Mendorong Aparat Penegak Hukum Jerat Aktor Intelektual TPPO
Terbaru

Mendorong Aparat Penegak Hukum Jerat Aktor Intelektual TPPO

Selama ini proses penegakan hukum yang dilakukan dalam kasus TPPO hanya menyasar pelaku lapangan, bukan aktor intelektualnya.

Ady Thea DA
Bacaan 4 Menit
Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus AT Napitupulu
Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus AT Napitupulu

Tak sedikit warga negara Indonesia yang terjerat kasus tindak pidana perdagangan orang (TPPO). Dalam perkara TPPO yang belakangan ramai mendapat sorotan publik yakni modus penjualan ginjal di Kamboja. Penanganan yang dilakukan aparat penegak hukum dalam kasus TPPO menuai kritik dari kalangan masyarakat sipil karena selama ini hanya menyasar pelaku lapangan, bukan aktor intelektual.

Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus AT Napitupulu, mencatat dalam perkara jual ginjal ke Kamboja aparat Polda Metro Jaya telah menetapkan 12 orang tersangka. Terdiri dari 9 orang sindikat dalam negeri yang berperan merekrut, menampung, dan mengurus perjalanan korban. Kemudian 1 orang tersangka berperan sebagai penghubung korban dengan Rumah Sakit (RS) di Kamboja dan 2 sisanya merupakan oknum instansi Polri dan Imigrasi

“Namun, ada terduga pelaku yang dikenal dengan nama Miss Huang, berperan sebagai koordinator dari 12 tersangka tersebut, yang saat ini masih dalam status daftar pencarian orang (DPO),” kata Erasmus dikonfirmasi, Jumat (28/7/2023).

Baca juga:

Berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan ICJR mengenai evaluasi kerangka hukum TPPO dan bentuk eksploitasi lain, pria yang disapa Eras itu menyebut acapkali kasus penegakan hukum TPPO menyertakan DPO tapi tidak jelas tindaklanjutnya. Penyidik harusnya aktif merespon pernyataan tersangka lain yang menyebut tidak mengenal DPO bernama Miss Huang tersebut dan jaksa harus menjamin tindak lanjut terhadap DPO tersebut.

Seperti banyak kasus perdagangan orang lainnya, Eras mencatat pada kasus ini aparat kepolisian hanya berhasil menjerat pelaku lapangan dalam sindikat TPPO. Sementara itu, sosok Miss Huang sebagai koordinator 12 orang tersangka tersebut, belum diungkap.

Sekalipun dalam penelitian ICJR ditemukan batasan dalam kerangka hukum TPPO utamanya untuk menjerat perbuatan untuk tujuan eksploitasi di luar negeri, Eras menegaskan Pasal 2 UU No.21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang bisa digunakan dengan menjerat potensi eksploitasi di dalam negeri. Dengan begitu, aktor intelektual bisa dijerat.

Selain itu hasil penelitian ICJR tersebut menurut Eras mencatat jaminan hak korban tidak cukup dijalankan oleh aparat penegak hukum sebagai bagian dari komitemen penegakan hukum TPPO. ICJR dalam risetnya yang melakukan anotasi putusan yang sampai dengan tingkat kasasi di MA menemukan dari 38 perkara yang diputus sampai tingkat kasasi, hanya 2 perkara yang ada pendampingan korban dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), 3 korban meninggal dunia, sedangkan sisanya sebanyak 33 korban lagi tidak ada pendampingan dan pemulihan.

Kemudian soal restitusi untuk korban tindak pidana perdagangan orang, dari 38 perkara, sebanyak 26 perkara tidak diajukan tuntutan ganti kerugian oleh jaksa penuntut umum. Hanya 10 perkara yang dikabulkan restitusinya oleh hakim dan 2 perkara yang putusannya disertai dengan penyitaan/perampasan aset untuk kepentingan restitusi, namun tidak memuat teknis detail bagaimana perampasan aset tersebut dilakukan.

Eras menegaskan lembaganya tidak ingin hal tersebut kembali terjadi. Polisi telah menyatakan kepada publik berapa keuntungan pelaku, banyaknya korban, nilai uang yang diberikan kepada korban dan informasi bombastis lainnya. Berbagai hal itu harus ditindaklanjuti melalui langkah penegakan hukum yang konkret, dengan membekukan jalur transaksi keuntungan untuk mencari tahu aktor intelektual dan pemodal serta untuk merampas aset tersebut untuk membayar restitusi korban dan pemulihan korban.

Tak ketinggalan Eras mengusulkan sedikitnya 3 hal dalam penanganan kasus TPPO. Pertama, jaksa harus aktif sejak awal untuk menjamin penyidikan dilakukan secara tuntas dan tidak hanya berhenti pada pelaku lapangan. Kedua, jaksa memastikan penyidik melakukan pelacakan aset dan pemblokiran rekening untuk mencari tahu jalur jaringan dan membayar restitusi korban yang mencapai ratusan orang. Ketiga, hak korban untuk restitusi harus diajukan dalam tuntutan oleh Jaksa yang dikoordinasikan  melalui Penyidik Kepolisian dan LPSK sedari awal proses pengusutan kasus ini.

Sementara data Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI), mencatat dalam 5 tahun terakhir, pelaku TPPO melakukan eksploitasi korban di 33 provinsi di Indonesia yang merupakan sumber sekaligus tujuan trafficking. Presentase korban TPPO di Indonesia mayoritas perempuan (88.4 persen) dan 91 persen dialami orang dewasa. Tipe eksploitasi yang dialami pekerja migran Indonesia 95 persen eksploitasi kerja paksa dan 5 persen eksploitasi seksual.

PLT. Deputi Penempatan dan Pelindungan Kawasan Eropa dan Timur Tengah BP2MI, Brigadir Jenderal Pol. Dayan Victor Imanuel Blegur, menghitung periode 2020 – 2023 telah terjadi peningkatan kasus TPPO yang melibatkan WNI dan Pekerja Migran Indonesia (PMI) di luar negeri. BP2MI sudah melaksanakan penyelamatan dan pencegahan PMI non-prosedural sebanyak 7.268 kasus, dimana 714 di antaranya sudah dilimpahkan ke polisi dan 42 sudah di vonis.

“Penanganan PMI terkendala pada Tahun 2020 – 3 April 2023 berjumlah 91.353 orang, 90 persen merupakan korban kejahatan TPPO dan 80 persen korban adalah perempuan dan ibu-ibu,” bebernya.

Jenderal polisi bintang satu itu berharap, semua pihak terkait untuk berupaya membuat terobosan baru dalam tata kelola penempatan dan pelindungan pekerja migran Indonesia. Sebab tidak mudah menangani perkara TPPO karena menghadapi beragam tantangan misalnya penyidik kesulitan menggali informasi dari pelapor dan PMI yang menjadi korban TPPO kebanyakan berangkat secara non prosedural.

Tags:

Berita Terkait