Meneropong Kebijakan Sektor Pajak di Kabinet Kerja Jilid II
Berita

Meneropong Kebijakan Sektor Pajak di Kabinet Kerja Jilid II

Reformasi perpajakan menjadi pekerjaan rumah yang harus diselesaikan oleh Presiden Jokowi di Kabinet Kerja Jilid II.

Fitri Novia Heriani
Bacaan 2 Menit
Hukumonline
Hukumonline

Kabinet Kerja Jilid II di era Presiden Jokowi sudah memasuki babak awal. Hal itu ditandai dengan dilantiknya Presiden dan Wakil Presiden baru pada 20 Oktober lalu. Presiden Jokowi didampingi Ma’ruf Amin akan menakhodai perjalanan Indonesia untuk lima tahun ke depan hingga tahun 2024 mendatang.

 

Salah satu persoalan klasik yang masih belum terselesaikan hingga saat ini adalah sektor perpajakan. Masih banyaknya kebocoran pajak, kurangnya kesadaran masyarakat untuk membayar pajak, tax ratio dan lain sebagainya membuat penerimaan negara menjadi tidak maksimal.

 

Sebagai salah satu langkah untuk mereformasi perpajakan, Jokowi mengambil kebijakan yang cukup berani. Salah satunya adalah dengan memberlakukan program pengampunan pajak atau yang dikenal dengan tax amnesty. Program ini diharapkan dapat memperluas basis data perpajakan Indonesia, membawa kembali dana yang terparkir di luar negeri, dan memberikan kesempatan kepada wajib pajak untuk memperbaiki kepatuhan dalam membayar pajak.

 

Pengamat Perpajakan dari Danny Darussalam Tax Center (DDTC), Darussalam, mengatakan bahwa pajak adalah tulang punggung Indonesia. Tidak hanya karena menyumbangkan sekitar 75% dari APBN, pajak juga dapat menjamin proses state building yang mencakup pembaharuan kontrak fiskal, pembenahan governance, dan sekaligus memperkuat negara.

 

Dengan fakta tersebut, arah kebijakan pajak nasional hakikatnya akan sangat bergantung dari figur pemimpin nasional. Jika menengok kembali kinerja perpajakan di periode I kepemimpinan Jokowi, Darussalam menilai Jokowi merupakan pemimpin yang memiliki perhatian besar bagi sektor pajak.

 

“Lihat saja program amnesti pajak, akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan, berbagai insentif pajak, serta agenda reformasi perpajakan 2017-2020. Berbagai kebijakan tersebut secara tidak langsung mengubah wajah pajak Indonesia saat ini,” kata Darussalam kepada hukumonline, Senin (21/10).

 

Lalu bagaimana untuk lima tahun mendatang? Darussalam menyebut jika arah perpajakan Indonesia untuk lima tahun ke depan bisa dilihat dari Pidato Presiden Jokowi mengenai Visi Indonesia pada 14 Juli 2019 lalu. Setidaknya, terdapat 5 gagasan utama yang hendak dicapai, yaitu melanjutkan pembangunan infrastruktur, meningkatkan kualitas SDM, mendorong investasi, reformasi birokrasi, serta APBN yang lebih tepat guna.

 

Dari poin investasi dan reformasi birokrasi tersebut, tersirat adanya upaya untuk mendorong daya saing Indonesia. Hal ini mengingat upaya mendorong daya saing melalui instrumen pajak telah menjadi agenda reformasi pajak di berbagai negara selama 5 tahun terakhir (OECD, 2018). Buktinya adalah adanya tren penurunan tarif pajak penghasilan (PPh), relaksasi pajak lewat kebijakan insentif pajak seperti tax holiday, insentif kawasan ekonomi khusus, hingga super deduction untuk kegiatan penelitian dan pengembangan. Tujuan utamanya jelas, adalah untuk mengundang investasi masuk ke Indonesia.

 

(Baca: Menkeu Terbitkan Aturan ‘Super Deduction’ Vokasi)

 

Berkaca dari hal tersebut, Darussalam menduga jika insentif pajak masih menjadi andalan Jokowi di periode kedua. Hal itu ditandai dengan isu penurunan PPh badan yang sudah naik ke permukaan. Instrumen yang pro terhadap iklim investasi tersebut diyakini akan meningkatkan basis ekonomi dan kemampuan membayar pajak lebih baik, dan tentunya membaiknya kepatuhan pajak.

 

Namun Darussalam mengingatkan bahwa pemerintah harus berhati-hati dalam menerapkan kebijakan pajak tersebut. pasalnya, relaksasi pajak berpotensi relaksasi memberikan dampak risiko fiskal pada jangka pendek.

 

“Makin gencarnya insentif pajak jelas meningkatkan hilangnya potensi penerimaan pajak (revenue forgone). Oleh sebab itu, pemerintah perlu secara rutin mengevaluasi efektivitas pemberian insentif yang sekaligus bisa mengurangi kesenjangan kebijakan (policy gap),” imbuhnya.

 

Selain itu, Presiden Jokowi akan mengandalkan sektor pajak sebagai sumber pendanaan untuk pembangunan infrastrtuktur dan SDM. Tantangan terbesar dalam konteks ini adalah tax ratio. Demi memaksimalkan pendapatan negara dari sektor pajak, Jokowi harus menyelesaikan persoalan tax ratio yang masih rendah.

 

(Baca: RUU Perpajakan Dinilai Solusi Tumbuhkan Ekonomi dan Dunia Usaha)

 

Untuk diketahui, saat ini tax ratio Indonesia menjadi yang terendah di Asia Pasifik. Saat ini tax ratio Indonesia berada pada level 11,5 persen. Hal ini jauh dibawah standar tax ratio internasional yang berada pada level 15 persen.

 

Untuk menaikan tax ratio, pemerintah mengawasi kepatuhan pajak. salah satu caranya adalah dengan mengandalkan informasi dan data. Informasi tersebut dapat diperoleh melalui kerja sama automatic exchange of information maupun pihak ketiga.

 

Terkait kepentingan keterbukaan informasi tersebut, pemerintah sudah menerbitkan beberapa regulasi, seperti UU Nomor 9 Tahun 2017 tentang Penetapan Perppu No. 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan Menjadi Undang-undang.

 

Kemudian PMK Nomor 70/PMK.03/2017 tentang Petunjuk Teknis mengenai Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan, PMK Nomor 73/PMK.03/201 tentang Perubahan atas PMK Nomor 70/PMK.03/2017 tentang Petunjuk Teknis mengenai Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan.

 

PMK Nomor 19/PMK.03/2018 tentang Perubahan Kedua atas PMK Nomor 70/PMK.03/2017 tentang Petunjuk Teknis mengenai Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan, dan Surat Edaran Direktorat Jenderal Pajak Nomor 07/PJ/2018 tentang Petunjuk Teknis Pengelolaan Pendaftaran Lembaga Keuangan dan Pengelolaan Pelaporan Informasi Keuangan secara otomatis (automatic exchange of information/AEoI).

 

“Sasaran utamanya berfokus terhadap wajib pajak orang pribadi yang menjalankan kegiatan usaha yang kinerjanya masih lemah,” tambahnya.

 

Di sisi lain, pencegahan penggerusan basis pajak serta pembenahan sisi administrasi juga menjadi pekerjaan rumah yang harus diselesaikan oleh Presiden Jokowi di Kabinet Kerja Jilid II. Dan tak kalah penting, Presiden Jokowi harus berani melakukan dorongan politik untuk merampungkan agenda reformasi perpajakan yang mencakup pembenahan organisasi, SDM, proses bisnis, teknologi informasi, dan revisi UU.

 

(Baca: Mempertanyakan Konsistensi Pemerintah Terkait Wacana Pengampunan Pajak Jilid II)

 

Maka, untuk mendorong daya saing dan memobilisasi, peranan Presiden Jokowi menjadi sentral. Namun dengan catatan, sistem pajak harus didesain secara berimbang, fokus pada proses, dan berorientasi terhadap kebutuhan para pemangku kepentingan.

 

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta agar insentif pajak bagi para pelaku usaha benar-benar "nendang" guna menstimulasi perekonomian nasional dan meningkatkan daya saing.

 

"Betul-betul dikawal implementasinya sehingga terarah dan betul-betul bisa berikan 'tendangan' yang besar bagi pelaku usaha, artinya bisa nendang," kata Presiden Joko Widodo di kantor presiden Jakarta, Selasa (3/9) lalu.

 

Presiden menyampaikan hal tersebut dalam rapat terbatas (ratas) dengan topik "Reformasi Perpajakan untuk Peningkatan Daya Saing Ekonomi". Menurut Jokowi, reformasi perpajakan menjadi poin yang sangat penting. Karena bukan hanya bertujuan untuk mempercepat terwujudnya keadilan sosial, namun juga meningkatkan daya saing ekonomi terutama di sektor investasi dan ekspor.

 

"Reformasi perpajakan harus terus dilakukan secara menyeluruh, secara komprehensif, baik dari sisi regulasi, dari sisi administrasi, dari sisi penerapan core tax system, penguatan basis data, dan sistem informasi perpajakan, maupun dalam peningkatan Sumber Daya Manusia dalam perpajakan," ungkap Presiden.

 

Dengan reformasi perpajakan, lanjut Jokowi, selain dapat memiliki sistem pemungutan pajak yang terpercaya namun Indonesia juga memiliki sistem administrasi perpajakan yang efisien, terintegrasi dan tidak kalah pentingnya, selalu update terhadap perkembangan teknologi informasi.

 

"Terkait dari peningkatan daya saing ekspor dan investasi, saya juga meminta kebijakan pemberian insentif perpajakan diberikan seperti perluasan tax holiday, perubahan tax allowance, insentive investment allowance, insentive super deduction untuk pengembangan vokasi dan litbang serta industri padat karya," jelas Presiden.

 

Namun Presiden Jokowi juga mengingatkan bahwa insentif perpajakan bukan satu-satunyanya penentu peningkatan investasi.

 

"Selain insentif perpajakan faktor lain yang memiliki peranan penting dalam peningkatan ekspor dan investasi adalah perbaikan ekosistem usaha seperti kualitas infrastruktur, penyederhanaan dan percepatan perizinan, serta satu lagi yang tak kalah penting adalah kepastian regulasi termasuk regulasi di bidang perpajakan," kata Presiden.

 

Presiden Jokowi pun meminta reformasi regulasi perpajakan segera dituntaskan sehingga betul-betul menunjang daya saing ekonomi Indonesia. Berdasarkan data di Direktorat Jenderal Pajak (DJP), reformasi perpajakan sudah dilakukan sejak 2002. Reformasi perpajakan jilid I tersebut berlangsung sampai 2008. Pada 2009-2014 dilakukan reformasi perpajakan jilid II. Dalam rentang waktu tersebut beberapa terobosan dilakukan seperti amendemen Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPN dan PPnBM) serta adanya Sensus Pajak Nasional. Reformasi perpajakan berikutnya adalah lahirnya UU No 11 Tahun 2016 Tentang Pengampunan Pajak.

 

Adapun pendapatan negara dari sektor pajak pada 2019 ditargetkan sebesar Rp1.577,5 triliun atau naik 20 persen dari realisasi 2018.

 

Tags:

Berita Terkait