Menanti Putusan Hakim Soal Gugatan Bagasi Berbayar Pesawat
Utama

Menanti Putusan Hakim Soal Gugatan Bagasi Berbayar Pesawat

KKI meminta agar pemberian izin pemberlakuan bagasi berbayar pesawat itu dibatalkan oleh Kemenhub melalui perintah pengadilan.

Hamalatul Qur'ani
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS

Setelah berjalan sejak 21 Februari lalu, sidang gugatan Komunitas Konsumen Indonesia (KKI) terhadap Menteri Perhubungan (Tergugat I), Dirjen Perhubungan Udara Kemenhub (Tergugat 2), PT Lion Mentari Airlines (Tergugat 3), PT Wings Mentari Airlines (Tergugat 4) dan PT Citilink Indonesia (Tergugat 5) dengan nomor 88/Pdt.G/2019/PN.Jkt.Pst soal bagasi berbayar akan di putus Kamis (7/11).

 

Adapun yang disorot KKI dalam kasus ini berkaitan erat dengan adanya kecacatan prosedur dalam proses pemberlakuan bagasi berbayar. Ketua KKI David Tobing mengatakan seharusnya persetujuan pemberlakuan bagasi berbayar oleh Kemenhub kepada maskapai sesuai dengan ketentuan Pasal 63 ayat (2) Permenhub No. PM 185 Tahun 2015, yakni paling lambat 60 hari sebelum pelaksanaan. Sayangnya, katanya pengajuan perubahan Standar Operasional Prosedur (SOP) bagasi berbayar tidak dilakukan dalam jangka waktu itu.

 

Contohnya, kata David, Lion air tiba-tiba mengeluarkan pengumuman tanggal sekian, padahal kalau merujuk ke Permenhub untuk penerapan tariff bagasi berbayar itu termasuk penerapan perubahan SOP, sehingga perlu ijin dari Menteri Perhubungan. Ternyata, katanya, Lion Air belum menyurati Menhub ketika itu untuk meminta izin. Dua hari sebelum diberlakukan, akhirnya diperingatkan oleh Kemenhub untuk menulis surat terlebih dahulu kepada Menhub.

 

“Akhirnya dia nulis surat, tapi enggak lama kemudian prosesnya langsung disetujui. Itu yang kami sorot. Telah terjadi pelanggaran atas Pasal 63 Permenhub,” terangnya.

 

Pasal 63:

  1. Setiap perubahan standar operasional prosedur (Standard Operating Procedure/SOP) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 wajib mendapatkan persetujuan Direktur Jenderal.
  2. Permohonan perubahan standar operasional prosedur (Standard Operating Procedure/SOP) wajib disampaikan secara lengkap oleh badan usaha angkutan udara niaga berjadwal kepada Direktur Jenderal paling lama 60 (enam puluh) hari kerja sebelum pelaksanaan perubahan SOP.
  3. Persetujuan atau penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan paling lama 14 (empat belas) hari kerja setelah permohonan diterima secara lengkap.

 

KKI turut menyoroti adanya ketidaksinkronan antara maksud dan tujuan perlunya evaluasi oleh kemenhub dengan jangka waktu yang diharuskan bagi maskapai untuk mengajukan ijin perubahan SOP. Seharusnya, katanya, perubahan SOP bagasi berbayar ini memerlukan waktu yang lama, karena perlu evaluasi dan disosialisasikan ke masyarakat. Tapi ternyata, katanya, kata-kata ‘paling lama’ dalam Permenhub itu disalah artikan.

 

Seharusnya, frasa ‘paling lama’ di Permenhub itu diartikan dengan maksud bahwa pemberitahuan perubahan SOP dilakukan ‘paling lambat’ 60 hari, mengingat diperlukannya waktu untuk evaluasi perubahan SOP dan sosialisasi terkait perubahan itu kepada masyarakat. Dari situ, KKI menilai bahwa Kemenhub dan maskapai telah melanggar ketentuan Permenhub dan digugat dengan gugatan perbuatan melawan hukum.

 

“Kalau dia mengartikan selama-lamanya 60 hari, artinya bisa saja pemberitahuan itu dilakukan satu hari sebelum diberlakukan, lantas dengan waktu sesempit itu bagaimana fungsi evaluasi dan sosialisasi bisa dilakukan?” tegasnya.

 

(Baca: Harga Tiket Pesawat Saat Ini Diyakini Hasil Predatory Pricing Masa Lalu)

 

Dengan begitu, KKI meminta agar pemberian izin pemberlakuan bagasi berbayar pesawat itu dibatalkan oleh Kemenhub melalui perintah pengadilan. Sisanya, dalam petitum gugatan ini KKI tidak meminta ganti kerugian immaterial apapun, hanya meminta ganti kerugian materiil sebesar Rp. 6000.

