Menanti Sprindik Baru Eks Wamenkumham Eddy Hiariej
Terbaru

Menanti Sprindik Baru Eks Wamenkumham Eddy Hiariej

KPK masih terus melakukan analisis putusan praperadilan untuk menjadi bagian dalam menyiapkan sprindik baru. KPK pun sependapat dengan masukan ICW.

Rofiq Hidayat
Bacaan 4 Menit
Kepala Bagian Pemberitaan KPK, Ali Fikri  (kanan). Foto: RES
Kepala Bagian Pemberitaan KPK, Ali Fikri (kanan). Foto: RES

Kekalahan ‘bertempur’ di ruang sidang praperadilan yang diajukan pemohon mantan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Prof Edward Omar Sharif Hiariej tak menyurutkan langkah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melanjutkan proses perkara dugaan suap pengurusan administrasi di Kemenkumham.

Putusan praperadilan yang menyatakan tidak sahnya penetapan tersangka terhadap Prof Edward Omar Sharif Hiariej tidak berarti langkah KPK terhenti. Sebaliknya, KPK masih terbuka peluang melanjutkan perkara dengan menerbitkan surat perintah penyidikan (Sprindik) baru terhadap perkara tersebut.

Kepala Bagian Pemberitaan KPK, Ali Fikri menegaskan pihaknya masih mempelajari argumentasi dan dalil pertimbangan hukum putusan praperadilan yang mengabulkan permohonan Edward Omar Sharif Hiariej atau biasa disapa Eddy Hiariej. Serta putusan praperadilan yang dimohonkan Helmut Hermawan sebagai tersangka penyuapan terhadap mantan Wamenkumham Eddy Hiariej oleh KPK.

Pasalnya hakim tunggal Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) menilai penetapan tersangka tidak sah, karena tidak memenuhi dua alat bukti yang sah. Proses mempelajari dan menganalisis kedua putusan praperadilan PN Jaksel itu terus dilakukan yang hasilnya nanti menjadi bahan dalam menentukan langkah hukum selanjutnya. Yakni pembuatan Sprindik baru.

Kami masih terus melakukan analisis untuk siapkan sprindik barunya,” ujarnya melalui keterangannya sebagaimana dikutip dari laman Antara, Rabu (29/2/2024).

Baca juga:

Pria berlatarbelakang jaksa itu mengamini masukan dari Indonesia Corruption Watch (ICW) yang mendorong KPK agar kembali menempuh langkah menetapkan kembali Eddy Hiariej sebagai tersangka dengan catatan, adanya alat bukti yang cukup. Lagipula, forum praperadilan hanya sebatas menguji aspek formil suatu perkara.  Sementara, materi pokok perkara tidaklah gugur.

“KPK sependapat dengan hal tersebut, bahwa secara substansi hukum, putusan praperadilan yang menguji aspek formil, tidak menggugurkan materi penyidikannya,” ujarnya.

Lebih lanjut Ali menilai, masukan ICW menjadi berarti sebagai bentuk peran serta dan dukungan masyarakat dalam upaya pemberantasan korupsi di tanah air. Ali berjanji bakal menyampaikan perkembangan terbaru perkara yang ditengarai menyandung Eddy Hiariej. Sekaligus mengajak publik agar mengawal proses penanganan perkara tersebut nantinya.

Hal ini untuk memastikan agar penegakan hukum di Indonesia dapat berjalan efektif dan tidak pandang bulu,” katanya.

Peneliti ICW, Diky Anandya berpandangan putusan Praperadilan Eddy sangat problematik dari sisi pertimbangan hakim. Pasalnya, hakim tunggal PN Jaksel gagal memahami konstruksi Pasal 44 UU No.19 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas UU No.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, di mana pada fase penyelidikan, lembaga antirasuah tersebut sudah mengumpulkan bukti permulaan yang cukup.

Atas permasalahan tersebut, ICW khawatir putusan tersebut dimanfaatkan oleh tersangka lain untuk menggugat penetapan tersangkanya melalui jalur praperadilan. Dia menilai, KPK bisa segera melanjutkan proses penyidikan dengan dasar surat perintah penyidikan yang sudah ada. Apalagi putusan praperadilan terhadap Eddy sama sekali tidak menganulir keabsahan surat perintah penyidikan (Sprindik) tersebut.

“Harusnya tidak ada alasan bagi KPK untuk menunda penetapan Eddy sebagai tersangka,” ujarnya.

Penetapan ulang seseorang sebagai tersangka pasca praperadilan pernah dilakukan KPK. Yakni dalam perkara Setya Novanto. Mantan Ketua DPR itu pernah memenangkan praperadilan melawan KPK pada 29 September 2017. Namun tak lama berselang, 31 Oktober 2017, KPK kembali menetapkan Setya Novanto sebagai tersangka.

Lagipula, bila dicermati soal sah atau tidaknya penetapan tersangka sebenarnya tidak menggugurkan tindak pidana. Hal ini didasarkan pada Pasal 2 ayat (3) Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No.4 Tahun 2016 tentang Larangan Peninjauan Kembali Putusan Praperadilan. Dengan kata lain, kewenangan penyidik menetapkan kembali seseorang sebagai tersangka berdasarkan bukti permulaan yang cukup masih terbuka lebar.

Selain itu, Perma 4/2016 pun diperkuat dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 42/PUU-XV/2017 yang memungkinkan penegak hukum untuk menggunakan alat bukti yang pernah dipakai pada perkara sebelumnya. Dengan catatan alat bukti tersebut harus disempurnakan.

Sekedar diketahui, PN Jaksel pun telah menerbitkan putusan praperadilan soal penetapan tersangka Helmut Hermawan oleh KPK terkait penyuapan terhadap mantan Wamenkumham Eddy Hiariej yang tidak sah. Sebab hakim tunggal menilai penetapan tersangka tidak memenuhi dua alat bukti yang sah.

“Mengabulkan permohonan praperadilan pemohon untuk sebagian dan menyatakan penetapan tersangka atas pemohon yang dilakukan oleh termohon tidak sah,” kata Hakim Tunggal PN Jaksel Tumpanuli Marbun di Jakarta saat membacakan putusan gugatan praperadilan tersebut pada Selasa (27/2/2024).

Sebelumnya, Hakim tunggal Estiono menerbitkan putusan yang intinya penetapan tersangka yang dilakukan KPK terhadap Eddy Hiariej  tidak sah. Hal itu diputuskan dalam sidang pembacaan putusan yang digelar di PN Jakarta Selatan, Jakarta, Selasa (30/1/2024).

Eddy merupakan salah seorang tersangka yang ditetapkan penyidik KPK dalam kasus dugaan suap pengurusan administrasi tanpa melalui prosedur di Kemenkumham. Selain Eddy, tersangka lainnya adalah pengacara Yosi Andika Mulyadi (YAM) dan asisten pribadi Eddy, Yogi Arie Rukmana (YAR). Sementara itu, seorang lainnya, yakni Direktur Utama PT Citra Lampia Mandiri (CLM) Helmut Hermawan (HH) telah ditahan oleh komisi antirasuah.



Tags:

Berita Terkait