Menelusuri Jejak dan Daya Ikat Fatwa MA
Fokus

Menelusuri Jejak dan Daya Ikat Fatwa MA

MA mengurangi untuk mengeluarkan produk fatwa karena kerap digunakan “senjata” bagi para pihak (pencari keadilan) yang tengah berperkara.

AGUS SAHBANI
Bacaan 2 Menit
Gedung MA. Foto: SGP
Gedung MA. Foto: SGP
Istilah “fatwa”, akhir-akhir ini menjadi topik perbincangan hangat di masyarakat pascakasus dugaan penistaan agama oleh Gubernur DKI Jakarta Nonaktif, Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok yang kini tengah disidangkan di Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Kasus tuduhan penodaan agama ini, Penuntut Umum dalam dakwaannya merujuk Sikap dan Pandangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang dianggap kedudukannya lebih tinggi daripada fatwa MUI. 
 
MUI sendiri bukanlah satu-satunya lembaga yang mengeluarkan produk hukum bernama fatwa. Sejak dulu, Mahkamah Agung (MA) juga kerap mengeluarkan produk hukum bernama fatwa atas permintaan lembaga negara atau masyarakat. Kini, Presiden Joko Widodo (Jokowi) pun telah memerintahkan Menteri Dalam Negeri untuk meminta fatwa MA terkait desakan sebagian pihak untuk menonaktifkan Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta karena dinilai melanggar Pasal 83 UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.            
 
Bagi MA, fatwa itu sendiri merupakan pendapat hukum yang diputuskan ketua muda atau ketua kamar yang dipimpin langsung oleh Ketua MA. Produk fatwa MA ini tidaklah mengikat seperti halnya peraturan atau putusan pengadilan. “Jelas ya, kalau produk fatwa MA itu sebenarnya tidak mengikat,” ujar Ketua MA M. Hatta Ali di sela-sela peresmian Tower dan 135 Pengadilan di Gedung MA, Selasa (31/1) lalu. (Baca Juga : Ketua MA : Resmikan Tower dan 135 Pengadilan)
 
Jika ditelusuri istilah “fatwa”berasal dari bahasa Arab yakni fatawa yang artinya nasihat, petuah, pendapat, atau jawaban. Istilah “fatwa” ini sudah diserap ke dalam bahasa Indonesia. Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia (versi 2015 : 389) diartikan sebagai (i) jawaban (keputusan, pendapat) yang diberikan oleh mufti tentang suatu masalah; (ii) nasihat orang alim, pelajaran baik, petuah.
 
“Istilah ‘fatwa’ sebenarnya berasal dari bahasa Arab, bukan peraturan tetapi boleh dikatakan anjuran atau petunjuk,” ujar Juru Bicara MA Suhadi dalam kesempatan yang sama.
 
Jadi, definisi fatwa MA mengandung pengertian pendapat masalah hukum yang sifatnya tidak mengikat secara umum yang dimohonkan lembaga negara. (Baca juga: Kekuatan Hukum Produk-Produk Hukum MA (Perma, SEMA, Fatwa, SKMA). “Fatwa MA itu pendapat hukum yang tidak mengikat, siapa yang mau mentaati silahkan, kalau tidak mau ditaati tidak ada sanksinya, maka saya katakan tidak mengikat,” kata Suhadi menerangkan.
 
Menurut Suhadi istilah fatwa MA sudah muncul puluhan tahun yang lalu. Namun, dirinya tak tahu persis sejak kapan istilah fatwa MA ini digunakan. Sebab, selama ini MA tidak mengkodifikasikan setiap produk fatwa yang dikeluarkan, seperti halnya Peraturan MA (PERMA), Surat Edaran MA (SEMA), Surat Keputusan Ketua MA (SK KMA).
 
“Dari literatur yang saya baca, sejak tahun 1950-an tidak ada kumpulan produk hukum MA dalam bentuk Fatwa MA. Yang ada kumpulan produk hukum dalam bentuk SEMA, SK KMA, dan peraturan-peraturan yang dikeluarkan MA (PERMA). Makanya, sampai sekarang saya tidak tahu berapa banyak fatwa yang sudah dikeluarkan MA,” kata Suhadi.   
 
