Menanti Undang-undang Khusus Fintech yang Ramah Konsumen
Perlindungan Konsumen 2020

Menanti Undang-undang Khusus Fintech yang Ramah Konsumen

Regulasi mengenai perlindungan data pribadi menjadi salah satunya. Perlu dicatat, risiko pelanggaran hak konsumen juga terjadi di fintech legal atau yang terdaftar di OJK.

Mochamad Januar Rizki
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: UCP
Ilustrasi: UCP

Industri financial technology (fintech) khususnya pendanaan atau pinjaman online semakin populer digunakan masyarakat Indonesia saat ini. Berbagai kebutuhan mulai dari pinjaman dana untuk usaha atau produktif maupun konsumsi seperti belanja kebutuhan sehari-hari hingga pesta pernikahan dilayani oleh fintech. Jumlah pinjamannya pun bervariasi mulai bisa Rp 500 ribu hingga paling tinggi Rp 2 miliar bisa diberikan fintech.

 

Namun, industri fintech ini lekat dengan pelanggaran konsumen. Salah satu penyebab utamanya yaitu maraknya fintech ilegal di masyarakat. Praktik fintech ilegal ini menjerat masyarakat dengan bunga tinggi sehingga pinjaman masyarakat yang awalnya terbilang kecil menjadi bengkak utang nasabah atau peminjam yang harus dikembalikan karena terdapat bunga dan denda yang di luar ketentuan. Akibatnya, nasabah kesulitan mengembalikan pinjaman tersebut apabila melewati jatuh tempo.

 

Ketentuan mengenai dana ini terdapat dalam peraturan OJK Nomor 77 Tahun 2016 serta kode perilaku atau code of conduct Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI). Dalam aturan tersebut, bunga tidak boleh mebihi 0,08% per hari dengan penagihan maksimal 90 hari. Sehingga pengembalian tidak melebihi 100% dari total pinjaman. Namun, permasalahan yang terjadi pada fintech ilegal, nasabah bisa terkena kewajiban pengembalian utang melebihi batas aturan tersebut.

 

(Baca: Meneropong Perlindungan Konsumen Jasa Finansial di Tahun Tikus Logam)

 

Persoalan tersebut tentunya menimbulkan permasalahan lain khususnya dalam penagihan. Fintech ilegal tidak segan mencuri data pribadi nasabah yang terlambat mengembalikan pinjaman tersebut. Pelaku mencuri data pribadi seperti nomor kontak, foto serta video yang terdapat dalam telepon genggam nasabah. Melalui data pribadi tersebut, pelaku menyebar data pribadi kepada rekan nasabah. Selain itu, pelaku juga meneror atau mengancam nasabah agar mengembalikan pinjaman tersebut.

 

Contoh kasus yang telah ditindak Satgas Waspada Investas (SWI) yaitu penegakan hukum terhadap PT Vega Data Indonesia dan PT Barracuda Fintech Indonesia pada akhir 2019. Sebelumnya, SWI juga telaah menindak PT Vcard Technology Indonesia (Vloan) yang melakukan tindakan asusila, pornografi serta teror terhadap nasabahnya.

 

Tingginya jumlah fintech ilegal ini juga tercermin dalam data laporan pengaduan yang diterima Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). Lembaga tersebut sepanjang 2019 menerima pengaduan soal fintech pinjaman online sebanyak 96 pengaduan atau terbanyak kedua setelah pengaduan perbankan.

 

Bahkan, SWI juga telah menemukan 120 entitas ilegal yang melakukan kegiatan fintech peer to peer lending pada Januari. Padahal, SWI sebelumnya telah menghentikan kegiatan 1.494 fintech tersebut sehingga jumlah yang dihentikan menjadi 2018 entitas ilegal.

 

Pengaduan Fintech Legal

Sayangnya, risiko pelanggaran hak konsumen juga terjadi di fintech legal atau terdafatar di OJK. Kerawanan ini terlihat dari pengaduan konsumen yang diterima YLKI sepanjang 2019. Terdapat sebanyak 17 pengaduan konsumen sehubungan fintech legal.

 

Kepala Bidang Pengaduan YLKI, Aji Warsito menyatakan sehubungan permasalahan yang diterima pihaknya sama antara fintech legal dan ilegal. Pihaknya menerima pengaduan konsumen terkait penetapan bunga tinggi atau melebihi batas yang ditetapkan OJK dan asosiasi yaitu sebesar 0,08 persen per hari juga terjadi pada fintech legal. Lalu, ada juga permasalahan penyalahgunaan data pribadi dalam pengaduan tersebut.

 

Hukumonline.com

Sumber: YLKI

 

“Permasalahan yang diadukan hampir sama baik itu legal maupun ilegal yaitu tata cara penagihan  yang kasar tidak beretika ketika konsumen menunggak pembayaran setelah jatuh tempo. Lalu, pengalihan kontak,pengalihan kontak ini tanpa seizin konsumen ketika konsumen melakukan pinjaman online otomatis kontak yang ada di handphone itu berpindah ke perusahaan pinjaman online dan ketika konsumen menunggak pembayaran otomatis orang-orang terdekat akan dihubungi oleh pihak pinjol dan menagih utangnya,” jelas Aji kepada hukumonline, Selasa (18/2).

