Mencari Sosok Ideal Nakhoda Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban
Kolom

Mencari Sosok Ideal Nakhoda Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban

Tujuh orang pimpinan dari berbagai latar belakang berbeda merupakan gagasan yang cukup ideal.

Bacaan 2 Menit
  1. Perlunya meningkatkan kemampuan SDM/ personel yang terlibat langsung dan bertanggungjawab terhadap pemberian pelayanan dan perlindungan saksi dan korban. SDM harus memiliki kompetensi dalam menganalisa kasus hukum yang dihadapi saksi dan korban dengan berbagai tingkat kompleksitas, menguasai tugas dan fungsi LPSK, serta memiliki kemampuan berkomunikasi yang efektif terhadap saksi dan korban. Kompetensi ini diharapkan mampu memberikan pelayanan yang tepat kepada saksi dan korban, selain itu juga dapat berkoordinasi dengan aparat penegak hukum dan instansi terkait.
  2. Penambahan sarana dan prasarana rumah aman (safe house) bagi para saksi dan korban selama proses hukum yang kasusnya masih berjalan. Hal ini penting untuk memberikan rasa aman dari berbagai kemungkinan ancaman, intimidasi, dan intervensi yang dapat dialami oleh saksi dan korban dalam memberikan kesaksian di pengadilan. Pengungkapan berbagai tindak pidana hingga saat ini masih terkendala dengan minimnya keterangan saksi dan korban, sebab para saksi dan korban merasa takut untuk mengungkapkan suatu kasus pidana yang dilihat atau dialami. Oleh sebab itu, LPSK sebagai Lembaga yang diberikan kewenangan oleh Undang-Undang harus senantiasa hadir dalam memberi pendampingan dan perlindungan bagi para saksi dan korban.
  3. Mengingat LPSK saat ini baru berada di pusat (Jakarta), maka LPSK perlu melakukan langkah-langkah terobosan dalam rangka menjangkau layanan permohonan perlindungan yang berasal dari daerah di seluruh Indonesia disamping pembentukan sekretariat bersama LPSK melalui kerjasama dengan berbagai institusi antara lain: Aparat Penegak Hukum (Kepolisian, Kejaksaan, KPK, Kemenkumham, dan lain sebagainya), Perguruan Tinggi, serta lembaga-lembaga negara lainnya. Perlu adanya perwakilan LPSK di daerah untuk memaksimalkan fungsi perlindungan bagi para saksi dan korban yang berada daerah. Pasal 11 ayat 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban memungkinkan adanya pembentukan perwakilan LPSK di daerah sesuai dengan keperluan.

 

Selain tantangan di atas, saat ini kewenangan serta cakupan tugas LPSK juga semakin luas dengan disahkannya UU Anti terorisme Nomor 5 Tahun 2018. Di mana pada peraturan perundangan ini, ditambahkan ketentuan mengenai perlindungan korban aksi terorisme secara komprehensif mulai dari definisi korban, ruang lingkup korban, pemberian hak-hak korban yang semula di Undang-Undang 15 tahun 2003 hanya mengatur mengenai kompensasi dan restitusi saja, kini telah mengatur pemberian hak berupa bantuan medis, rehabilitasi psikologis, rehabilitasi psikososial, santunan bagi korban meninggal dunia, pemberian restitusi dan pemberian kompensasi.

 

Para korban tindak pidana terorisme tentu saja akan mengalami trauma sehingga tidak cukup dengan hanya memberikan restitusi dan kompensasi melainkan juga memerlukan rehabilitasi psikososial dan bantuan psikologis yang dapat membantu meringankan dan memulihkan kondisi fisik, psikologis, spiritual, dan sosial para korban sehingga mampu untuk menjalankan kehidupannya kembali secara normal. Hal ini tentu menjadi tambahan tugas baru bagi LPSK. Dengan bertambahnya cakupan tugas LPSK, tentu akan menambah kewenangan yang sekaligus juga akan menjadi tantangan bagi LPSK ke depannya.

 

Sosok Ideal Pimpinan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban

LPSK sebagai lembaga yang memiliki peranan penting dalam perlindungan saksi dan korban, secara tidak langsung akan menjadikan proses peradilan mampu mencapai putusan yang objektif dan seadil-adilnya. LPSK dalam menjalankan perannya harus mampu merumuskan dengan baik kompensasi dan restitusi yang memadai bagi saksi maupun korban.

 

LPSK juga harus mendampingi para saksi dan korban pada setiap proses hukum yang dijalani hingga mendapatkan hak restitusi dan kompensasi. Selain itu penting pula untuk mengupayakan pelayanan rehabilitasi psikologis dan psikososial yang mencukupi, sehingga para saksi dan korban tidak mengalami trauma berkepanjangan serta dapat bangkit dan kembali berbaur menjalankan fungsi sosialnya di tengah masyarakat.

 

Pimpinan LPSK seyogianya mampu secara terus menerus melakukan penyesuaian dalam upaya peningkatan kapasitas lembaga. Dengan demikian diharapkan agar dinamika yang terjadi dalam proses peradilan dari waktu ke waktu justru menjadikan LPSK sebagai lembaga yang terus melakukan adaptasi serta membaca kebutuhan para saksi dan korban.

 

Calon Pimpinan LPSK diharapkan memiliki integritas dan kompetensi untuk dapat mewujudkan perlindungan saksi dan korban secara maksimal serta dapat membantu para saksi dan korban dalam mendapatkan hak-haknya sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait