Mendorong Kontrak 101 untuk Atlet
Terbaru

Mendorong Kontrak 101 untuk Atlet

Para atlet, terlepas dari disiplin olahraganya, harus dibimbing secara tepat dalam pemahaman mereka tentang kewajiban kontrak dan perjanjian kerja dengan sponsor.

Tim Publikasi Hukumonline
Bacaan 5 Menit
Hukumonline
Hukumonline

Menjadi atlet di Indonesia bisa jadi pilihan karier yang berisiko tinggi. Selain harus terus berlatih, atlet juga mesti memikirkan keberlangsungan hidupnya, baik secara finansial maupun fisik. Pun dalam menjalankan profesinya, atlet pasti akan bersinggungan dengan hukum. Misalnya, kontrak yang mengikat atlet dengan klub olahraga yang berafiliasi dengannya (khusus untuk cabor beregu).

 

Kendati peraturan perundang-undangan terkait hukum olahraga belum sepenuhnya dikembangkan menjadi peraturan/hukum komprehensif yang memungkinkan tata kelola jelas, pemberlakuan UU No. 11 Tahun 2022 tentang Hukum Olahraga (UU Olahraga) tetap merupakan kemajuan yang patut diapresiasi. UU Olahraga menggantikan UU No. 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional, dan diharapkan mampu menjawab keprihatinan para pemangku kepentingan akan perlunya perbaikan dalam berbagai aspek sistem keolahragaan nasional.

 

UU Olahraga sendiri berupaya menyediakan struktur hukum yang komprehensif yang mendorong pengembangan olahraga, menjamin kesejahteraan dan pelindungan hukum bagi atlet, serta pemenuhan standar nasional dan internasional. Setidaknya, ada tiga kategori atlet menurut UU Olahraga: amatir, profesional, dan penyandang disabilitas. Merujuk pada kategorisasi ini, status atlet amat fundamental dalam sistem keolahragaan Indonesia, terlebih dalam konteks peralihan status dari amatir ke profesional. Sayangnya, meski membutuhkan perhatian khusus baik dari sisi regulasi maupun pengambilan kebijakan, UU Olahraga tidak mengatur spesifik perubahan status tersebut.

 

Pasal 72 UU Olahraga mendelegasikan ketentuan mengenai alih status berdasarkan peraturan pemerintah, yang hingga saat ini belum memiliki ketentuan yang jelas. Oleh karena itu, banyak atlet, terutama atlet olahraga perorangan, yang masih harus memperjuangkan statusnya sebagai atlet profesional. Lebih jauh lagi, hal ini juga membutuhkan bimbingan dan kerja sama dari setiap asosiasi olahraga terkait untuk terus memberikan pendampingan demi kepentingan para atlet tersebut.

 

Kantor Hukum Bagus Enrico & Partners (BE Partners) sepakat, jaminan terbaik bagi setiap atlet adalah dengan memastikan mereka mendapatkan platform terbaik untuk menampilkan potensi atletik—salah satunya dengan memiliki profesional hukum yang memeriksa kewajiban kontrak.

 

”Sayangnya, para atlet di Indonesia tidak mengetahui posisi hukum mereka dalam kontrak profesional dan pemasaran mereka, yang pada gilirannya membuat para atlet khawatir akan aspek-aspek yang seharusnya menjadi kekhawatiran terakhir dalam pikiran mereka,” kata Associate di BE Partners, Bimowiro Prayogo.

 

Membantu Sejak Awal

Dalam sebuah wawancara dengan atlet profesional, BE Partners menemukan bahwa pengacara dibutuhkan untuk membantu para atlet sejak awal. Agar para atlet dapat fokus pada pengembangan keterampilan, mereka butuh pihak lain yang fokus tentang dasar hukum dan memberikan pengetahuan-pengetahuan tentang kedudukan hukum dalam kewajiban kontrak dengan sponsor, agensi pemasaran, maupun pihak lain yang terlibat.

 

”Harus memikirkan situasi keuangan dan mengatur diri sendiri adalah hal terakhir yang saya butuhkan. Yang saya inginkan dan butuhkan adalah 100% fokus mengembangkan kemampuan saya sebagai atlet. Seorang agen akan membantu, namun setelah saya pikir-pikir, memiliki seorang pengacara yang memeriksa kontrak saya sejak awal dapat menghindari semua dilema ini,” kata seorang atlet profesional.

 

Diskursus mengenai hubungan antara atlet dan klub dalam konteks Undang-Undang No. 6 Tahun 2023 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan) berkisar pada isu penentuan apakah hubungan tersebut merupakan hubungan kerja. Hal ini dikarenakan terdapat perbedaan karakteristik yang mendasar antara atlet dan pekerja pada umumnya. Perbedaan ini dapat dilihat dari unsur komando dan ketergantungan dalam hubungan antara atlet dan pelatih atau klub.

 

Secara garis besar, karakteristik hubungan kerja antara atlet dan klub terlihat jelas dalam hubungan antara atlet dan klub. Terdapat unsur hubungan kerja berupa kegiatan olahraga profesional, jangka waktu yang umumnya tertuang dalam kontrak dengan atlet, dan penghasilan berdasarkan nilai nominal kontrak. Hal ini sesuai dengan unsur hubungan kerja yang digariskan dalam hukum ketenagakerjaan dan standar kontrak hukum perdata.

 

Dalam bidang hukum olahraga, kontrak antara atlet dan klub mengikuti struktur dan konten yang serupa dengan yang ditemukan dalam perjanjian komersial sehari-hari. Kerangka kerja kontrak olahraga, termasuk pasal-pasalnya, mencerminkan perjanjian standar dengan klausul-klausul spesifik yang menguraikan tanggung jawab atlet. Salah satu aspek kunci dari kontrak olahraga adalah kewajiban atlet untuk mematuhi instruksi manajemen klub mengenai hal-hal nonteknis dan administratif yang berkaitan dengan keanggotaan. Sebaliknya, terkait aspek teknis dari pekerjaan mereka, atlet diharapkan untuk menerima bimbingan dari pelatih atau asisten pelatih mereka. Jenis kontrak untuk atlet umumnya mencakup kontrak layanan profesional, kontrak dukungan, kontrak penampilan, dan kontrak pemasaran.

 

Dalam artikel ilmiah yang berjudul Legal Protection of the Welfare of Sports Athletes in the Perspective of Law Number 3 of 2005 yang diterbitkan di Journal Research of Social Science, Economics, and Management, Vol. 2, No. 11 (2023), Indra Saputra dan Mohamad Tohari menyebutkan, ketika terkait pelindungan hukum, UU Olahraga menekankan perlunya memposisikan olahraga secara jelas dalam sistem hukum nasional sebagai bagian dari proses dan pencapaian tujuan pembangunan nasional karena undang-undang ini mengatur kesejahteraan atlet, termasuk hak untuk didampingi oleh manajer, pelatih, tenaga medis, psikolog, dan ahli hukum, serta hak untuk berpartisipasi dalam kejuaraan, mendapatkan pembinaan dan pengembangan, dan mendapatkan penghasilan yang layak.

 

Implementasi Hubungan Kerja Atlet dan Klub

Pada dasarnya, hubungan kerja antara atlet dan organisasi/klub yang menaunginya dibuat melalui perjanjian kerja yang ditandatangani atau surat keputusan. Perjanjian ini biasanya berlangsung selama enam sampai 12 bulan dan menguraikan tanggung jawab atlet, yang dievaluasi berdasarkan kinerja pertandingan.  Atlet dapat menghadapi sanksi jika mereka gagal mematuhi perintah atau instruksi dari klub atau pelatih. Sanksi ini dapat berupa peringatan lisan, teguran tertulis, skorsing, bahkan pemutusan kontrak.

 

Selain kewajiban atlet, yang timbul dari kontrak antara atlet dan klub, UU Olahraga juga mengatur hak-hak seorang atlet, yang meliputi fasilitas, bantuan keuangan, kesempatan kerja, penghargaan, promosi, kewarganegaraan, kesejahteraan, atau bentuk-bentuk lain yang bermanfaat bagi atlet. UU Olahraga juga mengatur bahwa atlet berhak mendapatkan pelindungan jaminan sosial melalui sistem jaminan sosial nasional, seperti jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, serta jaminan hari tua.

 

Konsultan di BE Partners, Jonathan Cheong mengungkapkan, sengketa yang biasa terjadi antara organisasi dan atlet adalah mengenai hak dan perselisihan pemutusan hubungan kerja, yang keduanya dapat diselesaikan melalui upaya hukum di luar pengadilan, seperti mediasi, konsiliasi, dan arbitrase. Dalam UU Olahraga, penyelesaian sengketa di bidang keolahragaan dilakukan oleh lembaga arbitrase olahraga independen yang dibentuk sesuai dengan Statuta Olimpiade. Hal ini menunjukkan bahwa Badan Arbitrase Keolahragaan Indonesia (BAKI) dan Badan Arbitrase Olahraga Indonesia atau (BAORI) akan menjalankan tugas dan fungsinya masing-masing, sampai dengan terbentuknya badan arbitrase olahraga berdasarkan undang-undang yang berlaku.

 

Pada akhirnya, Associate di BE Partners, Tri Prasetyo Dharma Yoga menyampaikan, kurangnya pengaturan hubungan kerja di sektor olahraga menciptakan area abu-abu dalam perlindungan hukum dalam hubungan kontraktual antara atlet dan klub; di mana atlet perlu memperlakukan kontrak mereka sebagaimana mestinya. Menetapkan kewajiban dan persyaratan hukum yang jelas adalah kunci untuk memastikan bahwa hak-hak mereka ditegakkan.

 

”Memastikan bahwa sponsor jelas, berapa lama kontrak berlangsung, pembayaran sponsor, kapan mereka dibebaskan, bagaimana mereka dibebaskan, apa saja tunjangan dan klausul pemutusan hubungan kerja (baik untuk sponsor maupun atlet) sangat penting. Ini karena hubungan antara atlet dengan klubnya masing-masing cenderung berada dalam lingkup perjanjian atau kontrak kerja yang bersifat sementara,” ujar Tri Prasetyo.  

 

Oleh karena itu, ada kekhawatiran bahwa faktor pelindungan, terutama bagi atlet profesional dalam olahraga, hanya akan didasarkan pada ’kesepakatan’ pihak-pihak yang bersangkutan. Para atlet, terlepas dari disiplin olahraganya, harus dibimbing secara tepat dalam pemahaman mereka tentang kewajiban kontrak dan perjanjian kerja dengan sponsor. Pendidikan dan program yang tepat seperti pendidikan dan pelatihan manajemen di perusahaan sponsor harus sejalan untuk memastikan masa depan olahraga yang sejahtera di Indonesia.

 

Artikel ini merupakan kerja sama Hukumonline dengan BE Partners.

Tags:

Berita Terkait