Mendorong Penghapusan Pasal Anti Demokrasi dalam RUU KUHP
Utama

Mendorong Penghapusan Pasal Anti Demokrasi dalam RUU KUHP

Pasal 263 RUU KUHP tidak fokus menyasar pembuat informasi bohong atau hoax, tapi malah menyasar penyebarnya; Pasal 280 RUU KUHP berpotensi menghambat kerja jurnalis; penyerangan kehormatan Presiden dan Wakil Presiden; menghina pemerintahan/kekuasaan umum; ancaman pidana melakukan pawai, unjuk rasa, atau demonstrasi tanpa pemberitahuan.

Ady Thea DA
Bacaan 4 Menit

Ketua Umum AJI Indonesia, Sasmito Madrim, menyoroti proses legislasi RUU KUHP yang bermasalah dimana pemerintah dan DPR tidak memberi ruang yang cukup bagi masyarakat sipil. AJI Indonesia dan Dewan Pers sudah memberikan masukan tentang pasal-pasal yang bermasalah bagi pers. Kendati masukan itu diterima, tapi ternyata tidak diakomodir dalam draft RUU KUHP terakhir. Misalnya seperti ketentuan tentang informasi atau berita bohong, direkomendasikan untuk diatur dalam kode etik, tapi ternyata ditarik menjadi pidana.

“Ketika audiensi dengan DPR masukan Dewan Pers diterima, tapi tidak masuk dalam RUU KUHP,” ujar mantan Ketua Federasi Serikat Pekerja Media Independen itu.

Sasmito meminta pemerintah dan DPR untuk menyusun RUU KUHP secara cermat, tidak terburu-buru, dan seharusnya digelar partisipasi yang bermakna. Pemerintah dan DPR harus menjelaskan mana masukan publik yang diterima, tapi tidak dimasukkan dalam RUU KUHP.  

Bertentangan dengan demokrasi

Dalam kesempatan yang sama, Pengacara Publik LBH Jakarta, Citra Referendum melihat masih banyak pasal dalam RUU KUHP yang bertentangan dengan demokrasi dan HAM. Ia memberi contoh antara lain Pasal 218-219 RUU KUHP yang mengatur tentang penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat Presiden dan Wakil Presiden.

Citra menilai sejak awal aliansi masyarakat sipil mendesak pasal tersebut untuk dihapus karena tidak sesuai dengan semangat dekolonialisasi yang diusung pemerintah dan DPR dalam menyusun RUU KUHP.

Menurutnya, Presiden dan Wakil Presiden tidak boleh dilihat sebagai individu, tapi sebagai jabatan politik dan pemerintahan. Kewajiban Presiden dan Wakil Presiden untuk mendengarkan aspirasi masyarakat. Namun, Pasal 218-219 RUU KUHP itu justru melarang masyarakat menyampaikan pendapat kepada Presiden dan Wakil Presiden.

Tidak terpenuhinya hak untuk menyampaikan pendapat berdampak terhadap pemenuhan hak lainnya, seperti pekerjaan yang layak, lingkungan hidup yang bersih dan sehat serta lainnya. “Karena masyarakat tidak bisa lagi aktif menyampaikan berbagai pendapatnya agar hak-haknya terpenuhi,” kata Citra Referendum dalam konferensi pers bertema “Aliansi Masyarakat Sipil Desak Penghapusan Pasal Bermasalah dalam RKUHP”, Minggu (20/11/2022).

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait