Menakertrans Ikut Undang Investor Asing
Berita

Menakertrans Ikut Undang Investor Asing

Investasi diperlukan untuk mengurangi pengangguran.

ADY
Bacaan 2 Menit
Menakertrans Ikut Undang Investor Asing
Hukumonline

Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Menakertrans), Muhaimin Iskandar, mengundang investor untuk berbisnis di Indonesia. Menurutnya, investasi diperlukan guna membuka dan memperluas lapangan kerja. Pembukaan lapangan kerja diharapkan mampu mengurangi pengangguran. Melansir data Badan Pusat Statistik (BPS), pengangguran terbuka di Indonesia pada Agustus 2013 mencapai 7,39 juta orang. Jumlah itu lebih tinggi ketimbang Februari 2013 yang hanya 7,17 juta orang.

Muhaimin meminta investor tidak khawatir atas perkembangan  ketenagakerjaan di Indonesia. Penguatan serikat pekerja merupakan hal yang wajar karena demokrasi di Indonesia sedang berkembang. “Pemerintah secara terbuka mengajak perusahaan asing untuk berinvestasi lebih besar di Indonesia. Investasi asing bisa membantu pergerakan sektor riil, menunjang pertumbuhan ekonomi dan membuka lapangan kerja baru,” katanya dalam keterangan pers yang diterima hukumonline, Senin (11/11).

Salah satu cara mengatasi pengangguran, kata Muhaimin, adalah  meningkatkan investasi di Indonesia, terutama investor asing. Kehadiran investasi dibutuhkan untuk memacu pertumbuhan ekonomi dan produktivitas. Hubungan industrial yang kondusif dan harmonis menjadi syarat agar investor tertarik. “Perusahaan asing maupun perusahaan dalam negeri harus membuka dialog yang lebih kondusif dengan serikat pekerja sehingga dapat mencari solusi yang win-win solution,” ujarnya.

Presiden Boeing Asia Tenggara, Ralph Boyce, mengakui situasi ketenagakerjaan di Indonesia cukup baik. Namun pimpinan perusahaan yang memproduksi pesawat terbang asal Amerika Serikat itu mengingatkan agar hubungan industrial harus ditingkatkan lebih harmonis dengan dukungan regulasi dari pemerintah. “Situasi Ketenagakerjaan di Indonesia bisa dikatakan masih kondusif untuk investor asing. Oleh karena itu Indonesia masih cukup menarik bagi investor asing,” ungkapnya.

Direktur External Affairs HM Sampoerna, Yos Ginting, menekankan perlunya mempermudah perizinan masuk bagi tenaga kerja asing ke Indonesia. Menurutnya, hal itu diperlukan sebagai bagian untuk mengembangkan perusahaan ke berbagai daerah.

Terpisah, Sekjen Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI), Timboel Siregar, sepakat bahwa investasi dibutuhkan untuk meningkatkan lapangan kerja. Dengan menggenjot penanaman investasi dari dalam dan luar negeri maka rakyat Indonesia lebih produktif serta kemiskinan bisa diturunkan. Menurutnya, peran pemerintah dibutuhkan untuk mewujudkan hal tersebut.

Mengutip pernyataan Wakil Presiden Senior Bank Dunia, Kaushik Basu, Timboel mengatakan pemerintah berperan penting dalam menciptakan iklim usaha guna membuka lapangan kerja. Pemerintah harus mampu memperkuat fundamental ekonomi, termasuk stabilitas ekonomi makro, iklim usaha yang bersahabat, kualitas SDM dan kepastian hukum. Oleh karena itu pemerintah dituntut pro aktif untuk meningkatkan daya saing Indonesia. Misalnya, pemerintah harus serius menegakan hukum, menyediakan infrastruktur layak, energi untuk industri, menekan biaya logistik yang mahal dan meningkatkan pendidikan rakyat.

“Beberapa faktor itu sangat menentukan peringkat daya saing Indonesia yang saat ini menurut World Economic Forum (WEF) berada pada peringkat 38. Masih lebih rendah dibandingkan Malaysia, Thailand dan Singapura,” tutur Timboel kepada hukumonline di Jakarta, Sabtu (16/11).

