Salah satu kebijakan transisi energi yang tengah didorong saat ini adalah pemensiunan dini Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batubara yang diharapkan juga dapat didukung penuh oleh JETP. Namun demikian, terdapat banyak persoalan finansial yang harus dipertimbangkan oleh pemerintah, bersamaan dengan persoalan lingkungan, juga keadilan sosial. Hal ini membutuhkan diskusi mendalam antar pihak yang berkepentingan untuk mencari solusi atas perbedaan pandangan dan prioritas.
“Di Indonesia, salah satu hal yang masih menjadi perdebatan hingga kini adalah mengenai transparansi kontrak jual beli listrik. Keterbukaan informasi juga dapat membantu masyarakat untuk mengawal upaya pemerintah mencapai bauran energi terbarukan sesuai dengan target,” imbuhnya.
Transparansi penerimaan negara
Perwakilan Masyarakat Sipil dalam EITI Indonesia, Yusnita Ike Christanti mengataan, masyarakat sipil mendukung penuh ditegaskannya aspek transparansi penerimaan negara berdasarkan Standar EITI 2023. Aspek ini meliputi pengungkapan data produksi dan ekspor yang lebih terperinci, komprehensif, dan berkualitas lebih tinggi.
Kemudian pengungkapan perjanjian penjualan, penyediaan infrastruktur dan barter dan kontrak yang mewajibkan pembayaran sosial dan lingkungan, klarifikasi persyaratan pengungkapan pinjaman yang didukung sumber daya. Termasuk utang negara yang diagunkan, memperkenalkan proses yang lebih ramping untuk pengungkapan pendapatan, mengungkapkan tarif, insentif, dan pengurangan pajak perusahaan yang efektif, serta penjelasan biaya perusahaan dan sistem pemerintah untuk melakukan audit.
Selain memastikan adanya kesesuaian antara penerimaan negara dengan pembayaran perusahaan, aspek ini juga memastikan terkumpulnya informasi yang lebih rinci mengenai pendapatan negara dari sektor ekstraktif. Menuruut Yusnita, pihaknya mendesak pemerintah agar persyaratan dalam Standar EITI 2023 dapat diintegrasikan ke dalam sejumlah regulasi dan kebijakan di Indonesia terutama di sektor ekstraktif.
“Hal ini untuk memberikan jaminan lebih terhadap peningkatan kualitas transparansi, partisipasi dan akuntabilitas khususnya di sektor ekstraktif, sektor yang paling banyak menimbulkan risiko bagi lingkungan,” pungkasnya.