Mendorong Peran Peradi ‘Menertibkan’ Advokat yang Terjerat Kasus Narkoba
Berita

Mendorong Peran Peradi ‘Menertibkan’ Advokat yang Terjerat Kasus Narkoba

Organisasi advokat seharusnya ikut bertanggung jawab dalam pengawasan dan pencegahan advokat yang terjerat kasus narkoba.

Norman Edwin Elnizar
Bacaan 2 Menit
Kantor DPN Peradi. Foto: RES
Kantor DPN Peradi. Foto: RES

Seorang oknum advokat ditangkap polisi dari Polda Metro Jaya karena kasus narkoba awal Februari lalu. Ironisnya, pihak Komisi Pengawas Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) belum juga mengetahui identitas advokat tersebut hingga dua minggu setelahnya. Karena itu, Peradi belum bisa mengambil tindakan tegas terhadap advokat yang bersangkutan.

 

“Namanya belum kami dapatkan. Dari Komisi Pengawasan belum melakukan tindakan,” kata Sekretaris Komisi Pengawas Peradi, Victor Nadapdap saat dihubungi Hukumonline dua minggu setelah penangkapan.

 

Victor justru menyampaikan ucapan terima kasih saat Hukumonline mengkonfirmasi nama jelas oknum advokat tersebut. Hukumonline mencoba menelusurinya di buku daftar anggota Peradi. Tercatat nama William Eduard Daniel sebagai anggota Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Peradi Jakarta Selatan. Ia terbilang senior dalam dunia profesi advokat Indonesia dengan Nomor Induk Advokat (NIA) 96.10883.

 

William ditangkap bersama aktris Nanie Darham atas kepemilikan narkoba jenis kokain dan pil nimetazepam (erimin five/happy five). Penangkapan terjadi pada Minggu, 2 Februari 2020 di kawasan apartemen Jakarta Selatan.

 

Penangkapan Partner Kantor Hukum William Soerjonegoro & Partners ini menambah muram wajah dunia profesi advokat di Indonesia. Lambannya sikap Peradi menyikapi penangkapan William juga menjadi catatan penting.

 

Pasal 6 UU No.18 Tahun 2003 tentang Advokat (UU Advokat) menyebut perbuatan tercela, sikap bertentangan dengan martabat profesi, serta pelanggaran hukum sebagai dasar penjatuhan sanksi. Pasal 10 UU Advokat ini bahkan menjadikan pemidanaan atas tindak pidana yang diancam dengan hukuman empat tahun atau lebih sebagai dasar pemecatan status advokat.

 

Masih menurut UU Advokat, pelaksanaan pengawasan sehari-hari dilakukan oleh Komisi Pengawas yang dibentuk oleh Organisasi Advokat. Komisi ini seharusnya pro aktif mengawasi berbagai persoalan yang berkaitan profesi advokat guna menjaga marwah dan martabat profesi advokat.

 

Pernyataan tambahan Victor sebagai perwakilan Komisi Pengawas jauh lebih menarik. Ia mengaku belum pernah ada advokat terjerat kasus narkoba sebelumnya. “Belum, belum. Kesulitan juga kami menemukan namanya,” ungkapnya.

 

Padahal, Hukumonline mencatat beberapa kali terjadi penangkapan advokat karena menggunakan narkoba. Bahkan, Peradi sempat merumuskan aturan baru untuk membersihkan profesi advokat dari narkoba. Jadi seberapa serius pengawasan profesi advokat sebagai penegak sekaligus profesi terhormat (officium nobile)? Baca Juga: Diduga Bawa Ganja, Pengurus Peradi Ditangkap di Bandara

 

Saat dikonfirmasi, Ketua Dewan Kehormatan Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM) Indra Safitri mengakui bahwa William juga sebagai anggota HKHPM. Hanya saja, persoalan pelanggaran hukum dan etik tak berkaitan kegiatan pasar modal, sehingga bukan kewenangan HKHPM.

 

“Di luar jangkauan kami. Itu kewenangan Peradi atau wadah yang memberikan izin advokat,” kata Indra yang juga Advokat yang pernah menjadi Ketua HKHPM ini.   

 

HKHPM sebagai asosiasi advokat dengan spesialisasi tertentu hanya berwenang menindak anggotanya secara terbatas. Apalagi, hingga saat ini tidak ada pengaduan kerugian kepada HKHPM atas kasus yang menimpa William. “Tidak ada pengaduan. Kami pun hanya tahu dari informasi yang beredar di media massa dan media sosial,” ujar Indra. Baca Juga: Peradi Rumuskan Aturan Advokat Bebas Narkoba

 

Masalah kesehatan mental

Berkaiatan dengan fenomena ini, mekanisme yang dilakukan organisasi advokat Amerika Serikat, American Bar Association (ABA), patut menjadi contoh. Sebuah program bernama Lawyer Assistance Programs dibuat agar anggotanya terbebas dari penyimpangan konsumsi, seperti alkohol, obat terlarang, hingga gangguan kesehatan mental.

 

Dilansir dari laman ABA, program ini ditujukan juga untuk melindungi kepentingan klien dan publik. Salah satu caranya melakukan riset seberapa buruk penyimpangan konsumsi seperti alkohol, obat terlarang, serta gejala gangguan kesehatan mental oleh anggotanya.

 

Riset itu dirilis ke publik tahun 2016 silam di laman ABA. Tercatat angka 20 persen dari 12.825 responden anggotanya mengalami gejala gangguan kesehatan mental. Hal tersebut diduga berkaitan erat dengan penyimpangan konsumsi alkohol dan obat terlarang. Selanjutnya, temuan itu menjadi dasar langkah pencegahan dan penanganan.

 

Psikolog spesialis industri dan organisasi, Hilmy Wahdi menjelaskan masalah kesehatan mental mungkin saja dialami profesi advokat. “Profesi ini kan termasuk yang menyita banyak waktu dan pikiran, memberikan tekanan mental yang tinggi,” kata Hilmy.

 

Sangat wajar jika membutuhkan cara khusus untuk menghilangkan kepenatan. Apapun cara yang dipilih, pasti memberikan kenikmatan relaksasi. “Ada yang dengan olahraga, kegiatan filantropi, kegiatan spiritual, menyalurkan hobi kemewahan, seks bebas atau dengan alkohol, dan narkoba,” ujarnya.

 

Narkoba adalah salah satu yang cepat memberikan efek delusive untuk melepas beban pikiran. Penting bagi advokat untuk memilih cara dan lingkungan yang suportif dan positif. Hilmy menyoroti sebab advokat sebagai penegak hukum berani memilih cara dengan narkoba. “Mungkin daya tarik pergaulan yang kuat adalah para pengguna narkoba. Apalagi ada yang sesama advokat ternyata bisa aman saja melanjutkan karier,” kata dia melanjutkan.

 

Lingkungan pergaulan yang memberikan kenyamanan sangat berpengaruh pada pilihan hidup. Kemungkinan lainnya adalah standar moral yang terbelah. “Di pikirannya tahu itu salah dan dilarang, tapi terus dilakukan selama bisa tidak ketahuan,” kata Hilmy.

 

Kasus advokat terjerat penggunaan narkoba mungkin hanya fenomena gunung es. Mulai dari yang telah mencapai level hidup mewah hingga yang masih bersaing ketat mendapatkan klien bisa terlibat. Tentu saja, organisasi advokat seperti Peradi tidak bisa mengatakan bahwa itu urusan pribadi masing-masing anggota.

 

Fakta bahwa organisasi advokat semakin produktif mencetak advokat tentu harus diimbangi dengan peningkatan tanggung jawab pengawasan dan pencegahan guna menjaga martabat profesi. Bahkan, dimulai dari seleksi ketat calon advokat yang akan diangkat. Jika tidak demikian, apakah masih layak sebutan officium nobile (profesi terhormat) dan penegak hukum tetap disematkan terhadap advokat?

Tags:

Berita Terkait