Mendorong RUU KSDAHE Atur DBH Bagi Daerah Konservasi
Terbaru

Mendorong RUU KSDAHE Atur DBH Bagi Daerah Konservasi

Agar pemerintah daerah konsisten menjaga hutan dan lingkungan hidup.

Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Wakil Ketua Komisi IV DPR Dedi Mulyadi. Foto: RES
Wakil Ketua Komisi IV DPR Dedi Mulyadi. Foto: RES

Pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Konsevasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (KSDAHE) antara pemerintah DPR masih bergulir di parlemen. Dalam membahas RUU KSDAHE Komisi IV DPR telah mengundang berbagai pihak melalui rapat dengar pendapat umum untuk menjaring masukan.

Wakil Ketua Komisi IV DPR Dedi Mulyadi mendorong RUU KSDAHE mengatur ketentuan Dana Bagi Hasil (DBH) bagi daerah yang menjaga hutan dan lingkungan hidup sehingga banyak menghasilkan oksigen. Jika ketentuan itu tidak ada dalam RUU KSDAHE, Dedi khawatir tidak ada yang mau menjadi kepala daerah di wilayah yang mayoritas hutan atau perkebunan karena lebih memilih daerah industri.

“Dari dana bagi hasil pajak ke daerah-daerah, kita buat pemimpin daerah itu bahagia merawat dan menjaga konservasi lingkungan. Ini hal yang harus dilakukan agar kita memiliki tujuan yang sama dalam merawat lingkungan ke depan untuk anak dan cucu kita,” ujarnya melalui keterangannya, Jumat (12/5/2023) kemarin.

Mantan Bupati Purwakarta itu berharap adanya upaya yang memadai dalam memulihkan lingkungan hidup ke depannya. Semua pihak ingin pertumbuhan ekonomi yang baik, tapi tidak boleh melupakan konservasi hutan dan lingkungan hidup yang harus terus dijaga. Rusaknya ekosistem lingkungan hidup yang terjadi di sejumlah wilayah tidak boleh merembet ke daerah lain.

Baca juga:

Dalam pembahasan RUU KSDAHE di DPR beberapa waktu lalu, Direktur Eksekutif Yayasan Konservasi Laut (YKL) Indonesia, Nirwan Dessibali menekankan pentingnya peran serta masyarakat dalam melakukan konservasi. Selain itu pelibatanya harus luas selain masyarakat lokal dan masyarakat hukum adat, juga organisasi masyarakat sipil, akademisi, dan media.

“Kami mengusulkan agar RUU KSDAHE melibatkan stakeholder lebih luas (dalam melakukan konservasi,-red),” katanya.

Nirwan menilai ketentuan yang diatur dalam RUU KSDAHE fokusnya darat, padahal kawasan konservasi itu merupakan kesatuan darat, laut, dan udara. Ketentuan mengenai kearifan lokal yang ada di dalam dan luar kawasan konservasi perlu diperkuat, begitu juga keterlibatan masyarakat lokal dan masyarakat hukum adat.

Pada kesempatan RDPU itu, Direktur Yayasan Konservasi Rasi, Budiono menjelaskan pengalamannya dalam melindungi Pesut Mahakam yang jumlahnya terus menyusut menjadi 67 ekor. Secara umum dia mengatakan tidak mudah pihaknya menjaga satwa yang berpotensi menjadi endemik dunia itu. Pesut Mahakam tidak bisa dipindahkan dari habitat asilnya karena pengalaman dari pemindahan yang dilakukan ke Ancol pada tahun 1970-an menunjukan tidak ada Pesut Mahakam yang bertahan. Di habitat aslinya di aliran sungai mahakam dan anak sungainya sekitar 70 persen kematian Pesut Mahakam disebabkan oleh alat tangkap nelayan.

Budiono mengatakan pihaknya berupaya keras menyambangi setiap desa, menemui ketua adat dan kepala desa serta masyarakat untuk memberikan pemahaman soal perlindungan Pesut Mahakam. Dia yakin peran masyarakat melakukan konservasi terhadap satwa dan ekosistemnya sangat penting mengingat 95 persen masyarakat di wilayah tersebut berprofesi sebagai nelayan. Oleh karena itu dia mengusulkan RUU KSDAHE mengatur secara tepat peran penting masyarakat dalam melakukan konservasi.

“Masukan kami mengenai peran masyarakat terutama di pedesaan karena di pusat kurang dan jarang melihat secara langsung. Peran masyarakat sangat kuat,” kata Budiono.

Pendekatan yang dilakukan Budiono terhadap masyarakat lokal itu akhirnya berhasil menekan konflik antara nelayan dengan Pesut Mahakam. Tapi ada faktor ilegal lain yang bersifat destruktif bagi Pesut Mahakam yakni penangkapan ikan dengan cara menggunakan setrum. Tak hanya mengancam Pesut Mahakam tapi secara umum menurunkan jumlah ikan di sungai dan anak sungai Mahakam.

Kedudukan hukum adat menurut Budiono sangat penting untuk menangani persoalan tersebut. Mengingat di kabupaten Kutai Kertanegara, para tetua adat masih megang teguh hukum adat ketimbang hukum positif. Hukum adat yang berdampak positif terhadap konservasi juga harus diperkuat. Faktanya saat ini tak sedikit kawasan konservasi yang ada sejak masa kerajaan Kutai Kertanegara tapi sampai sekarang dibiarkan hancur. Salah satu sebab regulasi yang ada saat ini termasuk UU No.5 Tahun 1990 tentang KSDAHE tidak melindungi kawasan konservasi warisan sejarah itu.

“Padahal warga lokal para pemegang wilayah adat menjaga wilayah itu tapi karena aturan yang tidak jelas dan pengamanan yang tidak baik dengan alasan tidak ada anggaran dari pihak berwenang,” ujar Budiono.

Budiono mengusulkan RUU KSDAHE memberi kewenangan kepada pemerintah daerah untuk menerbitkan regulasi yang melindungi hewan yang populasinya sangat rendah. Dia memberi contoh di Kalimantan Selatan populasi Belibis habis karena banyak ditangkap untuk keperluan komersial yakni dijual ke restoran. Sekarang para pemburu Belibis geser ke wilayah Kalimantan Timur. Kegiatan para pemburu Belibis itu tidak bisa ditindak karena tidak ada aturan di tingkat daerah yang melarang penangkapan Belibis karena populasinya menurun.

“Kalau ada aturan setidaknya tingkat provinsi agar bisa memasukan satwa langka yang dilindungi,” usulnya.

Tags:

Berita Terkait