 

Hukumonline.com

 

Kemudian, persoalan administrasi yang dibebankan kepada konsumen sehingga dana yang diterima nasabah lebih rendah dari pinjaman sebenaarnya. “Ketika konsumen mengajukan pinjaman ada biaya-biaya administrasi yang dibebankan kepada konsumen misalnya pinjaman Rp 1 juta yang diberikan ke konsumen hanya Rp 800 ribu,” tambah Aji.

 

Hukumonline.com

 

Dia menilai maraknya persoalan ini karena belum ada regulasi setingkat undang-undang yang mengatur fintech. Menurutnya, tanpa ada UU tersebut maka upaya pecegahan yang dilakukan saat ini belum optimal. “Segeralah pemerintah membuat suatu regulasi yang mengatur fintech jangan hanya diatur dengan peraturan OJK agar permasalahan yang diadukan konsumen atau borrower fintech tidak menjadi bola salju kedepannya,” jelas Aji.

 

Maraknya pengaduan konsumen fintech juga menjadi sorotan tersendiri bagi Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN). Lembaga ini juga sedang mengkaji mengenai regulasi yang diperlukan untuk meningkatkan perlindungan konsumen.

 

Kepala BPKN, Ardiansyah Parman juga mengimbau kepada masyarakat berhati-hati khususnya terkait suku bunga. Hal ini karena suku bunga fintech cenderung lebih tinggi dibandingkan jasa keuangan lain. “Ini luar biasa membebani karena bebannya sangat tinggi,” jelas Ardiansyah, Rabu (26/2).

 

Hukumonline.com

 

Menurut Ardiansyah, salah satu regulasi yang dibutuhkan saat ini untuk memberi perlindungan konsumen dalam ekonomi digital yaitu UU Perlindungan Data Pribadi. Menurutnya, kerawanan bocornya data pribadi masyarakat terjadi karena belum ada pengaturan ketat mengenai hal tersebut. Dia mendorong pemerintah bersama DPR segera mengesahkan RUU tersebut agar ada kepastian hukum yang memberi kepercayaan pada masyarakat.

 

Menyadari belum matangnya infrastruktur pengawasan industri fintech ini, OJK mengumumkan secara resmi menghentikan pendaftaran perusahaan financial technology (fintech) lending. Otoritas ini menganggap industri fintech saat ini memerlukan penyempurnaan sistem pengawasan sekaligus meningkatkan kualitas industri demi memberi perlindungan bagi konsumen.

 

“OJK menghentikan sementara pemberian slot pendaftaran baru financial technology lending. Penghentian ini dilakukan untuk memberi waktu dalam penyempurnaan sistem pengawasan dan memastikan sistem peningkatan kualitas industri ini,” jelas Kepala Eksekutif Pengawas Industri Keuangan Non Bank OJK, Riswinandi, Senin (24/2).

 

Meski terdapat penghentian pendaftaran sementara waktu, OJK tetap memproses perusahaan fintech yang sudah terdaftar untuk mendapatkan izin. Berdasarkan data OJK, terdapat 164 perusahaan fintech yang sudah beroperasi di Indonesia saat ini.  Dari jumlah tersebut, sebanyak 25 perusahaan fintech telah mengantongi izin OJK.

 

Ketua Satgas Waspada Investasi, Tongam Lumban Tobing, dalam beberapa kesempatan mengimbau kepada masyarakat untuk tidak tergiur terdahap imbal hasil dan kemudahan yang ditawarkan perusahaan fintech ilegal tersebut. Menurut Tongam, imbal hasil yang tidak wajar merupakan salah satu ciri-ciri dari investasi ilegal.

 

Kemudian, masyarakat juga diimbau untuk teliti memilih perusahaan fintech dengan cara mengetahui terlebih dahulu kejelasan lokasi perusahaan. Tongam menjelaskan entitas ilegal tersebut mayoritas tidak memiliki alamat kantor yang jelas. Terlebih lagi, dari daftar entitas ilegal tersebut merupakan entitas asing terutama dari Cina.

 

Tongam menjelaskan dalam berinvestasi terdapat dua hal yang harus dipahami masyarakat yaitu imbal hasil dan tingkat risiko. Menurutnya, setiap investor perlu mengenali profil risiko dari masing-masing entitas sebelum berinvestasi, sehingga dapat memilih instrumen yang paling sesuai dengan kebutuhannya. Sayangnya, investor seringkali hanya memperhatikan tingkat imbal hasil, namun tidak menjelaskan potensi risiko yang bakal dialami seperti kerugian dan gagal bayar.

 

Tags:

Berita Terkait