Menanti Arah Putusan MK Pengujian UU Cipta Kerja
Terbaru

Menanti Arah Putusan MK Pengujian UU Cipta Kerja

Dalam proses persidangan yang berlangsung di MK koalisi menilai pemerintah dan DPR tidak bisa membuktikan hal ihwal kegentingan memaksa untuk menerbitkan Perppu Cipta kerja.

Ady Thea DA
Bacaan 4 Menit
Gedung Mahkamah Konstitusi Foto: RES
Gedung Mahkamah Konstitusi Foto: RES

Setelah UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dinyatakan inkonstitusional bersyarat melalui putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 91/PUU-XVIII/2020, pemerintah dan DPR tak putus asa. Upaya mempertahankan UU Cipta Kerja, pemerintah dan DPR mengambil jalan pintas dengan membentuk Perppu No.2 Tahun 2022 tentang Cipta. Kemudian ditetapkan menjadi UU No.6 Tahun 2023 tentang Penetapan Perppu No.2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi UU.

Kini, UU 6/2023 pun kembali diuji masyarakat ke MK. Ada sejumlah pemohon uji formil dan materil yang diajukan sejumlah pihak. Salah satunya perkara No.46/PUU-XXI/2023 tentang pengujian formil UU 6/2023 yang dimohonkan berbagai organisasi masyarakat sipil seperti Serikat Petani Indonesia (SPI), Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Konfederasi Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI), Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS) dan lainnya yang tergabung dalam Komite Pembela Hak Konstitusional (Kepal). Tercatat Kepal telah menyampaikan kesimpulan kepada majelis konstitusi pada Rabu (23/08/2023) kemarin.

Penasehat Senior Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS) Gunawan mengatakan proses yang dilakukan koalisi sejak awal pengujian UU Cipta Kerja sampai saat ini menunjukkan rakyat melawan kesewenang-wenangan dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan.

“Serta membela hak konstitusional warga negara dan mempertahankan Indonesia sebagai negara hukum,” katanya dikonfirmasi, Kamis (24/8/2023).

Baca juga:

Gunawan mencatat sampai saat ini setidaknya ada 5 permohonan pengujian UU Cipta Kerja yang masih berproses di MK. Kepal mencatat keempat permohonan lainnya yakni perkara No.40/PUU-XXI/2023 (pengujiian formil dan materil), No.41/PUU-XXI/2023 (pengujian formil), No.46/PUU-XXI/2023 (pengujian formil), dan No.50/PUU-XXI/2023 (pengujian formil). Semua perkara itu telah masuk tahap penyampaian kesimpulan dan menunggu pembacaan putusan.

Koordinator tim advokasi gugat omnibus law, Janses E Sihaloho mengatakan dari proses persidangan yang berlangsung koalisi tak ragu bahwa pemerintah dan DPR telah melanggar putusan MK dalam perkara pengujian UU 6/2023 dan tidak bisa membuktikan hal ihwal kegentingan memaksa. Baginya MK mestinya tak ragu menerbitkan putusan UU 6/2023 menjadi UU yang inkonstitusional secara permanen.

Peneliti Senior Institute for Ecosoc Rights, Sri Palupi menambahkan, tak ada kebutuhan UU baru bagi pemerintah. Sebab UU Cipta Kerja tetap dijalankan setelah MK memutus pengujian uji formil UU 11/2020. Pelaksanaan UU Cipta Kerja berdampak terhadap tata kelola hutan yang makin buruk.

“Melemahnya partisipasi masyarakat dalam pengelolaan dan pemanfaatan hutan serta meningkatkan intensitas bencana dan perusakan lingkungan,” ujarnya.

Sekretaris Jenderal (Sekjen) Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika, menyebut UU 6/2023 meninggalkan warisan buruk. Walhasil memperparah ketimpangan agraria, konflik agraria, dan bertentangan dengan reforma agraria sejati. Misalnya UU 6/2023 memandatkan pembentukan Bank Tanah, yang praktiknya merampas tanah masyarakat dan tanah yang direncanakan untuk diredistribusi kepada petani.

“Operasi Bank Tanah di IKN dapat memberikan hak atas tanah nyaris 2 abad (180 tahun), hal itu lebih buruk dari kebijakan kolonial Belanda,” tegasnya.