 

“Intinya yang kita minta bukan ganti kerugian, cuman meminta Kemenhub membatalkan surat tersebut,” tukasnya.

 

Kendati mengajukan gugatan, KKI tak menampik bahwa Pasal 97 UU No. 1 tahun 2009 tentang Penerbangan memang memperbolehkan maskapai mengenakan biaya atas bagasi tercatat khusus untuk penerbangan dengan kategori pelayanan standar minimum (no frills). Akan tetapi, kata-kata boleh berbayar itu tentu berimplikasi pada terjadinya perubahan SOP, dan untuk melewati perubahan SOP itu harus melewati beberapa prosedur yaitu berkirim surat ke Menhub (vide; Pasal 99 UU 1/2009).

 

“Kapankah mengirim suratnya? Itulah yang jadi perdebatan. Kalau menurut kami, 60 hari sebelum diberlakukan. tapi menurut kemenhub dan Lion Air itu paling lama. Kita lihat saja putusan majelis akhirnya akan seperti apa,” jelasnya.

 

Pasal 99:

  1. Badan usaha angkutan udara niaga berjadwal yang berbasis biaya operasi rendah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 harus mengajukan permohonan izin kepada Menteri.
  2. Menteri menetapkan badan usaha angkutan udara niaga berjadwal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setelah memenuhi persyaratan yang ditetapkan.
  3. Terhadap badan usaha angkutan udara niaga berjadwal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dilakukan evaluasi secara periodik.

 

Untuk diketahui, pada sidang kedua gugatan bagasi berbayar ini 24 advokat yang tergabung dalam Tim Advokasi Amicus terlibat mengajukan Amicus Curiae kepada majelis hakim pemeriksa perkara Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Untuk diketahui, Amicus Curiae (sahabat peradilan) merupakan bentuk upaya pihak yang merasa berkepentingan atas suatu perkara untuk memberikan pendapat hukumnya kepada pengadilan.

 

Dalam keterangan tertulisnya, Tim Advokasi Amicus menyatakan bahwa Kebijakan Bagasi Berbayar ini meresahkan publik mengingat penerapan kebijakan ini tidak urgen dan prematur (terburu-buru), hal itu terlihat pada adanya pengkajian ulang kebijakan bagasi berbayar oleh Direktorat Jendral Perhubungan Udara. 

 

Kebijakan Bagasi Berbayar nyata-nyata tidak mempengaruhi kualitas pelayanan dari perusahaan penerbangan itu sendiri sehingga tidak bermanfaat bagi masyarakat, hal ini bertolak belakang dengan asas dan tujuan penerbangan (Vide; Pasal 2 & 3 UU 1/2009).

 

“Kebijakan Bagasi Berbayar ini tetap harus memperhatikan azas dan tujuan penerbangan itu sendiri karena penerapan bagasi berbayar terkait langsung dengan kemanfaatan, kepentingan umum, keterbukaan dan antimonopoli demi mewujudkan penyelenggaraan penerbangan yang tertib,teratur, selamat, aman, nyaman, dengan harga yang wajar, dan menghindari praktek persaingan usaha yang tidak sehat,” begitu kutipan Amicus Curiae Tim Advokasi Amicus.

 

Sebelumnya, pada 29 Januari 2019 Komisi V DPR RI juga pernah mendesak Kementerian Perhubungan cq Ditjen Perhubungan Udara untuk menunda pemberlakuan kebijakan bagasi berbayar hingga selesainya kajian ulang terhadap kebijakan tersebut dengan mempertimbangkan kemampuan masyarakat dan kelangsungan industri penerbangan nasional.

 

Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Kemenhub, Polana B Pramesti mengaku, telah melakukan evaluasi terkait penerapan bagasi berbayar Lion Air dan Wings Air lantaran ketika itu sudah ditemukan beberapa hal yang harus ditindaklanjuti.

 

"Kami telah melakukan evaluasi, terhadap penerapan bagasi berbayar yang telah dilakukan oleh PT Lion Mentari Airlines dan PT Wings Abadi Airlines. Langkah tersebut kami lakukan setelah mendapatkan masukan dari Komisi V atau Komisi Infrastruktur dan Perhubungan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada Rapat Kerja hari Selasa, 29 Januari 2019 yang lalu," kata Polana seperti dikutip Antara di Jakarta, Jumat (1/2) lalu.

 

Selain itu, Polana telah meminta Lion Air dan Wings Air untuk melakukan sosialisasi dengan membuat infografis mengenai daftar harga tarif prabayar maupun EBT untuk semua rute yang dilayani dan batasan bagasi prabayar yang dapat dibeli oleh penumpang.

 

Tags:

Berita Terkait