Mencari Regulasi Ideal Industri Fintech P2P
Berita

Mencari Regulasi Ideal Industri Fintech P2P

Pelaku usaha ingin ketentuan batasan pendanaan fintech P2P ditingkatkan menjadi Rp 10 miliar.

Mochamad Januar Rizki
Bacaan 2 Menit
Wakil Ketua Bidang Riset, Hukum dan Etika AFPI, Ivan Tambunan dan Partner dari Kantor Hukum AKSET Law, Abadi Abi Tisnadisastra.
Wakil Ketua Bidang Riset, Hukum dan Etika AFPI, Ivan Tambunan dan Partner dari Kantor Hukum AKSET Law, Abadi Abi Tisnadisastra.

Perkembangan industri financial technology peer to peer lending (fintech P2P) atau pinjaman online sedang mendapat sorotan publik. Pasalnya, ragam persoalan seperti mekanisme penagihan hingga pencurian data pribadi masih membayangi industri yang baru berkembang sedekade terakhir. Kemudian, payung hukum Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) 77 Tahun 2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi dianggap belum cukup mengakomodir industri fintech P2P yang memiliki gaya bisnis dinamis.

 

Partner dari Kantor Hukum AKSET Law, Abadi Abi Tisnadisastra, menjelaskan gaya bisnis fintech pinjaman online ini memiliki keragaman. Sehingga, perlu pengaturan lebih komprehensif agar tidak menghambat inovasi bisnis industri tersebut. Perlu diketahui, kategori fintech P2P ini setidaknya terbagi menjadi tiga kategori fintech P2P ekosistem tertutup, terbatas dan terbuka. Untuk fintech P2P ekosistem tertutup dan terbatas, penyaluran pinjaman ditujukan untuk kegiatan produktif. Sedangkan, ekosistem terbuka umumnya digunakan kegiatan konsumtif.

 

Sehingga, Abi menjelaskan perlu pengaturan lebih spesifik agar kegiatan bisnis industri fintech P2P lebih pesat. Dia mencotohkan batasan maksimal pinjaman dana sebesar Rp 2 miliar kepada nasabah. Menurutnya, batasan tersebut terbilang kecil apabila pinjaman tersebut digunakan untuk kegiatan produktif.

 

“Fintech P2P ini kegiatan bisnis dan produknya bermacam-macam tapi pengaturannya masih general. Sehingga, agak sulit bagi perusahaan yang menyalurkan pinjaman untuk kegiatan produktif karena terkena ketentuan seperti batasan pinjaman Rp 2 miliar. Kalau, pinjaman konsumtif mungkin cukup tapi untuk kegiatan produktif kurang besar. Sehingga, perlu regulasi lebih spesifik sehingga tidak memberatkan dan memberi kepastian hukum bagi para pelaku industri ini,” jelas Abi dalam Diskusi Hukumonline 2019 “Perkembangan Hukum dan Praktik Teknologi Finansial P2P di Indonesia, Kamis (11/4).

 

(Baca Juga: Persoalan Perlindungan Konsumen di Industri Fintech)

 

Selain itu, Abi menyoroti kebijakan batasan penagihan tertunggak 90 hari yang diatur dalam kode perilaku atau code of conduct Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI). Menurutnya, batasan waktu tersebut perlu disesuaikan dengan gaya bisnis masing-masing penyelenggara. Batasan penagihan tertunggak ini diatur sehingga penyelenggara fintech P2P lending tidak dapat mengenakan denda keterlambatan pengembalian kepada nasabah. 

 

Atas kondisi tersebut, Abi yang juga merupakan salah satu anggota Komite Etik AFPI menilai perlu ada koordinasi antara OJK dengan asosiasi dalam penyusunan regulasi tersebut. Sehingga, setiap ketentuan yang disusun dapat diimplementasikan para penyelenggara fintech P2P.

 

Wakil Ketua Bidang Riset, Hukum dan Etika AFPI, Ivan Tambunan, menyatakan pihaknya sedang menyempurnakan regulasi fintech P2P. Salah satu yang jadi fokus sehubungan dengan batasan maksimal pinjaman. Dia mengusulkan agar batasan pinjaman tersebut ditingkatkan menjadi Rp 10 miliar.

 

Ketentuan ini juga disesuaikan dengan batasan pendanaan equity crowdfunding yang diatur dalam POJK 37 Tahun 2018 tentang Layanan Urun Dana Melalui Penawaran Saham Berbasis Teknologi Informasi (Equity Crowdfunding).

 

“Kami sekarang lagi mendekati OJK agar batasan pinjaman tersebut dapat ditingkatkan menjadi Rp 10 miliar. Batasan ini agar disamakan dengan industri equity crowdfunding. Saat ini, kebutuhan (pendanaan) keseluruhan debitur jadi enggak bisa terpenuhi,” jelas Ivan.

 

Kemudian, Ivan juga menyadari kode perilaku yang menjadi self-regulatory organization (SRO) industri fintech P2P perlu ditinjau kembali. Dia menilai persoalan perlindungan data pribadi merupakan salah satu fokus yang sedang ditingkatkan AFPI. Pasalnya, masih terdapat anggota AFPI atau fintech P2P legal melanggar perlindungan data pribadi.

 

Berdasarkan pengaduan konsumen yang diterima AFPI, terdapat 214 kasus atau 41 persen sehubungan perlindungan data pribadi. Jumlah tersebut merupakan kedua terbesar setelah penagihan kasar yang mencapai 228 kasus. “Ada sekitar 30 persen pelanggaran yang dilakukan fintech terdaftar (legal),” tambah Ivan.

 

Sebagai asosiasi, AFPI juga dapat menerapkan sanksi kepada para anggotanya apabila terbukti melanggar aturan main fintech P2P. Sanksi berupa teguran hingga pencabutan keanggotan dapat dikenakan pada penyelenggara fintech P2P.

 

Perlu diketahui, dengan sanksi pencabutan keanggotaan tersebut maka penyelenggara dapat dikategorikan ilegal karena tidak sesuai dengan ketentuan POJK 77/2016. Aturan tersebut menyatakan setiap penyelenggara harus tergabung dalam AFPI sebagai asosiasi yang mendapat mandat OJK.

 

Tags:

Berita Terkait