Menanti Keseriusan KPK Terapkan Hukuman Mati bagi 2 Mantan Menteri
Utama

Menanti Keseriusan KPK Terapkan Hukuman Mati bagi 2 Mantan Menteri

KPK justru kerap menuntut rendah para pelaku korupsi.

Aji Prasetyo
Bacaan 5 Menit
Gedung KPK. Foto: RES
Gedung KPK. Foto: RES

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membuka peluang untuk menerapkan tuntutan maksimal berupa pidana mati terhadap mantan Menteri Sosial Juliari Peter Batubara dan mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo. Apalagi secara normatif dalam UU Pemberantasan Tipikor, diatur secara jelas bahwa hukuman mati dapat diterapkan.

Pelaksana tugas Juru Bicara KPK Ali Fikri mengatakan pihaknya memahami harapan masyarakat terkait penyelesaian perkara dugaan korupsi Bansos yang dilakukan Juliari Batubara dan Edhy dalam perkara benih lobster, termasuk mengenai hukuman bagi para pelakunya. Namun ada sejumlah hal yang harus diperhatikan apabila menggunakan aturan tersebut.

“Akan tetapi bukan hanya soal karena terbuktinya unsur ketentuan keadaan tertentu saja untuk menuntut hukuman mati namun tentu seluruh unsur pasal 2 ayat (1) UU Pemberantasan Tipikor juga harus terpenuhi,” kata Ali melalui keterangan tertulisnya.

Ali menjelaskan untuk penanganan perkara oleh KPK dalam perkara dugaan suap benih lobster di KKP dan Bansos di Kemensos, saat ini pasal yang diterapkan terkait dengan dugaan suap yang ancaman hukuman maksimalnya sebagaimana ketentuan UU Pemberantasan Tipikor adalah pidana penjara seumur hidup. Dan bahwa seluruh perkara hasil tangkap tangan yang dilakukan KPK diawali dg penerapan pasal-pasal terkait dugaan suap.

“Pengembangan sangat dimungkinkan seperti penerapan Pasal 2 atau 3 UU Tipikor bahkan penerapan ketentuan UU lain seperti TPPU. Kami tegaskan, tentu sejauh ditemukan bukti2 permulaan yang cukup untuk penerapan seluruh unsur pasal-pasal dimaksud,” terangnya.

Sebelum Ali, Ketua KPK Firli Bahuri pernah mengeluarkan pernyataan akan menindak tegas pelaku korupsi anggaran penanganan bencana Covid-19 dengan tuntutan hukuman mati. “Keselamatan masyarakat merupakan hukum tertinggi, maka yang korupsi dalam suasana bencana, tidak ada pilihan lain dalam menegakkan hukum yaitu tuntutannya pidana mati,” katanya dalam rapat kerja dengan Komisi Hukum DPR RI, Rabu, 29 April 2020.

Firli mengatakan ada empat celah korupsi yang perlu diwaspadai dalam penanganan Covid-19. Celah itu saat pengadaan barang dan jasa, sumbangan dari pihak ketiga, realokasi anggaran, dan saat pendistribusian bantuan sosial. Di antara celah itu, kata dia, program jaring sosial dan pengadaan barang/jasa paling berisiko penyimpangan. “Karena itu kami membentuk satgas Covid-19,” kata Firli.

Ia mencontohkan, bisa saja ternyata sumbangannya fiktif. Celah lainnya adalah dengan mengurangi kualitas atau kuantitas bantuan. Pengadaan barang/jasa dan bantuan sosial menjadi paling rawan terjadi penyimpangan karena juga dipengaruhi oleh momen Pilkada serentak 2020. (Baca: Mengapa Mensos Diduga Korupsi Dana Bansos Tak Diancam Hukuman Mati?)

Didukung pemerintah?

Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Sharif Hiariej mengatakan mantan Menteri KKP Edhy Prabowo dan mantan Menteri Sosial Juliari Batubara layak dituntut dengan ancaman pidana mati. "Bagi saya mereka layak dituntut dengan ketentuan Pasal 2 ayat 2 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang mana pemberatannya sampai pidana mati," kata Omar dalam seminar nasional berjudul Telaah Kritis Terhadap Arah Pembentukan dan Penegakan Hukum di Masa Pandemi, Selasa, 16 Februari 2021.

Dalam UU Tipikor, Pasal 2 ayat 2 berbunyi: Dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan. Omar mengungkapkan setidaknya ada dua alasan pemberat bagi kedua mantan menteri di Presiden Joko Widodo (Jokowi) tersebut. Pertama, mereka melakukan kejahatan dalam keadaan darurat, yaitu pandemi Covid-19. Kedua, mereka melakukan kejahatan dalam jabatan.

“Dua hal memberatkan ini sudah lebih dari cukup diancam dengan Pasal 2 ayat 2 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,” ujarnya.

Juliari Batubara menjadi tersangka dalam perkara korupsi bantuan sosial Covid-19. KPK menduga Juliari memotong Rp 10 ribu dari tiap paket pengadaan Bansos Covid-19 seharga Rp300 ribu. Total duit yang diduga telah diterima sebanyak Rp17 miliar. Sementara Edhy Prabowo menjadi tersangka kasus suap izin ekspor benih lobster Kementerian Kelautan dan Perikanan. KPK menduga Edhy menerima uang senilai Rp3,4 miliar dan AS$100 ribu.

Adapun ancaman hukuman mati tercantum dalam Pasal 2 Ayat (2) UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Pasal 2 Ayat (1) UU 31/1999 menyatakan, "Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)".

Sementara itu, Pasal 2 Ayat (2) menyebutkan, "Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan". Sedangkan penjelasan Pasal 2 Ayat (2) berbunyi, "Yang dimaksud dengan 'keadaan tertentu' dalam ketentuan ini adalah keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana korupsi".

Kontradiktif

Pernyataan KPK yang membuka peluang untuk menuntut Juliari dan Edhy dengan pidana mati seharusnya bukan hanya narasi yang membuat publik menaruh harapan. Meskipun pernyataan tersebut keluar setelah adanya perkataan dari Wamenkumham bahwa seharusnya kedua mantan pejabat tersebut dituntut dengan hukuman mati. Perlu diingat, KPK saat ini merupakan rumpun eksekutif dan pegawainya adalah ASN.

Jika memang itu merupakan angin segar ataupun restu dari pemerintah, maka KPK harus bisa membuktikan kalau keduanya memang pantas dituntut hukuman mati. Namun, jika dilihat dari trend yang ada saat ini, KPK justru lebih sering menuntut rendah para koruptor yang berakibat rendah pula hukuman bagi pelaku korupsi.

“Sederhananya, jika perkara ini memiliki kerugian negara yang besar maka menjadi pertanyaan bagi publik ketika tuntutan terhadap terdakwa justru rendah,” kata peneliti ICW Kurnia Ramadhana beberapa waktu lalu.

ICW membagi penilaian atas tuntutan Jaksa, baik asal Kejaksaan ataupun KPK ke dalam tiga bagian, yakni ringan (0-4 tahun), sedang (>4–10 tahun), dan berat (>10 tahun). Sepanjang tahun 2019 setidaknya 1.125 terdakwa disidangkan di berbagai tingat pengadilan, yang terbagi atas: 137 terdakwa dituntut oleh KPK dan 911 terdakwa dituntut oleh Kejaksaan.

Rata-rata tuntutan yang mana penuntutnya berasal dari KPK adalah 5 tahun 2 bulan penjara, sedangkan dari Kejaksaan adalah 3 tahun 4 bulan penjara. Sepanjang tahun 2019 KPK menuntut ringan 51 terdakwa, menuntut sedang 72 terdakwa, dan hanya menuntut berat 6 terdakwa. Kejaksaan sendiri, 604 terdakwa dituntut ringan, 276 dituntut sedang, dan 13 dituntut berat.

Tuntutan dan berujung hukuman tertinggi yang dilakukan KPK hanya kepada Akil Mochtar, mantan Ketua MK beberapa tahun silam. Langkah KPK justru “kalah” dengan Kejaksaan yang menuntut 6 orang pelaku korupsi Asuransi Jiwasraya dengan hukuman seumur hidup dan dikabulkan majelis hakim Pengadilan Tipikor, Jakarta.

Tags:

Berita Terkait