Tujuh hal

Dampak terbitnya UU 11/2020 hingga UU 6/2023 dirasakan juga kalangan pekerja/buruh. Ketua Konfederasi Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) Sunarno, menilai pemerintah tetap menjalankan UU 11/2020 kendati MK telah menerbitkan putusan 91/PUU-XVIII/2020. Hal itu memberi dampak buruk bagi pekerja/buruh misalnya terkait status hubungan kerja dan pengupahan yang merugikan buruh.

“UU Cipta Kerja memperburuk situasi perburuhan di Indonesia,” imbuhnya.

Direktur Indonesia Global for Justice (IGJ) Rachmat Maulana, berpendapat sejak awal masyarakat sipil menyadari terbitnya UU Cipta Kerja sangat dipaksakan. Menurutnya beleid itu merupakan respon pemerintah terhadap organisasi perdagangan bebas dunia (WTO) yang meminta Indonesia mengubah sejumlah UU terkait pangan, pertanian, dan peternakan. “Bukan karena krisis ekonomi global,” paparnya.

Kesimpulan yang disampaikan koalisi kepada MK dalam persidangan meliputi 7 hal. Pertama, pemerintah dan DPR melanggar UUD 1945, putusan MK No.138/PUU-VII/2009 dan 91/PUU-XVIII/2020. Kedua, dengan menetapkan Perppu 2/2022 tanpa memenuhi prinsip, syarat/ketentuan dan tahapan pembentukan Perpu, Pemerintah telah melakukan praktik authoritarian legalism.

Ketiga, penetapan Perppu 2/2022 menjadi UU melalui U 6/2023 DPR secara tidak objektif, tidak kritis dan analitik dalam melakukan fungsi pengawasan, sehingga terjadi autocratic legalism. Keempat, keterangan ahli yang dihadirkan oleh Pemerintah, memiliki pemikiran hukum tidak konsisten dan tidak bersifat faktual, sehingga keterangan ahli tidak dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan yang dapat menguatkan keterangan Pemerintah dan DPR RI.

Kelima, saksi yang dihadirkan oleh Pemerintah, tidak relevan dengan permohonan para pemohon yang menguji UU 6/2023 secara formil bukan materiil. Sehingga keterangan tidak dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan menguatkan keterangan pemerintah dan DPR RI. Keenam, ahli yang dihadirkan oleh pemohon, telah memberi keterangan sejelas-jelasnya mengenai pelanggaran formil UU 6/2023.

Ketujuh, tindakan pemerintah dan DPR yang menetapkan Perppu 2/2022 sebagai UU telah menimbulkan kekacauan sistem hukum Indonesia, memberikan contoh abuse of power dan pelanggaran hak konstitusional dan mengancam kedaulatan rakyat dan negara Republik Indonesia.

Agar diputus sebelum 2024

Sebelumnya, salah satu pemohon pengujian formil UU 6/2023 dengan nomor perkara 50/PUU-XXI/2023, Said Iqbal, menekankan MK untuk segera memutus perkara setidaknya paling lambat sebelum pemilu 2024 digelar. Hal itu penting untuk dilakukan mengingat eskalasi demonstrasi buruh terus bergulir.

“Kami meminta hakim MK untuk cepat memutuskan dan menyatakan UU 6/2023 inkonstitusional tanpa ada frasa ‘bersyarat’ sehingga beleid itu batal demi hukum,” usulnya.

Menurut Iqbal landasan MK untuk menyatakan UU 6/2023 inkonstitusional sangat kuat. Pasalnya beleid itu diterbitkan tanpa melalui perencanaan sebagaimana diatur dalam UU No.13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua Atas UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Beleid itu memandatkan pembentukan peraturan perundang-undangan termasuk yang menggunakan metode omnibus law harus melalui proses perencanaan. Alih-alih melaksanakan ketentuan itu, pemerintah malah menggunakan Perppu. Padahal proses pembentukannya harus melalui perencanaan yang meliputi naskah akademik, draf, mendengarkan masukan publik, sosialisasi dan lainnya.

Bahkan dalam persidangan di MK Iqbal mengatakan telah terungkap jelas proses penerbitan UU 6/2023 itu tidak melibatkan kalangan buruh. Bahkan masukan yang disampaikan kelompok pengusaha seperti Kadin juga diabaikan pemerintah. DPR terkesan hanya mengikuti keinginan pemerintah untuk menerbitkan UU 6/2023.

“Ini UU akal-akalan karena dibahas dan diterbitkan sangat cepat. Kami minta sebelum pemilu 2024 MK menyatakan UU Cipta Kerja Inkonstitusional,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait