Menelusuri Kembali Perjalanan Kasus 'Kopi Sianida' Jessica Kumala Wongso
Terbaru

Menelusuri Kembali Perjalanan Kasus 'Kopi Sianida' Jessica Kumala Wongso

Setelah 8,5 tahun menjalani masa tahanan, Jessica akhirnya bisa menghirup udara bebas. Dia dinyatakan bebas bersyarat setelah mendapatkan remisi selama 58 bulan 30 hari. Jessica juga masih wajib lapor dan mengikuti bimbingan di Balai Pemasyarakatan (Bapas) Kelas I Jakarta Timur-Utara hingga delapan tahun ke depan.

Fitri Novia Heriani
Bacaan 7 Menit
Jessica Kumala Wongso bersama tim kuasa hukum saat mengadakan jumpa pers seusai dinyatakan bebeas bersyarat pada Minggu (18/8). Foto: Tangkapan layar YouTube
Jessica Kumala Wongso bersama tim kuasa hukum saat mengadakan jumpa pers seusai dinyatakan bebeas bersyarat pada Minggu (18/8). Foto: Tangkapan layar YouTube

Siapa yang tak tahu dengan kasus Es Kopi Vietnam pada tahun 2016 silam? Kasus yang menewaskan Wayan Mirna Salihin ini sempat menggegerkan publik dan mendapatkan atensi yang luar biasa. Tak hanya publik dalam negeri, beberapa media luar negeri bahkan turut memberitakan kasus yang kerap disebut sebagai kasus Kopi Sianida ini.

Kematian Mirna kala itu menyeret Jessica Kumala Wongso ke meja hijau. Kronologi kasus bermula ketika Jessica, Mirna, dan Hanie Boon Juwita membuat rencana bertemu di Kafe Olivier Grand Indonesia pada 6 Januari 2016, pukul 16.00 WIB.

Pada hari pertemuan, Jessica terlihat datang 2 jam lebih awal. Dia memesan satu gelas es kopi Vietnam untuk Mirna dan dua gelas cocktail, lalu berjalan menuju meja 54 sambil menenteng paperbag yang berisi oleh-oleh untuk teman-temannya. Tak lama setelah pesanan datang, Jessica terlihat menyusun paperbag di atas meja.

Baca Juga:

Pukul empat sore, Mirna dan Hanie tiba di Kafe Olivier. Setelah bertegur sapa sejenak, Mirna langsung menyeruput es kopi Vietnam yang sudah tersaji di hadapannya. Namun entah apa yang terjadi, tubuh Mirna mendadak mengalami kejang-kejang, pingsan, dengan bibir yang terlihat mengeluarkan buih. Mirna sempat dilarikan ke RS Abdi Waluyo. Nahas, nyawanya tidak dapat tertolong. Mirna dimakamkan pada 10 Januari 2016 di Gunung Gadung, Bogor.

Kematian itu dinilai tak wajar oleh pihak keluarga. Sang ayah, Edi Dharmawan Salihin melaporkan kematian anaknya ke Polsek Metro Tanah Abang. Pada 16 Januari 2016, berdasarkan hasil autopsi, polisi menyatakan ditemukan zat racun di dalam tubuh Mirna yang membuat lambung mengalami korosif, dan menyebabkan kematian.

Satu hari pasca setelah pemakaman Mirna, pihak kepolisian melakukan pra-rekonstruksi di Kafe Olivier. Jessica dan Hanie turut hadir, keduanya diminta untuk memperagakan ulang hal-hal yang terjadi pada hari naas itu. Pegawai Kafe Olivier juga ikut dalam pra-rekonstruksi. 

Pasca pra-rekonstruksi, polisi melakukan pemeriksaan terhadap semua pihak yang berkaitan dengan kematian Mirna, termasuk Jessica. Hingga pada 29 Januari 2016, Jessica ditetapkan sebagai tersangka, dia ditangkap pihak kepolisian satu hari setelahnya di sebuah hotel di Jakarta Utara.

