Mendorong Pengaturan Asas Dominus Litis dalam RKUHAP
Utama

Mendorong Pengaturan Asas Dominus Litis dalam RKUHAP

Karena jaksa yang membuat dakwaan dan membuktikan perkara terdakwa di persidangan.

Rofiq Hidayat
Bacaan 3 Menit
Narasumber dalam diskusi daring tentang RKUHAP di Jakarta, Rabu (21/12/2022). Foto: RFQ
Narasumber dalam diskusi daring tentang RKUHAP di Jakarta, Rabu (21/12/2022). Foto: RFQ

Pengaturan tentang asas dominus litis atau pengendali perkara yang dimiliki Kejaksaan dalam penanganan perkara pidana tidak diatur gamblang dalam UU No.8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Padahal dalam praktik di banyak negara, jaksa kerap terlibat dalam penanganan perkara sejak tahap penyidikan. Sebab, jaksa memang berfungsi sebagai pengendali dan mensupervisi kerja-kerja penyidik (pengendali perkara). Karenanya, penting pengaturan asa dominus litis diatur dalam Rancangan KUHAP mendatang.

Komisioner Komisi Kejaksaan (Komjak) Bhatara Ibnu Reza menerangkan dalam praktik penegakan hukum, jaksa tak lagi menjadi dominus litis yang aktif. Padahal dengan terlibat aktif sedari tahap penyidikan di kepolisian, jaksa dapat dengan mudah menyusun surat dakwaan dan tuntutan. Sebab selain memahami betul kondisi penyidikan di lapangan, jaksa pun memiliki keterkaitan emosional dalam penanganan perkara.

Sayangnya, sistem peradilan pidana Indonesia tak lagi mengacu pada praktik universal yang tak tidak mendudukan jaksa sebagai dominus litis sebagai pengendali perkata yang aktif sedari awal penanganan perkara. Menurutnya, pemahaman dominus litis berdasarkan KUHAP menjadikan jaksa memiliki keterbatasan dalam melakukan supervisi terhadap proses penyelidikan dan penyidikan.

Baca Juga:

Selain itu, KUHAP tidak mengatur secara detil terkait proses tertentu. Seperti proses penyelidikan, penyidikan, pra penuntutan yang kemudian masing-masing lembaga mengatur dengan peraturan internalnya sendiri. Dampaknya, proses pencarian keadilan menjadi tertunda. Seperti bolak-baliknya berkas perkara dari jaksa ke penyidik, begitupun sebaliknya.

“Jadi, penting mengembalikan dominus litis kepada jaksa dan penyidik sebagai pembantu jaksa,” ujar Bhatara Ibnu Reza dalam sebuah webinar di Jakarta, Rabu (21/12/2022).

Menurutnya, tidak jelas dan gamblang tentang pengaturan asas dominus litis ini menjadikan persoalan dalam penerapan KUHAP dalam penanganan perkara yang efektif dan efisien. Memang, dalam sejarahnya, Kejaksaan memiliki kewenangan besar, termasuk membawahi penyidik. Namun seiring berjalan waktu sejak 1961 terjadi perubahan dengan pengaturan masing-masing kekuasaan kehakiman, penuntutan, dan penyidikan.

Pengaturan dan penegasan peran dan kewenangan jaksa harus disesuaikan dengan penerapan KUHP baru dan kewenangan lain yang diatur UU. Seperti keadilan restoratif, sistem peradilan pidana anak (SPPA), hingga deferred prosecution agreement (DPA) dalam kejahatan korporasi. Termasuk, penegasan akuntabilitas dan transparansi kinerja jaksa penuntut umum. Begitu pula mekanisme komplain dan pengawasan dalam pelaksanaan upaya paksa oleh jaksa. “Serta diskresi menghentikan perkara di tahap penyidikan dan penuntutan,” ujarnya.

Deputi Direktur Bidang Program Indonesia Judicial Research Society (IJRS) Aedy Ardhan Saputro berpandangan asas dominus litis memang tidak tertulis dlam KUHAP dan UU Kejaksaan. Tapi, praktik kewenangan dominus litis sudah menjadi prinsip umum dan disepakati dunia internasional menjadi kewenangan jaksa. Selain itu, menurutnya, ada satu kewenangan yang kuat dimiliki Kejaksaan, tapi sayangnya tidak dimanfaatkan dengan baik yakni soal asas oportunitas.

“Misalnya, kalau jaksa mau deponeer (membekukan) perkara itu bisa. Jadi sebenarnya jaksa bisa mengendalikan perkara, tapi ruangnya tidak besar,” ujarnya.

Dia melanjutkan dalam draf RKUHAP per 2012, prinsipnya tidak secara gamblang menyatakan jaksa menjadi koordinator dari penyidik. RKUHAP 2012 pun tidak serta merta menghapuskan pendekatan diferensiasi fungsional (kompartemen) secara instansional pada subsistem penyidikan dan penuntutan. Namun, sejumlah pasal penting dalam naskah RKUHAP 2012 telah memberikan gambaran soal proses pelaksanaan subsistem penyidikan telah bersifat terbuka dengan peran jaksa sebagai ‘quasi-pengawas’ alias supervisor dari pelaksanaan penyidikan tersebut.

Menurutnya, pengaturan keberadaan hakim pemeriksaan pendahuluan sebagai kontrol terhadap penyidik dalam melakukan penyidikan atau upaya paksa menjadi penting, seperti melakukan penggeledahan, penyadapan dan langkah lain. Jaksa, secara tidak langsung diberikan kewenangan dalam mengikuti proses pelaksanaan subsistem penyidikan sejak awal. Bahkan tanpa upaya aktif jaksa, penyidik bakal secara aktif melaporkan proses pekerjaannya kepada jaksa.

“Dengan demikian, jaksa penuntut umum telah diikutsertakan secara optimal pada rangkaian subsistem penyidikan,” katanya.

Tags:

Berita Terkait