Menanti Pertemuan Jokowi-KPK Bahas RKUHP
Utama

Menanti Pertemuan Jokowi-KPK Bahas RKUHP

KPK berharap resiko pengesahan RKUHP bisa didengar langsung Presiden Jokowi.

Aji Prasetyo
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: HGW
Ilustrasi: HGW

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengapresiasi pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang akan mengalokasikan waktu untuk mendengar pandapat lembaga tersebut berkaitan dengan substansi RKHUP terutama terkait delik tindak pidana korupsi (tipikor). Hal ini disampaikan Juru Bicara KPK Febri Diansyah.

 

"Hal tersebut tentu perlu kita sambut baik agar resiko pengesahan RUU KUHP dapat didengar langsung. Karena itu, KPK mempersiapkan penjelasan yang lebih solid. Kami pandang ini (RKUHP) selain dapat menimbulkan ketidakpastian hukum juga sangat beresiko bagi kerja KPK ke depan," kata Febri dalam keterangannya kepada wartawan, Rabu (20/6/2018).

 

Menurut Febri, penerapan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tipikor (UU KPK) sudah sangat jelas. Meski ada sejumlah pihak yang mencari celah dan mengujinya melalui pengadilan atau Mahkamah Konstitusi (MK)

 

Kalaupun, memang ada perubahan seharusnya untuk memperkuat kinerja KPK dan aparat penegak hukum lain dalam pemberantasan korupsi. Namun, RKUHP yang ada saat ini dipandang sudah terbaca sejak awal melemahkan KPK dan pemberantasan korupsi di Indonesia.  

 

"Kami berharap, jika ada sebuah obsesi rekodifikasi, janganlah sampai pemberantasan korupsi jadi korban. Belajar di banyak negara, kodifikasi bukanlah harga mati, ia tetap tergantung pada kebijakan sebuah negara dalam penyusunan aturan hukumnya," dalih Febri. Baca Juga: Duplikasi Pengaturan Delik Tipikor dalam RKUHP Potensi Transaksional

 

KPK, lanjut Febri, membaca pendapat dan sikap sejumlah ahli hukum dari berbagai perguruan tinggi. Dan hasilnya tak bisa dipungkiri terbaca jelas bahwa jaminan pemerintah tidak ada pelemahan terhadap pemberantasan korupsi tidak cukup meyakinkan banyak pihak, termasuk KPK.

 

"Jadi, semoga setelah Idul Fitri ini, kita bisa lebih tenang dan jernih membaca masalah yang ada. Dan hati kita semua dibuka untuk lebih serius dan sungguh-sungguh memberantas korupsi. Tanpa kepura-puraan, tanpa konflik kepentingan," harapnya.

 

Sebelumnya, usai buka puasa bersama di Kediaman Ketua MPR Zulkifli Hasan, Presiden Joko Widodo menyatakan segera menyiapkan waktu untuk bertemu KPK terkait dengan pembahasan RKUHP. Menurut Presiden Jokowi, pertemuan itu akan dilakukan usai Idul Fitri.

 

"Iya nanti setelah lebaran, saya siapkan waktu khusus dengan KPK yang berkaitan dengan Rancangan KUHP. Meskipun itu juga sudah ada proses pembicaraan di Menkopolhukam, tetapi karena memang dari KPK menyampaikan ingin bertemu ya memang saya akan atur," kata Presiden Jokowi, 8 Juni 2018 lalu.

 

Pendapat akademisi

Salah satu pendapat akademisi yang cukup menaruh perhatian KPK berasal dari Pusat Studi Anti Korupsi dan Kebijakan Pidana (CACCP) serta Pusat Studi Hukum HAM (HRLS) Fakultas Hukum Universitas Airlangga. Mereka memberi catatan atas rekodifikasi RKUHP dan Tindak Pidana Khusus.

 

Berikut pernyataan Pusat Studi Anti Korupsi dan Kebijakan Pidana (CACCP) serta Pusat Studi Hukum HAM (HRLS) Fakultas Hukum Universitas Airlangga yang diwakili Iqbal Felisiano, S.H., LL.M dari (CACCP) dan Dr. Herlambang P. Wiratraman (HRLS).

 

RKUHP telah mengambil alih dan memasukkan sebagian ketentuan tindak pidana luar biasa (extra ordinary crime) dan terorganisir (tindak pidana khusus) seperti tindak pidana korupsi, tindak pidana narkotika, tindak pidana pencucian uang, pelanggaran HAM berat, dan tindak pidana terhadap lingkungan hidup.

Dengan diintegrasikannya delik-delik khusus ke dalam RKUHP tidak secara utuh berpotensi menimbulkan dualisme pengaturan delik tindak pidana khusus, dimana selain diatur di dalam RKUHP, delik korupsi juga diatur dalam UU Pemberantasan Tipikor. Demikian pula terhadap delik narkotika, pelanggaran HAM berat, pencucian uang, dan lingkungan hidup, sehingga berpotensi memperumit penegakan hukum. Bahkan dapat mendegradasi nilai keadilan dan kepastian hukum di masyarakat.

Beberapa potensi problematika yang masih terdapat dalam naskah RKUHP yang timbul akibat dimasukkannya sebagian tindak pidana khusus menurut Koalisi RKUHP antara lain:

1. Tidak adanya pembatasan penjatuhan pidana secara kumulatif dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU No. 31/1999 jo. UU No. 20/2001), UU Pengadilan HAM (UU No. 26/2000), UU Narkotika (UU No. 35/2009), dan UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU No. 32/2009).

2. Tidak diaturnya secara spesifik penegakan hukum terhadap extra ordinary crime seperti kejahatan-kejahatan dalam pelanggaran HAM berat dalam UU Pengadilan HAM.

3. RKUHP mengatur rumusan tindak pidana lingkungan hidup yang memiliki unsur ‘melawan hukum’ dan tidak memiliki ancaman pidana minimum khusus.

4. Tidak diaturnya sistem rehabilitasi terhadap penyalahgunaan narkotika sebagaimana telah diatur dalam UU Narkotika.

5. RKUHP mengatur hal-hal yang bertentangan dengan ketentuan UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yaitu antara lain:

a. Tidak adanya pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti;

b. Percobaan, pembantuan, dan permufakatan jahat tindak pidana korupsi yang ancaman pidananya dikurangi 1/3 dari maksimum pidana;

c. Ancaman pidana denda menurun drastis;

d. Penyempitan definisi korporasi dalam RKUHP; dan

e. Kurang jelasnya konsep ‘Ketentuan Peralihan’.

Dalam konteks pemberantasan korupsi, pemberantasan narkotika, penegakan terhadap kejahatan-kejahatan dalam pelanggaran HAM berat, dan penegakan tindak pidana lingkungan hidup, rekodifikasi yang memasukkan tindak pidana khusus dipandang sebagai kemunduran. Sebab, ini justru menghilangkan kekhususan dalam proses penegakan hukumnya. Bahkan cenderung tidak secara tegas memberi kewenangan terhadap lembaga-lembaga khusus, yang dikhawatirkan berpotensi mengkerdilkan peran dan kedudukan lembaga-lembaga khusus seperti KPK, BNN, dan KOMNAS HAM, yang memiliki kinerja yang cukup baik daripada lembaga penegak hukum konvensional dikarenakan kurangnya harmonisasi dalam pasal-pasal yang terdapat dalam RKUHP.

Belum lagi, sejumlah ketentuan dalam RKUHP yang mengembalikan posisi ancaman terhadap kebebasan ekspresi, kebebasan pers dan pengaturan yang tidak tepat dalam soal jaminan kebebasan beragama dan HAM, akan melahirkan ketentuan kontraproduktif dalam sistem hukum pidana.

Pembangunan hukum sepatutnya mempertimbangkan dan memperhatikan kebutuhan penegakan hukum yang efektif dan efisien tanpa mengensampingkan dinamika perkembangan hukum.

Tags:

Berita Terkait