Timboel menyarankan agar saat ini pemerintah lebih fokus kepada penanaman modal dalam negeri (PMDN) ketimbang penanaman modal asing (PMA). Serta maksimalkan APBN untuk membuka lapangan kerja. Ia memantau kemampuan pemerintah untuk memperluas lapangan kerja mengalami penurunan. Sebab, setiap pertumbuhan ekonomi satu persen hanya mampu menyerap tenaga kerja sekitar 150 ribu orang, seharusnya bisa mencapai 300 ribu orang. Hal itu menunjukan kualitas pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami penurunan.

Soal ketenagakerjaan Timboel berpendapat harusnya tidak menjadi masalah bagi investor untuk berinvestasi di Indonesia. Pasalnya, rata-rata ongkos tenaga kerja di Indonesia masih sekitar 15 persen, jauh lebih rendah dibandingkan negara Asia Tenggara lainnya seperti Malaysia, Thailand, Filipina dan Singapura. Apalagi pemerintah sudah membuat regulasi yang cenderung menguntungkan investor. Seperti UU No.13 Tahun 20013 tentang Ketenagakerjaan dan UU No.2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Bagi Timboel kedua UU itu menganut sistem pasar tenaga kerja fleksibel yang menguntungkan investor.

Timboel mengingatkan ketika UU Ketenagakerjaan disahkan, pemerintah yakin regulasi itu akan menarik investor secara masif untuk masuk ke Indonesia sehingga akan tercipta banyak lapangan kerja. Tapi, faktanya investor masih berhati-hati untuk menanamkan modalnya ke Indonesia. Sebab, ada masalah yang menghambat investasi seperti penegakan hukum, infrastruktur, birokrasi dan ketersediaan energi. “Bukan karena masalah ketenagakerjaan,” tukasnya.

Selain itu Timboel menyoroti program Kemnakertrans lewat lima pilar aksi percepatan penciptaan kesempatan kerja. Menurutnya, sampai saat ini pemerintah gagal meningkatkan kualitas SDM masyarakat. Padahal, 20 persen APBN sudah dialokasikan untuk pendidikan. Dalam meningkatkan keterampilan angkatan kerja, Kemankertrans selama ini hanya bertumpu pada Balai Latihan Kerja (BLK) yang kualitas dan kuantitasnya minim. Begitu pula dengan kewirausahaan dan UMKM yang terbatas dukungannya dari pemerintah. Misalnya, suku bunga Kredit Usaha Rakyat (KUR) masih tinggi dan masalah birokrasi yang menyulitkan untuk mendapatkan kredit itu.

Terkait tenaga kerja asing, Timboel berpendapat jika perizinan masuk dipermudah maka menjadi ancaman bagi pekerja Indonesia. Ia menilai pekerja Indonesia mampu melakukan hampir semua jenis pekerjaan yang tersedia. Merujuk amanat UU Ketenagakerjaan, prioritas harus diberikan kepada pekerja Indonesia ketimbang asing. Sebab, pekerja asing hanya berfungsi untuk alih pengetahuan dan teknologi. “Jangan sampai berdalih mengundang investasi asing tapi malah membuat rakyat Indonesia menjadi pengangguran yang hanya diposisikan sebagai konsumen saja,” paparnya.

Tak ketinggalan Timboel mengkritik data BPS tentang pengangguran terbuka. Menurutnya, BPS harus memperbaiki data tersebut karena ada 18 juta pekerja yang tidak mendapat upah. Para pekerja itu biasanya bekerja di sektor informal seperti usaha keluarga dan rumah makan. Harusnya pekerja yang tidak mendapat upah itu dikategorikan sebagai pengangguran sebagaimana yang berlaku di negara lain seperti Amerika Serikat. Jika data itu tidak masuk dalam pengangguran terbuka maka BPS tidak obyektif dan bernuansa politis. “Biar terkesan angka pengangguran kecil dan terkendali,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait