggoro hingga hampir satu tahun lamanya.

Tiba-tiba, pada 10 Oktober 2008, Antasari mendatangi Anggoro di Singapura. Antasari menyampaikan bahwa sebenarnya kasus Anggoro itu “no case”. Namun, ada beberapa oknum pimpinan dan pejabat KPK yang diduga melakukan pemerasan dan penyalahgunaan kewenangan dengan menggeledah kantor PT Masaro.

Untuk itu, lanjut Tomson, Antasari meminta Anggoro menunggu kabar dan jangan pulang dulu ke Indonesia. Entah mengapa, pada 19 Juni 2009, oknum KPK mendadak menetapkan Anggoro sebagai tersagka dalam dugaan pemberian uang kepada sejumlah anggota Komisi IV DPR dan pejabat Departemen Kehutanan terkait pengajuan anggaran SKRT.

Pada 26 Juni 2009, Anggoro dipanggil KPK sebagai tersangka. Selang tiga hari, KPK kembali memanggil Anggoro. Dengan alasan Anggoro mangkir, pada 7 Juli 2009, KPK menerbitkan Surat Perintah Penangkapan atas nama Anggoro. Kemudian, pada 17 Juli 2009, KPK memasukan Anggoro ke dalam Daftar Pencarian Orang (DPO).

Tomson mengungkapkan, di tengah penantian Anggoro yang menunggu kabar dari Antasari, pada 4 September 2009, Susno Duadji atas perintah Kapolri menemui Anggoro di Singapura. Susno meminta Anggoro jangan pulang dulu ke Indonesia karena Mabes Polri sedang memproses hukum oknum pimpinan dan pejabat KPK.

Alhasil, Anggoro tidak jadi pulang ke Indonesia untuk menjalani proses hukumnya di Indonesia. Dengan semua peristiwa ini, Tomson menampik jika Anggoro dianggap melarikan diri selama proses penyidikan. “Peristiwa-peristiwa itu sudah cukup membuktikan bahwa Anggoro tidak pernah melarikan diri,” ujarnya.

Terkait substansi dakwaan yang dituduhkan penuntut umum, Tomson berpendapat, sebagian besar tidak terbukti. Berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di persidangan, Anggoro tidak pernah memerintahkan anaknya David Angkawidjaya untuk memberikan paper bag berisi uang kepada Yusuf Erwin Faishal melal Tri Budi Utami.

Hal itu diamini pula oleh saksi Tri Budi Utami yang menerangkan di bawah sumpah tidak pernah mengetahui isi paper bag tersebut. Walau begitu, Tomson melanjutkan, Anggoro dengan itikad baik telah mengakui memberikan uang Rp100 juta secara langsung ke Yusuf Erwin Faishal untuk sumbangan studi banding ke Meksiko.

Sementara, untuk pemberian uang kepada Menteri Kehutanan MS Kaban sejumlah AS$45 ribu, Sing$40 ribu, dan traveler cheque senilai Rp50 juta, baik secara langsung maupun melalui supir Kaban, M Yusuf, Tomson menganggap tidak terbukti. Pasalnya, tidak ada satupun saksi yang melihat ataupun mengetahui pemberian.

M Yusuf pun tidak pernah dihadirkan di persidangan. Penuntut umum hanya memutar rekaman pembicaraan telepon dan SMS yang tidak diakui Anggoro maupun Kaban. Tomson menyayangkan, penuntut umum hanya menghadirkan ahli suara tanpa menghadirkan ahli dari operator telepon seluler untuk membuktikan kebenaran SMS dan telepon.

Selain itu, Tomson membantah Anggoro memberikan uang AS$20 ribu kepada Sekretaris Jenderal Dephut Boen Mochtar Purnama dan AS$10 ribu kepada Kabiro Perencanaan dan Keuangan Dephut Wandojo Siswanto. Walau ada rekaman pembicaraan telepon antara Anggoro dan Wandojo, rekaman itu tidak dapat dijadikan sebagai bukti.

Dengan demikian, Tomson menilai sebagian besar dakwaan tidak terbukti. Namun, Tomson tidak meminta majelis membebaskan Anggoro. Tomson meminta majelis menghukum Anggoro dengan pidana penjara dan denda yang seringan-ringannya. Ia juga meminta majelis mencabut pemblokiran rekening Anggoro dan David.

Atas pembelaan Anggoro, penuntut umum menyatakan tetap pada tuntutan. Sama halnya dengan pengacara yang tetap pada pembelaannya. Sebagaiman diketahui, Anggoro dituntut lima tahun penjara dan denda Rp250 juta subsidair empat bulan kurungan karena dianggap terbukti melakukan korupsi sebagaimana Pasal 5 ayat (1) huruf b UU Tipikor.

Anggoro dianggap terbukti menyuap sejumlah pejabat Dephut dan anggota Komisi IV DPR periode 2004-2009 untuk memuluskan pengajuan usulan Anggaran 69 Program Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (Gerhan) tahun 2007, dimana terdapat kegiatan revitalisasi SKRT senilai Rp180 miliar yang pengerjaannya dilakukan PT Masaro.
Tags:

Berita Terkait