Praperadilan dan Persidangan

Penetapan tersangka terhadap Jessica sempat mendapatkan perlawanan. Jessica melalui kuasa hukumnya, Yudi Wibowo Sukinto, mengajukan praperadilan. Terdapat 21 butir permohonan yang diajukan Jessica dalam sidang praperdilan perdananya, di mana hal yang paling disorot adalah terkait mekanisme penggeledahan, penahanan, pencekalan, yang dilakukan polisi terhadap Jessica.

Pada 1 Maret 2016, Hakim Tunggal PN Pusat I Wayan Merta memutuskan untuk menolak secara keseluruhan praperadilan yang dimohonkan oleh Jessica.  Dalam pertimbanganya, hakim menilai permohonan yang diajukan oleh pihak Jessica tidak jelas. Hakim juga menilai seluruh proses penyidikan hingga penahanan yang dilakukan kepolisian sudah sesuai dengan prosedur.

Tiga bulan pasca putusan pra-peradilan, kasus Jessica Kumala Wongso disidangkan. PN Jakpus menunjuk tiga orang majelis hakim yang menangani kasus Jessica yakni Kisworo sebagai hakim ketua, Partahi dan Binsar Panjaitan masing-masing sebagai hakim anggota.

Dan untuk pertama kalinya, Jessica duduk di kursi pesakitan pada 15 Juni 2016 dengan agenda pembacaan eksepsi oleh pengacara. Persidangan ditayangkan secara online, di mana seluruh masyarakat dapat melihat jalannya proses persidangan melalui televisi.

Salah satu perdebatan menarik dalam proses persidangan adalah mengenai kadar racun dalam tubuh yang menyebabkan kematian Mirna. Untuk membantah semua bukti dari pihak jaksa, Otto Hasibuan yang ditunjuk sebagai Ketua Tim Jessica kala itu, menghadirkan dua ahli dari Australia, yaitu ahli toksikologi forensik Michael Robertson dan ahli patologi forensik, Richard Byron Collins.

Tak hanya itu, persidangan juga menghadirkan saksi-saksi ahli psikologi untuk dimintai keterangan terkait perilaku Jessica yang menyusun paperbag di atas meja 54 Kafe Olivier, salah satunya adalah ahli psikologi Universitas Indonesia Dewi Taviana Walida Haroen.

Beberapa ahli yang kompeten juga memberikan keterangan sebagai saksi ahli, seperti Ahli forensik RS Polri Kramat Jati, dr. Slamet Purnomo; ahli forensik Universitas Indonesia (Dokter di RSCM), Budi Sampurna; ahli toksikologi Puslabfor Mabes Polri, Kombes Nursamran Subandi; ahli toksikologi forensik Universitas Udayana Bali, I Made Agus Gelgel Wirasuta.

Kemudian ada ahli psikologi klinis Universitas Indonesia, Antonia Ratih Andjayani; ahli Psikiatri Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), Natalia Widiasih Raharjanti; ahli psikologi Universitas Indonesia (Guru Besar Psikologi UI), Sarlito Wirawan; ahli digital forensik Puslabfor Mabes Polri (Kasubdit Komputer Forensik), AKBP Muhammad Nuh; ahli digital forensik Universitas Monash Australia, Christopher Hariman Rianto; ahli hukum pidana Universitas Gadjah Mada, Edward Omar Sharif; dan ahli kriminologi Universitas Indonesia, Ronny Nitibaskara.

Vonis dan Pertimbangan Hakim

Setelah menjalani 32 kali persidangan, Jessica akhirnya divonis 20 tahun penjara. Putusan ini sejalan dengan tuntutan jaksa. Majelis menyebutkan hal-hal yang memberatkan Jessica yakni akibat perbuatan terdakwa mengakibatkan korban meninggal, perbuatan Jessica adalah keji dan sadis karena dilakukan kepada teman sendiri, terdakwa tidak pernah menyesal, dan tidak mengakui perbuatan sendiri. Sementara hal yang meringankan adalah Jessica masih muda dan memiliki kesempatan untuk memperbaiki perbuatannya di masa mendatang.

Dalam membacakan pertimbangan, majelis menyatakan bahwa tiga bukti yang ada diatur di dalam KUHAP adalah sah. Bukti CCTV yang selama ini dipersoalkan oleh tim penasihat hukum dibantah oleh majelis. Hakim menilai CCTV bisa menjadi alat bukti yang sah selama berkesesuaian dengan keterangan saksi dan dapat dijadikan alat bukti yang sah. Apalagi, penggunaan CCTV untuk mengungkap suatu tindak pidana sudah sering dilakukan oleh para penegak hukum dan diatur dalam UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Majelis mengesampingkan keterangan ahli Mudzakkir tentang otopsi yang terdapat di dalam Peraturan Kapolri. Majelis menilai, bahwa kewajiban otopsi tersebut berada di dalam Peraturan Kapolri yang secara hierarkis posisinya berada jauh di bawah KUHAP.  “Walaupun tidak dilakukan otopsi di dalam tubuh korban bukan berarti penyebab kematian tidak bisa ditemukan,” kata hakim anggota, Partahi Tulus Hutapea.

Dalam pertimbangannya majelis menegaskan tak harus ada saksi mata yang melihat seseorang melakukan perbuatan pidana. Hakim bisa memperoleh dari bukti tidak langsung. Kecurigaan terhadap pihak kafe Olivier yang mungkin melakukan pembunuhan juga dijelaskan oleh hakim dengan logika. Bagi majelis, jika benar pihak kafe Olivier yang merencanakan pembunuhan maka pasti es kopi vietnam sudah dibuang. Artinya, sianida sudah ada di dalam es kopi vietnam tersebut sebelum penyidik melakukan pemeriksaan.

Terkait kecilnya jumlah sianida yang ditemukan di dalam tubuh Mirna, majelis mengutip penjelasan dari ahli toksikologi forensik, Nursamran Subandi. Jumlah sianida yang masuk ke dalam tubuh Mirna melewati lethal dosis mematikan, namun yang ditemukan sedikit karena sudah mengalami penyerapan oleh usus dan menguap di dalam lambung saat sianida bertemu asam lambung.

Hal yang paling menjadi sorotan dari tim kuasa hukum Jessica adalah kapan Jessica memasukkan racun itu ke dalam es kopi vietnam milik yang akhirnya diminum korban. Bagi majelis, kapan tepatnya racun sianida tersebut dimasukkan sesungguhnya Jessica pasti mengetahui. Tetapi saat melihat aktivitas Jessica di dalam CCTV, menurut majelis adalah tak lama setelah Jessica meletakkan paperbag di meja.

Majelis juga merasa heran mengapa Jessica membeli hadiah sabun cuci kepada para sahabatnya. Hadiah sabun cuci tangan itu dianggap tak lazim bagi orang seusia Jessica dan teman-temannya. Selain itu, majelis juga mempertanyakan alasan Jessica memesan kopi untuk Mirna terlalu cepat, padahal yang bersangkutan belum sampai di lokasi. Majelis menilai jika agenda pertemuan adalah makan malam, maka biasanya makanan dan minuman baru dipesan setelah para sahabatnya datang.

Hakim juga membantah argumentasi dari kuasa hukum Jessica yang mengatakan bahwa kematian Mirna disebabkan oleh penyakit kronis yang tidak terdeteksi. Majelis mengutip keterangan dari ahli dokter forensik Slamet Purnomo bahwa suatu penyakit akan menunjukkan gejala-gejala sendiri. Gejala tersebut tidak terlihat dari Mirna, dan berkesesuaian dengan keterangan saksi Arief Sumarko dan saksi Darmawan Salihin yang menyatakan bahwa Mirna tidak memiliki riwayat penyakit apapun.

Majelis menilai beberapa tindakan Jessica tak lazim. Pembayaran bill yang dilakukan di awal, misalnya, dianggap majelis hakim bertujuan agar Jessica bisa meninggalkan lokasi dengan cepat. Majelis menyayangkan isi pledoi Jessica yang justru menimpakan kesalahan kepada Arief dan Hany yang memutuskan membawa Mirna ke RS Abdi Waluyo dengan mobil pribadi.

Unsur sengaja di dalam Pasal 340 KUHP juga dinyatakan terpenuhi. Syarat kesengajaan adalah mengetahui dan menghendaki, dalam hal ini majelis memastikan bahwa Jessica benar-benar memahami apa yang akan terjadi dengan korban atas tindakannya, ada jeda waktu antara niat dan perbuatan, serta perbuatan dilakukan dengan tenang. Jessica membangun skenario reuni untuk melancarkan niat tersebut. Kemudian datang terlebih dahulu dengan alasan takut terjebak macet, mencari posisi tempat duduk yang jauh dari jangkauan CCTV dan berpindah tempat duduk yang tertutup oleh tanaman.

Terkait motif, majelis menilai meskipun motif tidak masuk ke dalam unsur delik dalam Pasal 340 KUHP, namun perlu juga untuk mengetahui penyebab terjadinya suatu tindak pidana. Sebab, tanpa adanya motif sangat sulit seseorang melakukan perbuatan pidana kepada seseorang, terutama dalam pembunuhan berencana. 

Meskipun Jessica membantah telah membunuh sahabatnya, Mirna, namun dari alat bukti yang saling berkesesuaian sudah dapat membantah keterangan terdakwa. Keterangan terdakwa hanya berlaku bagi dirinya sendiri dan kemudian pengakuan tersebut akan dikorelasikan dengan alat bukti lain. Hal tersebut diatur di dalam KUHP.

“Pengakuan terdakwa secara arif dan bijaksana ditambah dengan keyakinan hakim, berpedoman dan mencermati alat bukti yang ada ternyata telah ada alat bukti yang sah untuk memenuhi unsure-unsur kesengajaan. Bukti unsur kesengajaan yang dikehendaki dan diketahui secara sadar akibatnya,” jelas Binsar kala membacakan putusan.

Mengingat dalam replik Penuntut Umum menyebutkan sianida bisa didapatkan di pasar gelap, maka majelis menilai bahwa sianida bisa diperoleh dengan cara tersebut. Hakim juga dengan tegas menolak seluruh isi pembelaan Jessica dan kuasa hukum. Air mata Jessica, kata anggota majelis Binsar, hanya menggambarkan kesedihan atas apa yang menimpa dirinya sendiri. Air mata tersebut tidaklah murni dan jujur.

Bahkan hakim menegaskan memperhatikan secara detail air mata Jessica yang tidak jatuh hingga ke hidung. Air mata Jessica dinilai hakim sebagai sandiwara, sesuai kepribadian Jessica yang diungkapkan di persidangan. “Pemahaman yang digunakan majelis untuk memutus perkara ini perkara ini, menggunakan hati nurani, fakta hukum, dan keterangan ahli,” pungkasnya.

Setelah dijatuhi vonis, Jessisa mengajukan banding pada Maret 2017. Pengadilan Tinggi Jakarta juga memutuskan untuk menolak banding Jessica sehingga menguatkan putusan PN Jakpus Nomor 777/Pid.B/2016/PN.Jkt.Pst tanggal 27 Oktober 2016.

Karena gagal di tingkat banding, maka Jessica mengajukan kasasi. Amar yang disusun oleh majelis Artidjo Alkostar sebagai ketua majelis, Salman Luthan dan Sumardiyatmo masing-masing sebagai anggota, juga memutuskan menolak kasasi yang dimohonkan Jessica.

Bebas

Setelah 8,5 tahun menjalani masa tahanan, Jessica akhirnya bisa menghirup udara bebas. Dia dinyatakan bebas bersyarat setelah mendapatkan remisi selama 58 bulan 30 hari. Pembebasan bersyarat Jessica berdasarkan Surat Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) RI Nomor: PAS-1703.PK.05.09 Tahun 2024. Jessica juga masih wajib lapor dan mengikuti bimbingan di Balai Pemasyarakatan (Bapas) Kelas I Jakarta Timur-Utara hingga delapan tahun ke depan.

Pemberian hak pembebasan bersyarat kepada Jessica sesuai dengan Peraturan Menkumham RI Nomor 7 Tahun 2022 tentang perubahan kedua atas Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 3 Tahun 2018 tentang syarat dan tata cara pemberian remisi, asimilasi, cuti mengunjungi keluarga, pembebasan bersyarat, cuti menjelang bebas, dan cuti bersyarat. 

Tags:

Berita Terkait