Mencermati Ulang Hak Kekayaan Intelektual sebagai Jaminan dalam Perjanjian Kredit
Kolom

Mencermati Ulang Hak Kekayaan Intelektual sebagai Jaminan dalam Perjanjian Kredit

Ada empat tantangan yang tercatat dan perlu segera dibuat jalan keluarnya dari pelaksanaan Hak Kekayaan Intelektual sebagai benda jaminan.

Bacaan 5 Menit

Collateral atau jaminan penting bagi perbankan dalam memberikan pinjaman kepada debitur. Biasanya para pelaku ekonomi kreatif terbentur masalah tersebut ketika akan mengajukan pinjaman. Belum banyak aset kebendaan yang bisa menjadi jaminan untuk mereka. Padahal, bantuan permodalan adalah sesuatu yang dibutuhkan bagi pelaku ekonomi kreatif untuk berkembang. Penerimaan Hak Kekayaan Intelektual sebagai jaminan atas perjanjian kredit akan menjadi jalan keluar bagi pelaku ekonomi kreatif.

Ketiga, meningkatkan perekonomian nasional. Terfasilitasinya para pelaku ekonomi kreatif tentu juga akan membuat ekonomi nasional lebih bergerak dan berkembang. Sektor ekomoni kreatif dapat menjadi motor baru dari perkembangan ekonomi yang mampu meningkatkan taraf hidup masyarakat. Bercermin dari pengalaman Amerika Serikat, Korea Selatan, dan India maka tidak dapat dipungkiri harapan keberhasilan itu. Ekonomi kreatif bisa ikut menyokong ekonomi nasional bahkan menjadi tulang punggungnya bila dibina, dikembangkan, serta diberikan perhatian lebih dari pemerintah.

Selain itu, tentu saja tetap ada tantangan pelaksanaan Hak Kekayaan Inteletual sebagai benda jaminan. Ada empat tantangan yang Penulis catat dan perlu segera dibuat jalan keluarnya.

Pertama, peraturan teknis pelaksanaan. Saat ini masih tidak cukup dengan terbitnya PP No. 24 Tahun 2022 sebagai pelaksanaan dari Undang-Undang No. 24 Tahun 2019 tentang Ekonomi Kreatif. Masih dibutuhkan peraturan pelaksana lebih lanjut setingkat peraturan menteri yang lebih bersifat teknis. Praktik di lapangan agar Hak Kekayaan Intelektual diterima sebagai jaminan kredit tidak akan lancar tanpa petunjuk pelaksanaan teknis. Sebagai contoh, pelaksanaan fidusia diatur dalam peraturan teknis berupa Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 130/PMK.010/2012 Tentang Pendaftaran Jaminan Fidusia Bagi Perusahaan Pembiayaan Yang Melakukan Pembiayaan Konsumen Untuk Kendaraan Bermotor Dengan Pembebanan Jaminan Fidusia. Selanjutnya diperlukan peraturan teknis serupa dengan pembebanan fidusia bagi Hak Kekayaan Intelektual. Itu diperlukan sebagai pedoman pelaksanaan dalam pembebanan dan pendaftaran fidusia bagi Hak Kekayaan Intelektual. Perlu juga peraturan pelaksanaan bagi Kantor Jasa Penilai Publik dalam melakukan taksiran bagi objek Hak Kekayaan Intelektual.

Kedua, petugas penilai. Suatu barang jaminan dalam perjanjian kredit memerlukan penilai. Hasil taksirannya menjadi landasan bagi bank menerima atau tidak barang jaminan dari debitur. Pasal 41 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 173/PMK.06/2020 Tentang Penilaian Oleh Penilai Pemerintah di Lingkungan Direktorat Jenderal Kekayaan Negara mengatur tiga pendekatan untuk Kantor Jasa Penilai Publik melakukan tugasnya. Masing- masing pendekatan itu adalah Pendekatan Harga Pasar (proses penentuan nilai wajar aset berdasarkan harga jual aset yang serupa dengan objek penilaian), Pendekatan Biaya (nilai wajar ditentukan dari biaya pembuatan/penggantian baru atau New Replacement Cost (NRC) dikurangi dengan penyusutan), dan Pedekatan Pendapatan (nilai wajar aset ditentukan dari jumlah income atau pendapatan yang dihasilkan dari aset tersebut).

Selama ini Kantor Jasa Penilai Publik melakukan ketiga pendekatan tersebut hanya untuk menilai aset atau suatu perusahaan. Tentu akan sangat berbeda apabila diterapkan untuk Hak Kekayaan Intelektual khususnya karya seni. Merujuk PP No. 24 Tahun 2022, petugas penilai atas Hak Kekayaan Intelektual harusnya tidak hanya memiliki izin dari Kementerian Keuangan. Penting juga adanya prosedur wajib terdaftar di Kementerian Pariwisatan dan Ekonomi Kreatif. Usulan ini menjadi pekerjaan rumah besar untuk Kementerian Pariwisata Ekonomi Kreatif. Perlu ada suatu kurikulum, pedoman, dan pelatihan kompetensi bagi para petugas penilai yang akan melakukan penilaian atas Hak Kekayaan Intelektual.

Ketiga, keberadaan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) No. 40/POJK.03/2019 tentang Penilaian Kualitas Aset Bank Umum (POJK 40/2019). Bank terikat antara lain dengan ketentuan Otoritas Jasa Keuangan tersebut dalam melakukan pengikatan jaminan pada penyaluran kredit untuk debitur. POJK 40/2019 antara lain mengatur mengenai agunan yang dapat diperhitungkan sebagai pengurang penyisihan pengahapus aset—yaitu surat berharga dan saham aktif diperdagangakan di bursa, tanah, gedung, rumah tinggal, mesin yang menjadi kesatuan dengan tanah, pesawat udara, kapal laut, kendaraan bermotor, persediaan dan resi gudang. POJK 40/2019 tidak mengakomodasi Hak Kekayaan Interlektual sebagai agunan. Oleh karena itu, perlu merevisi POJK 40/2019, agar bank dapat melakukan pengikatan Hak Kekayaan Intelektual sebagai agunan untuk perjanjian kredit.

Terakhir, kendala jangka waktu. Perlu diingat bahwa Hak Kekayaan Intelektual memiliki jangka waktu tergantung wujudnya. Hak Cipta berdasarkan Pasal 58 Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta adalah selama hidup pencipta ditambah dengan 70 tahun setelah pencipta meninggal dunia. Lain lagi untuk Hak Paten berdasarkan Pasal 22 Undang-Undang No. 13 Tahun 2016 Tentang Hak Paten yaitu selama 20 tahun. Menjadi catatan bahwa jangka waktu kredit yang akan diberikan oleh bank kepada debitur harus memperhatikan jangka waktu Hak Kekayaan Intelektual itu sendiri. Faktanya, ada batas jangka waktu Hak Kekayaan Intelektual untuk menjadi objek jaminan.

*)Airlangga Z. Pratama adalah advokat di Jakarta.

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait