Mencari Pro Bono Champion, Simak Cerita Para Ketua DPC Peradi Jakarta
Utama

Mencari Pro Bono Champion, Simak Cerita Para Ketua DPC Peradi Jakarta

Meneladani jejak pro bono Ketua DPC Peradi di Jakarta. Bantu hukumonline dengan mengisi lengkap surveinya.

Normand Edwin Elnizar
Bacaan 2 Menit

 

Octolin Hutagalung, Ketua DPC Peradi Jakarta Selatan mengatakan bahwa pro bono tidak dapat dipisahkan dari praktik advokat dalam memberikan layanan jasa hukum. “Sangat penting karena itu terkait idealisme profesi,” katanya.

 

Selama 17 tahun berkarier, Octolin melakukan pro bono baik dalam bentuk konsultasi hukum gratis maupun pendampingan hukum dalam sengketa. “Prinsipnya harus ada nilai-nilai sosial dalam profesi, jangan komersial terus,” Octolin menambahkan.

 

Ia bahkan berbagi cerita soal inovasi DPC Peradi Jakarta Selatan untuk memperluas jangkauan anggotanya mendapatkan perkara pro bono. “Kami akan mengirim surat ke Kantor Kecamatan dan Kelurahan agar dipasang pengumuman jika perlu bantuan advokat karena tidak mampu, bisa hubungi hotline kami,” ujarnya.

 

Sependapat dengan kedua rekannya, Arman Hanis yang menjabat Ketua DPC Peradi Jakarta Pusat berbagi tips kantor hukum yang dikelolanya dalam menangani pro bono. Kantor hukum miliknya menyisihkan dana khusus dari berbagai pemasukan hasil perkara berbayar. Ketika ada perkara pro bono yang membutuhkan biaya operasional tertentu, para advokat di kantornya bisa menggunakan dana tersebut. “Subsidi silang, dari (klien) yang membayar kita pakai untuk membiayai pro bono. Gaji nggak dipotong,” Arman menjelaskan.

 

Hukumonline.com

 

Selama 19 tahun berkarier, ia menceritakan bahwa membagi waktu untuk memberikan jasa pro bono pada dasarnya persoalan kemauan ketimbang kemampuan. Setidaknya advokat selalu bisa memberikan layanan jasa konsultasi hukum gratis bagi klien yang tidak mampu. Ia mencontohkan dirinya yang rutin menerima klien pro bono tiap bulan dalam bentuk memberikan konsultasi hukum gratis.

 

Kalaupun memang tidak mampu membiayai operasional pendampingan berperkara, advokat bisa saling bekerja sama untuk menutup kebutuhan biaya bahkan dengan memanfaatkan organisasi bantuan hukum yang dibiayai Pemerintah. “Saya berharap para advokat tidak hanya mementingkan honorarium. Masyarakat yang tidak mampu juga perlu lawyer profesional,” kata Arman berpesan.

 

Nah, bagaimana dengan Anda? Mari luangkan waktu untuk mengikuti survei Hukumonline kali ini. Hukumonline berharap inisiatif ini dapat menjadi bagian dari solusi untuk menjadikan gerakan pro bono sebagai gaya hidup profesional advokat Indonesia “zaman now”, dan bukan sekadar pekerjaan yang dilakukan karena kewajiban undang-undang atau karena belas kasihan.

 

Semoga para juara-juara pro bono dalam “INDONESIA #PROBONO2018 CHAMPIONS” akan menginspirasi puluhan ribu advokat lain di Indonesia. Langkah kecil ini dapat menjadi awal dari kontribusi para advokat dan kantor hukum di Indonesia untuk memperkecil kesenjangan bantuan hukum cuma-cuma kepada masyarakat miskin pencari keadilan.

Tags:

Berita Terkait