Mendorong Revisi UU Pembentukan Peraturan terkait Metode Omnibus Law
Utama

Mendorong Revisi UU Pembentukan Peraturan terkait Metode Omnibus Law

Merevisi UU 12/2011 untuk kedua kalinya, untuk memasukan mekanisme penggunaan metode omnibus law. Tanpa adanya pedoman penyusunan, metode omnibus law menjadi inkonstitusional menurut sistem hukum di Indonesia.

Rofiq Hidayat
Bacaan 3 Menit
Gedung DPR, tempat pembahasan RUU antara pemerintah dan DPR. Foto: RES
Gedung DPR, tempat pembahasan RUU antara pemerintah dan DPR. Foto: RES

Pemerintah mengusulkan tiga RUU baru dalam Prolegnas Prioritas 2021 yakni RUU tentang Hukum Acara Perdata; RUU tentang Wabah terkait perubahan UU No.4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular; RUU tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan. Salah satu RUU yakni RUU tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan bakal disusun menggunakan metode omnibus law, seperti UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang menuai kontroversial dan RUU tentang Ibu Kota Negara sebagai RUU carry over.

Dosen Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Muhammad Nur Sholikin mengingatkan pentingnya memastikan kejelasan prosedur penggunaan metode omnibus law dalam perancangan dan penyusunan sebuah RUU dalam UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. “DPR dan pemerintah sebaiknya menyusun pedoman terlebih dahulu sebagai panduan dalam menyusun dan membahas RUU yang diproses dengan menggunakan pendekatan omnibus law,” ujar Sholikin kepada Hukumonline, Rabu (25/11/2020). (Baca Juga: Pemerintah Usulkan Tiga RUU Prolegnas Prioritas 2021)

Bagi Sholikin, penggunaan omnibus law dalam menyusun kedua RUU tersebut seharusnya DPR dan Pemerintah melakukan evaluasi terlebih dahulu karena saat proses penyusunan UU Cipta Kerja menimbulkan banyak permasalahan terutama dari sisi teknis. Mulai ketidaksiapan pengambil kebijakan, tim teknis penyusunan UU, hingga prosesnya tertutup, tidak mencerminkan partisipasi publik, sehingga tidak akuntabel.    

“Materi UU dengan pendekatan omnibus law bersifat multisektor, jangkauan bidang yang diatur sangat luas, dan disusun dalam waktu yang terbatas. Risikonya terjadi pengabaian terhadap prinsip-prinsip pembentukan UU yang baik, sehingga proses dan hasilnya tidak mencerminkan adanya partisipasi, transparansi, dan akuntabilitas,” kata dia.

Mantan Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Kebijakan (PSHK) Indonsia periode 2015-2019 itu berpendapat proses penyusunan UU Cipta Kerja membuktikan betapa amburadulnya proses yang mengakibatkan temuan-temuan kesalahan teknis. “Minimnya partisipasi publik mengakibatkan legitimasi publik terhadap UU Cipta Kerja sangat rendah.”  

Dia melihat permasalahan dalam penyusunan UU Cipta Kerja dengan pendekatan omnibus law baik dari aspek substansi maupun administrasi menunjukkan birokrasi prosedur pembentukan perundang-perundangan terlihat gagap atau tidak siap. Akibatnya yang tampak hanyalah mengejar target. “Yang penting UU jadi sesuai perintah presiden atau DPR,” ujarnya.

Menurutnya, ketidaksiapan birokrasi pembentukan peraturan perundang-undangan terjadi akibat belum adanya pedoman yang jelas dalam penggunaan metode omnibus law dalam sistem pengaturan pembentukan UU. Sebab, dalam UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang diperbaharui dengan UU 15/2019 sama sekali tak mengatur pedoman penyusunan UU dengan metode omnibus law. Mulai proses penyusunan, pembahasan sampai dengan teknik perancangan UU dengan menggunakan pendekatan omnibus law.

“Seharusnya DPR dan pemerintah tidak perlu terburu-buru untuk menggunakan pendekatan omnibus law lagi dalam menyusun UU. Kesalahan proses dalam menyusun UU Cipta kerja telah memberikan (pengalaman, red) efek buruk dalam tata kelola proses legislasi,” tegasnya.

Omnibus law inkonstitusional

Untuk itu, dia mendorong DPR dan pemerintah segera menyusun pedoman/panduan dalam penyusunan dan pembahasan UU dengan pendekatan omnibus law melalui revisi UU 15/2019 ke dalam daftar Prolegnas Prioritas 2021. “Segera prioritaskan penyelesaian revisi UU Pembentukan Peraturan terkait omnibus law terlebih dahulu ketimbang penyelesaian RUU lain yang akan menggunakan pendekatan omnibus law,” ujarnya.

Terpisah, Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Andalas Padang, Charles Simabura berpendapat secara normatif sepanjang belum adanya perubahan terhadap UU 12/2011 sebagaimana diperbaharui dengan UU 15/2019, metode omnibus law menjadi inkonstitusional menurut sistem hukum yang berlaku di Indonesia, khususnya dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.

Pemerintah dan DPR semestinya taat hukum dengan tidak membuat sesuatu di luar aturan hukum yang berlaku. Sebagai pembentuk UU, DPR maupun pemerintah tak boleh serampang dalam membuat UU. Sama halnya dengan Sholikin, Charles pun mendorong agar dilakukan revisi terhadap UU 12/2011 untuk kedua kalinya, khususnya dengan memasukan aturan penggunaan metode omnibus law.

“Pembahasan dapat dilanjutkan, namun dengan model kodifikasi sesuai dengan UU 12/2011 yang diperbaharui nantinya." 

Tags:

Berita Terkait