Mendorong Penerapan ODR dalam Penyelesaian Sengketa Konsumen E-Commerce
Terbaru

Mendorong Penerapan ODR dalam Penyelesaian Sengketa Konsumen E-Commerce

Penerapan Online Dispute Resolution (ODR) merupakan keniscayaan, sehingga sistem hukum Indonesia harus siap menghadapi perubahan.

Mochamad Januar Rizki
Bacaan 4 Menit
Diskusi 'Digitalisasi dan Akses Konsumen Terhadap Keadilan di Indonesia', Rabu (16/6).
Diskusi 'Digitalisasi dan Akses Konsumen Terhadap Keadilan di Indonesia', Rabu (16/6).

Transaksi e-commerce Indonesia meningkat pesat dalam satu dekade terakhir khususnya pada masa pandemi Covid-19. Dengan maraknya keberadaan e-commerce, kegiatan transaksi menjadi lebih mudah dan dapat dilakukan secara lintas batas melalui komputer ataupun ponsel. Meningkatnya transaksi tentu selaras dengan potensi terjadinya suatu sengketa antara konsumen dengan pelaku usaha.

Sehingga, perlu adanya antisipasi terhadap risiko atas transaksi melalui e-commerce dengan keberadaan suatu mekanisme penyelesaian sengketa yang sifatnya efisien dan murah dari segi biaya, khususnya dalam hal menangani kasus-kasus kecil. Salah satu cara penyelesaian problematika tersebut ialah dengan adanya mekanisme penyelesaian sengketa secara daring atau Online Dispute Resolution (ODR).

Perlu diketahui, berdasarkan data dari Google Temasek pada 2019, peningkatan transaksi mencapai lebih dari tujuh kali dari nilai transaksi pada 2015, yaitu dengan nominal awal $5,5 miliar menjadi nilai $38 miliar. Khusus Indonesia, Global Web Index mencatat bahwa per 2018 aktivitas transaksi konsumen melalui e-commerce berada pada posisi tertinggi di dunia.

Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) bersama Deutsche Gesellschaft für Internationale Zusammenarbeit Indonesia (GIZ) menyusun kajian terkait peluang dan tantangan atas implementasi ODR. Kajian tersebut merespons komitmen regional dalam rangka pelindungan konsumen yang dirumuskan melalui ASEAN Strategic Action Plan on Consumer Protection (ASAPCP 2025). (Baca: Peringati Harkonas, Perlindungan Konsumen E-Commerce Jadi Sorotan Utama)

Strategi tersebut merupakan upaya membangun perkembangan sistem pelindungan konsumen pada masing-masing tingkat nasional dan regional yang efektif dalam menangani masalah yang dihadapi konsumen, khususnya sejak berkembangnya transaksi perdagangan secara daring. Berkaitan dengan hal itu, pemerintah Indonesia juga berinisiatif melakukan perubahan, termasuk memastikan konsistensi kerangka peraturan dalam menghadapai masalah dari interaksi baru, seperti digitalisasi ekonomi dan perdagangan lintas batas.

PSHK juga menyatakan Indonesia sesungguhnya memiliki beberapa regulasi yang mendukung ODR, yaitu UU No.19 Tahun 2016 tentang perubahan atas UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, UU No. 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan, UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, PP No. 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaran Sistem dan Transaksi Elektronik, PP No. 80 Tahun 2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE), dan beberapa peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Sebagai salah satu negara anggota ASEAN, terdapat urgensi keberadaan mekanisme ODR untuk menangani sangketa yang bersifat lintas batas. Hal ini dikarenakan sistem perlindungan konsumen di negara-negara ASEAN berbeda-beda. Maka dari itu ODR dianggap sebagai suatu inovasi di bidang legal technology dalam hal penanganan kasus yang bersifat kompetitif dan people oriented.

Namun masih terdapat beberapa perdebatan terkait mekanisme ODR dalam menangani suatu sengketa. Beberapa permasalahan tersebut ialah dalam hal pembagian peran dari unsur human dan non-human, faktor emosional pihak bersangketa yang sulit dinilai kebenarannya dalam metode daring, dan permasalahan koneksi jaringan internet.

