Menelisik Landasan Hukum Persidangan Perkara Pidana Secara Daring
Kolom

Menelisik Landasan Hukum Persidangan Perkara Pidana Secara Daring

Idealnya pengaturan proses persidangan secara daring tak cukup hanya melalui perjanjian kerjasama, surat edaran institusi maupun Peraturan Mahkamah Agung. Namun dituangkan dalam KUHAP yang bakal direvisi.

Bacaan 2 Menit

Selain itu,  dalam Pasal 9 ayat (1) UU No.13/2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban menyebutkan, “Saksi dan/atau Korban yang merasa dirinya berada dalam Ancaman yang sangat besar, atas persetujuan hakim dapat memberikan kesaksian tanpa hadir langsung di pengadilan tempat perkara tersebut sedang diperiksa”. Dengan kata lain, hakim dapat memberikan persetujuan terhadap pemberian keterangan saksi melalui sarana elektronik dengan didampingi oleh pejabat yang berwenang.

Lalu bagaimana dengan pemberian keterangan terdakwa secara daring? Apakah sudah ada peraturan yang mengaturnya? Bila merujuk Pasal 189 ayat (2) KUHAP, keterangan terdakwa yang dinyatakan di luar persidangan tidak dapat dinilai sebagai alat bukti. Namun hanya dipergunakan untuk ‘membantu’ menemukan bukti di sidang pengadilan. Pasal 189 ayat (2) KUHAP menyebutkan, “Keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti di sidang, asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya”.

Nah melihat uraian di atas, maka dapat ditafsirkan bahwa pemberian keterangan saksi maupun terdakwa di luar persidangan dapat dilakukan atas izin hakim dengan persyaratan tertentu. Hal itu dikarenakan adanya pandemik Covid-19 yang sangat mengkhawatirkan para pihak yang terkait dalam proses persidangan perkara pidana. Ketiga institusi penegak hukum telah memberikan kebijakan khusus selama adanya pandemik covid dalam rangka melakukan persidangan secara daring.

Adapun per tanggal 26 Juni 2020 persidangan secara daring dilakukan di masa pandemik Covid 19  berdasarkan data dari Pusat Data Statistik Kriminal dan Teknologi Informasi (Pusdaskrimti) Kejaksaan Agung  sebanyak 95.683 persidangan. Rinciannya, 95.058 perkara pidana umum dan 625 perkara tindak pidana korupsi. Melihat banyaknya proses persidangan yang dilakukan secara online tersebut membuat pihak Ombudsman memonitoring. Hasilnya, ditemukan adanya kendala teknis dalam penyelenggaraan persidangan daring di 16 pengadian negeri. Yakni Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Jakarta Selatan, Depok, Bogor, Cibinong, Bekasi, Tangerang, Serang, Medan, Batam, Jambi, Surabaya, Denpasar, Banjarmasin, Kupang, dan PN Manokwari.

Berbagai kendala menjadi penyebabnya. Seperti, keterbatasan penguasaan teknologi oleh hakim, koordinasi antar pihak yang kurang baik. Kemudian penasihat hukum tidak berada berdampingan dengan terdakwa, serta tak dapat memastikan saksi dan terdakwa dalam tekanan/dusta.

Walau demikian, pandemi Covid-19 menjadi alasan kuat untuk menggelar persidangan perkara pidana secara daring. Namun lagi-lagi, landasan hukum yang ada harus diperkuat. Perlu diketahui, UU No.8/1981 tentang KUHAP harus segera di revisi. Pengaturan proses persidangan secara daring tak cukup hanya melalui perjanjian kerjasama, surat edaran institusi maupun Peraturan Mahkamah Agung sekalipun. Pasalnya hal tersebut menyangkut pemenuhan hak asasi saksi dan terdakwa.

*)Dr. Reda Manthovani, SH,.LLM., Kepala Biro Perencanaan Kejaksaan Agung RI dan Dosen (Lektor) pada Fakultas Hukum Universitas Pancasila

Catatan Redaksi:

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline. Artikel ini merupakan bagian dari Kolom 20 Tokoh menyambut Ulang Tahun Hukumonline yang ke-20.

Tags:

Berita Terkait