Menang Arbitrase, tapi Tak Ada Aset yang Bisa Dieksekusi? Ini Solusinya!
Berita

Menang Arbitrase, tapi Tak Ada Aset yang Bisa Dieksekusi? Ini Solusinya!

Di Indonesia perkara mengamankan aset merupakan pekerjaan yang sangat sulit.

Hamalatul Qur'ani
Bacaan 2 Menit
Acara SIAC Conference 2019 bertajuk Damages in International Arbitration: Contemporary Principles and Practices, Jumat (5/7). Foto: HMQ
Acara SIAC Conference 2019 bertajuk Damages in International Arbitration: Contemporary Principles and Practices, Jumat (5/7). Foto: HMQ

Tak hanya persoalan eksekusi arbitrase yang rumit, persoalan mengamankan aset yang menjadi objek sengketapun kerap menyimpan persoalan tersendiri. Bayangkan, bila anda telah selesai menempuh proses panjang arbitrase, namun ketika menang tak ada objek yang bisa dieksekusi? Entah karena objek itu sudah dipindahtangankan, dimusnahkan, rusak atau telah dialihkan dalam bentuk lain. Jelas proses panjang berbiaya mahal yang anda lalui hanya akan sia-sia lantaran tak memperoleh apa yang anda harapkan dari upaya arbitrase itu.

 

Menangkap celah pelanggaran itu, Singapore International Arbitration Centre (SIAC) diklaim merupakan instansi pertama di Asia yang menerapkan sistem emergency interim relief untuk mencegah hilang atau rusaknya objek eksekusi pasca keluarnya tribunal award. Sistem itu diatur dalam rule 30 SIAC rules 6th ed. Di situ, dijelaskan bahwa tribunal berdasarkan permintaan dari para pihak bisa mengajukan permohonan untuk dikeluarkannya sebuah preliminary order atau putusan sementara untuk mengamankan aset yang menjadi objek sengketa.

 

Associate Councel SIAC, Kendista Wantah, menjelaskan bahwa emergency interim relief (EIR) ini merupakan suatu bentuk permohonan darurat, kalau dianalogikan di Pengadilan layaknya permohonan provisional. Misalnya, permohonan sita jaminan yang ditujukan untuk mengamankan objek sengketa agar suatu gugatan tidak illusoir. Permohonan provisional itu serupa dengan EIR yang juga ada untuk mempertahankan status quo agar responden tak menghilangkan aset-asetnya.

 

“Jangan sampai perkaranya sudah dimulai jauh-jauh, ujung-ujungnya malah hilang, hartanya sudah kosong, tidak ada aset yang bisa dieksekusi. Jadi walaupun menang tidak ada yang bisa didapatkan dari hasil kemenangan itu,” jelasnya dalam acara SIAC Conference 2019 bertajuk Damages in International Arbitration: Contemporary Principles and Practices, Jumat (5/7).

 

Dengan adanya EIR, katanya, ketika tribunal award sudah dijatuhkan, maka betul-betul ada ‘objek aset’ yang bisa dieksekusi karena sejak awal sudah diamankan melalui EIR. EIR ini dikeluarkan oleh emergency arbitrator (arbiter darurat). Untuk arbiter darurat sendiri, orang-orangnya bisa ditentukan berbeda dari arbiter tribunal, namun juga tak ada larangan untuk memilih arbiter yang sama dengan arbiter tribunal. Pilihan itu kembali kepada masing-masing pihak.

 

Perlu dicatat, interim order/award yang dijatuhkan arbiter darurat memang tidak tergolong sebagai keputusan arbitrase yang final. Sementara, untuk konteks Indonesia memang hanya keputusan final yang bisa dieksekusi.

 

Lantas bagaimana daya laku EIR ini atas aset yang berlokasi di Indonesia? Kendista menjawab, sekalipun tak bisa di-enforce melalui pengadilan, bukanlah suatu masalah bagi implementasi interim award, mengingat begitu tingginya tingkat kepatuhan atas keputusan arbiter darurat dalam perkara-perkara yang masuk ke SIAC.

 

“Artinya, bila ada pihak yang bandel dan tidak mau comply dengan putusan emergency arbitrator, dia menang di satu pertempuran tapi dia kalah di perang besarnya, yakni di tribunal perkara utamanya,” jelasnya.

 

(Baca juga: Tak Penuhi Syarat dan Prosedur Ini, Putusan Arbitrase Asing Terancam Tak Bisa Dieksekusi)

 

Tribunal di perkara utama, bisa saja menarik kesimpulan yang memberatkan pihak yang tidak mau comply dengan interim award. Arbiter utama jelas mempertanyakan dan menduga ada hal aneh yang mengakibatkan pihak tersebut enggan untuk patuh, padahal interim award hanya memintak agar pihak tersebut tidak mengalihkan asetnya.

 

“Mungkin di awal Ia tak patuh dan masih beripikir bahwa pihaknya menang, tapi diujung perkara malah dijatuhkan putusan yang menghukum dan memberatkannya, misalnya dihukum bayar uang dalam jumlah besar,” katanya.

 

Itulah yang menjadi faktor pendorong bagi para pihak yang berperkara di SIAC untuk mematuhi interim order, mengingat risiko tidak patuhnya lebih besar ketimbang harus mematuhi order. Alhasil, tak bisa ditampik voluntary compliance rate (tingkat kepatuhan sukarela) untuk EIR ini sangatlah tinggi tanpa perlu harus dimintakan perintah eksekusi dari pengadilan Negara asal tempat aset itu berada.

 

Lantas bagaimana jika Indonesia belum mengadopsi konsep EIR dalam dasar hukum arbitrasenya? apakah EIR masih akan tetap berlaku dan mengikat bagi para pihak yang berasal dari Indonesia?

 

Salah seorang arbiter SIAC asal Singapura, Lawrence Teh menegaskan bahwa terkait EIR sekalipun tak diadopsi di negara asal masih tetap mengikat para pihak yang menyepakati penyelesaian sengketa melalui SIAC. Kuncinya, ada pada kesepakatan para pihak untuk memilih SIAC sebagai tempat penyelesaian sengketa dan SIAC rules sebagai pedoman beracaranya.

 

“Ketika para pihak telah menyepakati SIAC rules, maka secara tidak langsung mereka juga menyepakati implementasi EIR. Karena EIR merupakan bagian tak terpisahkan dari SIAC rules,” jelasnya.

 

Sekadar informasi, tak hanya bagi Indonesia, konsep EIR ini ternyata juga merupakan konsep yang masih sangat baru di dunia internasional. Bahkan saat hukumonline menanyakan kepada beberapa peserta pelatihan yang diadakan SIAC Academy di Jakarta pada tanggal 6 hingga 7 Juli lalu, tak sedikit yang mengaku belum pernah mengimplementasikan EIR dalam praktik arbitrase. Kendista bahkan menyebut bahwa SIAC merupakan institusi pertama di Asia yang menerapkan EIR.

 

Senior Associate Assegaf Hamzah & Partner, Simmon Barry Sasmoyo, mengemukakan memang di Indonesia sendiri untuk putusan yang belum final layaknya interim order, tidak ada juru sita yang bisa melaksanakan putusan itu. Putusan arbitrase yang sudah final saja, juga tak mempunyai jurusita langsung sebagai instrumen yang bisa memaksa para pihak untuk melakukan apa yang dikehendaki oleh majelis arbitrase. Artinya untuk eksekusi harus tetap didaftarkan ke Pengadilan Negara asal objek aset berada.

 

Bahkan untuk putusan pengadilan final saja, katanya, untuk melacak asetnya juga sangat susah, kecuali perusahaan target adalah public company. Hal ini penting mengingat dalam memohonkan eksekusi aset oleh pengadilan, pengacara perlu menyediakan informasi sendiri ke pengadilan, sehingga pengadilan bisa bergerak untuk mendekati aset.Kalau memang daftar aset tak ada di public reliable document, tingkat kesulitan untuk eksekusinya jelas akan berbeda.

 

“Di Indonesia perkara mengamankan aset merupakan pekerjaan yang sangat sulit, akan sangat worth it bila emergency arbitration diterapkan di Indonesia,” ujarnya.

 

Tags:

Berita Terkait