Menambal “Lubang” dalam Penyelenggaraan Ibadah Umrah
Berita

Menambal “Lubang” dalam Penyelenggaraan Ibadah Umrah

​​​​​​​Mulai dari menetapkan harga acuan hingga jadwal kepastian pemberangkatan Jemaah.

CR-26
Bacaan 2 Menit
Foto: Ilustrasi (istimewa).
Foto: Ilustrasi (istimewa).

Pemerintah, melalui Kementerian Agama telah menerbitkan Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 8 Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU). Terbitnya peraturan ini otomatis menggantikan aturan sebelumnya, yakni Peraturan Menteri Agama Nomor 18 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Perjalanan Ibadah Umrah.

 

Ketua Komnas Haji dan Umrah Mustolih Siradj mengatakan regulasi baru tersebut memperketat travel umrah sehingga tidak merugikan masyarakat, misalnya mengakibatkan jamaah gagal berangkat ke Tanah Suci. "Sebetulnya PMA ini menyempurnakan atau menambal hal-hal yang belum diatur atau masih abu-abu pada PMA sebelumnya," kata Mustolih dikutip dari Antara, Selasa (27/3).



Dari PMA 2018 itu, dia menyebut terdapat sejumlah kemajuan dalam industri umrah. Pertama, adanya biaya referensi Biaya Penyelenggaraan Ibadah Umrah (BPIU). BPIU tersebut menjadi acuan harga bagi travel umrah atau PPIU untuk menjual paket sehingga tidak dijual secara tidak masuk akal sehingga merugikan jamaah.



Penetapan harga acuan itu sendiri rencananya akan dilakukan secara berkala menyesuaikan fluktuasi harga. Pada saat ini acuan masuk akal untuk paket umrah ada pada kisaran Rp20 juta. "Ini menjawab biaya promosi yang di bawah standar sehingga kerap mengakibatkan jamaah susah berangkat," kata dia.



Kemudian, kata dia, PMA baru menjamin hak-hak konsumen. Pada PMA itu mengambil semangat dari UU UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Selanjutnya, terdapat kebijaksanaan PMA yang mewajibkan travel umrah untuk menyertakan asuransi dalam perjalanan ibadah. Asuransi itu terdiri atas asuransi jiwa, kesehatan dan perjalanan.



Kemajuan lain, adanya kewajiban travel umrah untuk memberangkatkan jamaah maksimal enam bulan sejak mendaftar atau tiga bulan sejak pelunasan biaya umrah. Berikutnya, lanjut Mustolih, ada kewajiban PPIU ketika berangkat harus menyediakan tiket pulang-pergi. Sebab, tidak sedikit PPIU hanya menyiapkan tiket berangkat.

 

"Ini membuat banyak jamaah yang sulit pulang karena tiket pulangnya memang terlambat diberikan. Kemudian, apabila ada pembekuan PPIU, dalam PMA tahun ini PPIU yang dicabut wajib mengembalikan uangnya kepada jamaah," kata dia.

 

Baca:

 

Sementara itu, Kementerian Agama akan memberlakukan acuan minimal BPIU sebesar Rp20 juta dalam waktu dekat. Rencana penerapan kebijakan acuan minimal BPIU itu untuk mencegah PPIU untuk menjual paket ke Tanah Suci yang terlalu murah sehingga berpotensi merugikan jamaah.



"Sesuai kesepakatan adalah Rp20 juta. Tapi belum ketuk palu," kata Direktur Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah (PHU) Kemenag Nizar Ali.



Menurutnya, angka acuan tersebut telah dibahas bersama-sama lintas sektor di antaranya Kementerian Agama, asosiasi perwakilan PPIU, Komisi Pengawas Persaingan Usaha, Badan Perlindungan Konsumen Nasional dan unsur terkait. BPIU acuan Rp20 juta itu merupakan perhitungan final yang memperhitungkan harga masuk akal dengan standar pelayanan minumum (SPM) dari PPIU.



Jika ada angka kurang dari itu, kata Nizar, maka masyarakat perlu mencermati unsur apa yang dikurangi dalam paket umrah tersebut. "Kami melakukan FGD untuk membahas apa saja yang harus diperhatikan dalam ibadah umrah, satu tiketing dibuat standar, berapa transit, hotelnya bintang berapa," kata dia.



Sejauh ini, dari banyak kasus travel umrah resmi dan bodong kerap menjual paket murah yang tidak masuk akal. Kebanyakan kasus itu memicu jamaah umrah dirugikan karena tergoda paket murah. Berbagai persoalan muncul dari paket umrah murah seperti jamaah gagal berangkat, telantar di Tanah Suci, tidak mendapatkan paspor dan visa, dicekal imigrasi serta persoalan lainnya.



"Dengan ini, kami berharap penyelenggaraan perjalanan ibadah umrah akan semakin baik dan jamaah makin terlindungi," kata dia.

 

Baca juga:

 

Kehadiran Negara

Terpisah, Pakar Hukum Dagang Universitas Gadjah Mada Prof. Sulistiowati menilai negara perlu hadir untuk melindungi kepentingan konsumen dalam hal penyelenggaraan ibadah umrah. Hal ini penting mengingat masih maraknya kejadian penelantaran calon jemaah umrah yang dilakukan beberapa biro perjalanan haji dan umrah.

 

"Pemerintah belum hadir melakukan pengawasan dan penegakan hukum dalam melindungi konsumen, dalam hal ini calon jemaah," ujarnya seperti dikutip dari Antara, Rabu (28/3).



Menurut Sulistiowati, pemerintah belum melakukan pengaturan lebih rinci terkait teknis administrasi penyelenggaraan usaha ibadah umrah agar dalam pelaksanaannya tidak merugikan konsumen. Ia mencontohkan pengaturan batas kuota jemaah, batas tarif terendah serta waktu tunggu jemaah.



Akibatnya, lanjut Sulistiowati, biro perjalanan haji dan umrah berlomba memberikan harga murah tanpa memperhatikan kemampuannya dalam melayani konsumen. "Sekarang banyak yang berlomba memberikan promo perjalanan umrah murah. Kalau jumlahnya ratusan masih bisa di-handle, tetapi kalau jumlahnya banyak ini jadi masalah," katanya.



Menurut Sulistiowati, pemerintah harus hadir mengawal dalam pengaturan teknis administratif bisnis perjalanan umrah. Bahkan bila perlu ke depan diterapkan kewajiban adanya biaya asuransi untuk mengantisipasi berbagai risiko yang mungkin terjadi di masa datang.



Sulistiowati menegaskan, meskipun telah ada UU Perlindungan Konsumen, ke depan tetap perlu dilakukan perbaikan terhadap undang-undang tersebut untuk meningkatkan perlindungan hukum konsumen. Bila perlu ada sinkronisasi dengan peraturan perundang-undangan sektoral sehingga tidak tersekat-sekat.



"Peraturan sudah ada, tetapi masih ada lubang-lubang di dalamnya, sehingga ke depan perlu perbaikan agar bisa lebih memayungi kepentingan konsumen," tuturnya. (ANT)

Tags:

Berita Terkait