Bila ditelusuri produk fatwa MA sebenarnya merujuk Pasal 37 UU No. 14 Tahun 1985 tentang MA disebutkan, “MA dapat memberikan pertimbangan-pertimbangan dalam bidang hukum baik diminta maupun tidak kepada lembaga tinggi negara yang lain.”
 
“MA mengakui adanya fatwa, tetapi UU MA sendiri tidak menyebut fatwa. UU MA menyebut MA hanya berwenang memberikan pendapat hukum baik diminta maupun tidak diminta oleh lembaga negara lain. Jadi, sebenarnya bukan fatwa, tetapi namanya pendapat hukum,” kata Suhadi.  
 
Namun, dalam Lampiran Keputusan Ketua MA No. : 213/KMA/SK/XII/2014 tertanggal 30 Desember 2014 tentang Pedoman Penerapan Sistem Kamar pada MA RI. Di bagian penanganan perkara lain dan permohonan disebutkan, permohonan fatwa ditujukan kepada Ketua MA. Lalu, Ketua MA menjawab permohonan fatwa yang diajukan lembaga negara dengan mendengar pertimbangan Ketua Kamar terkait. Ketua MA dapat mendelegasikan kewenangan menjawab permohonan fatwa yang diajukan perseorangan atau badan hukum kepada Ketua Kamar atau pejabat terkait untuk ditindaklanjuti dengan pemberian petunjuk hukum.
 
Berdasarkan catatan hukumonline, periode 2001-2011, MA sudah beberapa kali mengeluarkan fatwa. Diantaranya sebagai berikut:
Hukumonline.com
Sumber: hukumonline.com
 
Mengurangi Fatwa

 

Beberapa tahun terakhir, MA mengurangi untuk mengeluarkan produk hukum yang bernama fatwa. Alasannya jelas, faktanya produk fatwa MA kerap digunakan “senjata” bagi para pihak (pencari keadilan) yang tengah berperkara. Apalagi, putusannya belum berkekuatan hukum tetap (inkracht).

“Sejak awal saya kurangi atau selektif mengeluarkan fatwa, karena pencari keadilan selalu menjadikan fatwa sebagai ‘senjata yang paling ampuh’. Kita tidak boleh memberi fatwa kepada seseorang yang berperkara, itu pantang,” kata Hatta. (Baca Juga : Obral Fatwa Dapat Turunkan Wibawa MA)

Dalam beberapa kesempatan, dia kerap mengingatkan para Ketua Kamar MA agar tidak dengan mudahnya mengeluarkan produk fatwa, tetapi sebaiknya dalam bentuk “petunjuk”. Sebab, produk fatwa MA bagi pihak yang berperkara memberi kesan sangat kuat untuk dijadikan dasar terkait kasus yang dihadapinya. Meski begitu, MA bisa saja mengeluarkan fatwa apabila diajukan pimpinan lembaga negara terkait persoalan hukum yang dihadapi. “Fatwa tetap ada, kalau itu diajukan pimpinan lembaga negara,” kata dia.

Suhadi menambahkan selama ini permohonan fatwa MA terkait penanganan perkara yang diajukan masyarakat hanya dijawab dengan surat biasa. Sementara apabila permohonan fatwa datang dari pihak lembaga negara atau pengadilan hanya dijawab dalam bentuk surat petunjuk terkait teknis peradilan (Pasal 38 UU MA). Apalagi, salah satu fungsi MA sendiri juga mengadili dan memutus perkara.

“Dulu saat saya jadi Panitera MA banyak orang yang minta fatwa, tetapi kita balas dengan surat biasa karena ‘bahaya’ bagi pengadilan dan bisa menjadi penghambat. Jadi, keluarnya fatwa MA sangat dihindari, terlebih apabila menyangkut perkara di pengadilan,” tegasnya. 

Tags:

Berita Terkait