Guru Besar FH Universitas Parahyangan, Bernadette M Waluyo, menyampaikan perlu kesamaan pemahaman bagi semua pihak mengenai ODR tersebut. Dia menjelaskan ODR dapat dipahami sebagai sarana maupun cara penyelesaian sengketa. Dalam konteks sarana, ODR hanya berperan menerima pengaduan atau gugatan konsumen. Sementara dalam konteks cara penyelesaian sengketa, ODR mencangkup pemrosesan pengaduan hingga memfasilitasi komunikasi antara konsumen dan pelaku usaha baik melibatkan pihak ketiga atau tidak.

Bernadette mengatakan penerapan ODR merupakan keniscayaan sehingga sistem hukum Indonesia harus siap menghadapi perubahan tersebut. Terlebih lagi, ODR melalui teknologi kecerdasaan artifisial dapat menetapkan putusan. Meskipun, dia meragukan kecerdasaan buatan tersebut dapat menggantikan peran penegak hukum.

Artificial intelligent bisa membuat perubahan dalam profesi hukum seperti hakim, pengacara atau arbiter yang akan digantikan robot dalam membuat keputusan hukum layaknya hakim. Meskipun tidak dapat dipungkiri robot tidak memiliki sisi hati nurani dan kemanusiaan yang akan hilang dan tidak bisa dimiliki robot,” jelas Bernadette, dalam diskusi “Digitalisasi dan Akses Konsumen Terhadap Keadilan di Indonesia”, Rabu (16/6).

ODR memiliki tantangan karena terdapat lembaga yang memiliki kewenangan penyelesaian sengketa. Misalnya, penyelesaian sengketa pada sektor keuangan dan perdagangan terdapat lembaga berwenang yang berbeda. Padahal, perkembangan bisnis digital ekonomi saat ini sudah menggabungkan kedua sektor tersebut.   

“Penerapan ODR siapa yang melaksanakannya karena begitu banyak lembaga berwenang, sangat menyulitkan dam hukum acaranya unik-unik,” jelas Bernadette.

Sementara itu, Direktur Pemberdayaan Konsumen Ditjen Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga Kementerian Perdagangan, Ivan Fithriyanto, menerangkan terdapat keberagaman lembaga penyelesaian sengketa sesuai sektornya. Menurutnya, kondisi tersebut menjadi tantangan penerapan ODR. Sebab, terdapat kesulitan pengintegrasian penyelesaian sengketa secara ODR.

Meski demikian, dia mendorong penerapan ODR ini menjadi solusi dalam kemajuan penyelesaian sengketa. Dia menekankan ODR bukan hanya portal pengaduan konsumen saja melainkan mencangkup pemrosesan pengaduan hingga memfasilitasi komunikasi antara konsumen dan pelaku usaha baik melibatkan pihak ketiga atau tidak.

Selain itu, Ivan menambahkan Kementerian Perdagangan telah memiliki Portal Konsumen Indonesia yang menjadi cikal bakal ODR. Sistem tersebut telah terintegrasi dengan 9 kementerian dan lembaga dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen. “Portal Konsumen Indonesia dibangun tahun 2018 merupakan Portal Perlindungan Konsumen di mana 9 kementerian dan lembaga terintegrasi dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen,” jelas Ivan.

Sementara itu, Chief Executive Officer (CEO) Hukumonline, Arkka Dhiratara, sebagai penanggap kajian PSHK tersebut, menyatakan kebutuhan ODR tidak terbantahkan lagi karena transaksi online meningkat sangat tajam. Terlebih lagi, terdapat sekitar 1-3 persen dari total transaksi yang berakhir dengan sengketa.

“Permasalahan ini harus dipikirkan. Saat ini, pemerintah sedang membuat peraturan presiden mengenai peta jalan Indonesia digital dengan jangka waktu 2021-2024. Ini masuk ke sektor strategis pemerintah. Jadi proses sengketa wajib sekali masuk dalam pembahasan ini,” jelas Arkka. 

Dia menerangkan salah satu yang jadi aktor kunci dalam perpres peta jalan digital tersebut yaitu Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo). Sehingga, Arkka menerangkan PSHK perlu melibatkan Kominfo untuk membahas penerapan ODR.

“Dengan adanya perpres itu salah satunya Kominfo yang harus diajak diskusi. Menkominfo akan jadi koordinatornya. Arah ke situ sudah terlihat. Peraturan pemerintahaan berbasis elektronik dan sebagainya. Ada Surat Edaran yang mengharuskan semua pengembangan aplikasi infrastruktur harus clear lewat Kominfo. Ini termasuk dalam hal budgeting juga sehingga kalau tidak ada clearance dari Kominfo maka akan dicoret,” jelas Arkka.

 

Tags:

Berita Terkait