Menanti Kebijakan Tepat Menanggulangi Masalah Asap
Fokus

Menanti Kebijakan Tepat Menanggulangi Masalah Asap

Regulasi yang ada tak efektif meredakan persoalan kebakaran hutan. Upaya pencegahan lebih penting ketimbang pemadaman.

YOZ/KAR/CR19
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS

Indonesia darurat asap. Ya, kalimat ini sepertinya pas menggambarkan keadaan Negara yang hingga kini belum bisa meredakan persoalan kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di sekitar wilayah Sumatera dan Kalimantan. Mungkin masyarakat di sana sudah terbiasa, bahkan bosan dengan kasus yang satu ini. Bukan hanya merugikan kesehatan, asap yang dihasilkan dari kebakaran hutan sangat mengganggu aktivitas warga. Ironisnya, kebakaran hutan tak hanya disebabkan faktor alam, tapi dilakukan secara sengaja untuk suatu kepentingan. 

Secara normatif, peraturan perundang-undangan untuk menjerat pelaku pembakaran hutan sudah cukup lengkap, di antaranya ada UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang telah diubah dengan UU Nomor 19 Tahun 2004, dan UU Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.

Sayangnya, pranata hukum yang ada belum cukup efektif mengatasi persoalan kebakaran hutan. Oknum individu dan korporasi terus melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar hutan. Proses hukum terhadap pelaku kebakaran hutan pun belum mampu memberikan efek jera.

Belakangan, sejumlah pihak yang merasa dirugikan atas dampak kebakaran hutan mulai bereaksi. Sejumlah advokat di Pekanbaru, misalnya.Mereka berencana melayangkan gugatan kelompok(class action). LSM Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) juga siap menempuh langkah hukum yang sama.

WALHI mencatat, jejak titik api (hot spot) terparah terjadi di Riau. Berikutnya di Jambi, Sumatera Selatan (Sumsel), Kalimantan Barat (Kalbar), dan Kalimantan Tengah (Kalteng). Di lima provinsi itu, lokasi hot spot berada di dalam lahan konsesi milik sejumlah korporasi di bidang industri ekstraktif, antara lain logging, kelapa sawit, Hutan Tanaman Industri (HTI), dan tambang.

Direktur WALHI Kalbar, Anton P Widjaja, mengatakan akibat kebakaran tersebut Indeks Standar Pencemaran Udara (ISPU) dalam kurun waktu tiga minggu terakhir masuk kategori berbahaya, yakni pada level 600-800 PPM3. Atas dasar itu, WALHI Kalbar berencana melakukan gugatan warga negara (citizen lawsuit). “Lewat gugatan ini, diharapkan negara bisa bertanggung jawab atas kejadian kabut asap,” katanya.

Sejumlah advokat yang tergabung dalam DPC PERADI Pekanbaru juga tengah menampung gugatan class action dari masyarakat. Hingga akhir September, tercatat sudah tujuh orang yang sudah memberikan data lengkap atas kerugian yang dideritanya kepada pihak DPC PERADI Pekanbaru.

Anggota DPC PERADI Pekanbaru, Torri Alexander Wahyudi, mengatakan DPC PERADI Pekanbaru tidak mau terburu-buru mendaftarkan gugatan class action itu ke pengadilan. Alasannya, karena ingin menyusun gugatan secara cermat dan tepat sasaran. Selain itu, pihaknya juga masih melakukan analisa sekaligus mengidentifikasi kerugian yang diderita masyarakat. Alasan lainnya, karena DPC PERADI Pekanbaru masih menunggu proses penanganan perkara yang dilakukan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

“Kami menunggu hasil peradilan pidana tersebut sehingga bisa dijadikan sebagai subjek tergugat,” katanya.

Tuntutan Negara Tetangga

Bencana asap yang diakibatkan kebakaran hutan turut mengundang perhatian negara tetangga, seperti Singapura, Malaysia, dan Thailand. Mereka merasa dirugikan dengan adanya kabut asap hasil kebakaran hutan di Indonesia. Bukan hanya soal kesehatan, mereka juga merasa dirugikan dari segi ekonomi. Banyak sekolah yang diliburkan, bahkan sejumlah penerbangan di dalam negeri sampai di-pending akibat bencana ini.

Pakar hukum lingkungan internasional, Laode Muhammad Syarif, mengingatkan bahwa Indonesia bisa digugat oleh negara lain ke forum internasional akibat bencana asap. Jika pemerintah Indonesia tidak berbuat banyak dan terkesan membiarkan bencana asap terus berulang, potensi gugatan itu semakin besar.

Seingat Syarif, tiga presiden Indonesia yang berbeda pernah meminta maaf kepada negara tetangga akibat ‘kiriman’ asap. Pernyataan maaf itu ada admission of guilty, pengakuan bersalah pemerintah yang bisa dijadikan amunisi oleh negara lain bahwa Indonesia memang bersalah. Dengan menggunakan amunisi itu, Indonesia bisa langsung kalah. Dalam dunia internasional, ada preseden kasus ini, seperti Trail Smelter Arbitration Case antara Amerika Serikat dan Kanada.

Namun, Pakar hukum internasional, Hikmahanto Juwana menilai, potensi gugatan dari negara tetangga tersebut akibat bencana asap bisa ‘diredam’ lantaran Indonesia telah meratifikasi Persetujuan ASEAN tentang Pencemaran Asap Lintas Batas (ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution).

Ratifikasi tersebut dilakukan pada September 2014 lalu. Kemudian, ratifikasi ini menjadi UU No. 26 Tahun 2014. Persetujuan ini mengharuskan Indonesia melakukan serangkaian aktivitas untuk mencegah dan menanggulangi pembakaran. Indonesia juga harus memperkuat basis regulasi, termasuk penegakan hukumnya.

“Dengan demikian, maka negara ASEAN yang terkena asap dari Indonesia tidak bisa menuntut,” kata Hikmahanto.

.Di sisi lain, lanjut Hikmahanto, Indonesia juga tak boleh menolak bantuan yang diberikan oleh negara tetangga dalam menangani masalah asap. Menurutnya, Indonesia harus membuka diri, karena masalah asap tersebut menjadi persoalan lintas batas negara yang wajib diperhatikan secara bersama-sama.

Hikmahanto tak menampik bencana asap ini bukanlah pertama kali terjadi. Beberapa tahun sebelumnya, muncul wacana negara tetangga akan menggugat Indonesia karena asap. Hal itu dikarenakan Indonesia belum meratifikasi perjanjian penanggulangan asap tersebut.

“Pada kasus-kasus sebelumnya, ketika kita belum meratifikasi perjanjian penanggulangan asap ini sering muncul wacana negara tetangga untuk menggugat. Bisa saja mereka menempuh jalur arbitrase internasional. Tapi, hal-hal semacam itu bisa memicu ketegangan jika tidak ada penanganan dari pemerintah Indonesia,” tutur Hikmahanto.

Perusahaan Asing

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat, 99 persen motif dan modus kebakaran hutan yang marak terjadi semata-mata untuk mengakali biaya pembebasan lahan yang sangat tinggi. Motif lainnya adalah untuk membuka lahan perkebunan sawit. Artinya, selain melibatkan perorangan, kasus kebakaran hutan juga diduga melibatkan korporasi.

Mabes Polri mengakui akan hal itu. Kabareskrim Polri Komjen Anang Iskandar mengatakan, setidaknya tujuh korporasi diduga kuat terlibat dalam sejumlah kasus kebakaran hutan dan lahan di Pulau Sumatera dan Kalimantan. Ketujuh korporasi itu berinisial PT ASP (perusahaan modal asing Tiongkok) di Kalteng, PT KAL (PMA Australia) di Kalbar, PT IA (PMA Malaysia) di Sumsel, PT PAH (PMA Malaysia) di Jambi, PT AP (PMA Malaysia) di Jambi, PT H (PMA Singapura) di Sumsel dan PT MBI (PMA Malaysia) di Sumsel.

"Kasusnya ditangani Polda-polda setempat," ujar Anang.

Sementara kepolisian menetapkan Komisaris PT PAH,yakni KBH dan Komisaris PT AP yang berinisial KKH sebagai tersangka. Keduanya merupakan warga negara Malaysia.Menurut Anang, mereka dikenakan Pasal 116 UU Lingkungan Hidup.

Terakhir, Direktorat Kriminal Khusus Kepolisian Daerah Riau juga telah menetapkan PT Palm Lestari Makmur (PLM) asal Singapura sebagai tersangka dugaan kebakaran lahan dan hutan di area konsesinya di Kabupaten Indragiri Hulu.

Hingga 19 Oktober 2015, rekapitulasi penanganan kasus kebakaran hutan dan lahan di beberapa wilayah di Pulau Sumatera dan Kalimantan, tercatat jumlah kasus yang ditangani kepolisian mencapai 256 kasus dengan rincian Bareskrim Polri menangani empat kasus, Polda Sumsel 35 kasus, Polda Riau 71 kasus, Polda Jambi 21 kasus, Polda Kalteng 63 kasus, Polda Kalbar 29 kasus, Polda Kalsel 13 kasus dan Polda Kaltim 12 kasus.

Sementara dari pengusutan kasus-kasus tersebut, telah ditetapkan 243 orang sebagai tersangka kasus kebakaran hutanyang terdiri atas 226 tersangka kasus perorangan dan 17 tersangka kasus korporasi.Dari jumlah tersebut, jumlah tersangka yang ditahan yakni 83 orang kasus perorangan dan lima orang kasus korporasi.

Meski terkesan lamban dalam menangani kasus kebakaran hutan, pemarintah memang tak bisa langsung disalahkan. Akan tetapi, perlu langkah strategis khusus dari pemerintah dengan melakukan evaluasi terhadap bencana kebakaran hutan yang acapkali terjadi tiap tahun. Tak hanya itu, kinerja pemerintah di bidang kehutanan dan lingkungan hidup mesti menjadi catatan. Dalam hal ini, DPR sendiri telah membentuk Panja Asap.

“Pasalnya acapkali terjadi kebakaran hutan, upaya yang dilakukan hanyalah pemadaman api. Padahal upaya pencegahan terhadap terjadinya kebakaran hutan jauh lebih penting ketimbang pemadaman api,” kata anggota Komisi IV DPR, Friman Subagyo. 

Politisi Partai Golkar itu berpandangan, dalam rangka penguatan aturan sejumlah UU yang perlu direvisi antara lain UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Selain itu UU No.32 Tahun 2007 tentang Lingkungan Hidup dan UU No.18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pengrusakan Hutan (P3H).

Tags:

Berita Terkait