Menanti Pembahasan RUU Masyarakat Hukum Adat di Parlemen
Berita

Menanti Pembahasan RUU Masyarakat Hukum Adat di Parlemen

AMAN bakal siap bekerja sama membantu kementerian terkait untuk memberi masukan terhadap pembahasan RUU Masyarakat Hukum Adat ini. Ada enam isu krusial yang mesti mendapatkan perhatian.

Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit

 

Sekretaris Jenderal (Sekjen) Aliansi Masyarakat Adat (AMAN) Rukka Simbolingi menyambut baik respon DPR dan pemerintah  untuk segera membahas RUU Masyarakat Hukum Adat ini. Respon ini ditandai permintaan DPR kepada pemerintah agar segera menyodorkan DIM. Menurutnya, gerak cepat DPR dan pemerintah menunjukan komitmen Presiden Joko Widodo-Jusuf Kalla yang tertuang dalam Nawacita.

 

Pihak AMAN bakal siap bekerja sama dan membantu kementerian terkait dalam rangka memastikan dan mewujudkan keberadaan UU Masyarakat Hukum Adat. Termasuk mengawal dan memberi masukan demi penyelarasan RUU Masyarakat Hukum Adat sesuai dengan situasi dan aspirasi masyarakat adat di lapangan.

 

Dosen Hukum Lingkungan Hidup Fakultas Hukum Universitas Sahid Jakarta, Wahyu Nugroho berpandangan Pansus atau Panja yang diberikan tugas membahas mesti melihat UU sektor lainnya. Sebab, RUU Masyarakat Hukum Adat ini mesti disinkronisasi dengan UU lain agar tidak berbenturan dan tumpang tindih pengaturannya.

 

Misalnya, UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria,  UU No. 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara (Minerba), RUU Pertanahan, UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. “RUU tentang Pertanahan yang sedang masuk dalam pembahasan di Komisi II nantinya menjadi aturan pelaksana dari UU No. 5 Tahun 1960,” kata dia.

 

Pasal krusial

Dari draf RUU Masyarakat Hukum Adat yang ada saat ini terdapat 57 pasal. Menurut Firman Subagyo, terdapat pasal yang mesti dibahas secara mendalam karena berpotensi menjadi kontroversial. Sebab, pasal-pasal yang dirumuskan oleh DPR belum tentu sesuai dengan keinginan pemerintah.

 

Yang pasti, setelah DPR mengantongi DIM dari pemerintah, nantinya bakal diketahui keberatan-keberatan pasal mana saja versi pemerintah. Meski begitu, sebelum dilakukan pembahasan, DPR bakal terlebih dahulu mengundang sejumlah pemangku kepentingan, ahli yang menguasai persoalan masyarakat hukum adat.

 

Berbeda dengan Firman, Rukka lebih detil mengupas isu dalam RUU Masyarakat Hukum Adat. Pertama, perubahan judul ‘RUU Masyarakat Adat” menjadi “RUU Masyarakat Hukum Adat”. Kedua, hilangnya Komisi Masyarakat Adat sebagai kelembagaan yang berfungsi menjadi lembaga khusus dalam penyelesaian konflik Masyarakat Adat non-judisial. Termasuk berfungsi membantu pemerintah dalam melakukan identifikasi, verifikasi keberadaan Masyarakat Adat.

 

Ketiga, hilangnya isu gender dalam pengaturan RUU Masyarakat Hukum Adat. Keempat, hilangnya hak atas Free Prior Inform Consent (FPIC), restitusi dan rehabilitasi. Kelima, penetapan masyarakat adat oleh Menteri Dalam Negeri. “Keenam, Evaluasi Masyarakat Adat yang memungkinkan hapusnya keberadaan Masyarakat Adat beserta hak-haknya,” tambahnya.

Tags:

Berita Terkait