Menakar Komitmen Ekologis Capres-Cawapres
Berita

Menakar Komitmen Ekologis Capres-Cawapres

Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia dikritik.

ADY
Bacaan 2 Menit
WALHI. Foto: Sgp
WALHI. Foto: Sgp
Kerusakan ekologi merupakan salah satu masalah besar yang dihadapi Indonesia. Persoalan itu semakin serius karena kerusakan ekologi bukan berkurang tapi terus bertambah. Karena itu, organisasi masyarakat sipil mendesak pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden (capres-cawapres) untuk memperhatikan isu ekologi.

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) meminta masyarakat untuk memilih pemimpin yang peduli pada lingkungan hidup dan kelestariannya.

Menurut Kepala Departemen Kajian dan Pengelolaan Sumber Daya Alam Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Khalisah Khalid, kerusakan ekologis itu menimbulkan bencana yang menimpa masyarakat, terutama di tingkat lokal. Perempuan yang disapa Alin itu mencatat periode 2012-2013 bencana ekologis naik hampir 300 persen.

Penyebab utama meningkatnya bencana itu karena ada kebijakan yang mengakibatkan kerusakan ekologi. Kebijakan itu muncul karena pemerintah salah dalam mengelola Sumber Daya alam (SDA), apalagi dengan adanya Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). “Mendorong eksploitasi SDA besar-besaran. MP3EI itu ancaman serius ke depan bagi ekologi,” katanya dalam diskusi di Jakarta, Kamis (12/6).

Alin menilai selama ini pemerintah memberi lampu hijau terhadap perusakan lingkungan dan penghancuran SDA. Caranya dengan menerbitkan regulasi. Selain itu pemerintah juga absen melindungi rakyatnya ketika terkena bencana eklogis yang ditimbulkan oleh kegiatan korporasi. Seperti yang terjadi dalam kasus lumpur Lapindo, masyarakat yang menjadi korban tidak difasilitasi oleh negara untuk mendapatkan hak-haknya.

Melihat praktik buruk pengelolaan SDA, Alin mencatat pelaku perusakan lingkungan yang utama dilakukan oleh korporasi, jumlahnya 82,5 persen. Korporasi itu bergerak di sektor minyak sawit, pertambangan dan hutan tanam industri (HTI). Selain hal itu pengelolaan SDA diwarnai watak militeristik seperti merampas tanah rakyat sehingga menimbulkan konflik agraria. Bahkan masifnya konflik SDA diakui oleh pemerintah seperti DPR mencatat ada lebih dari 7ribu kasus. Sedangkan Polri menghitung konflik tertinggi di Indonesia menyangkut SDA.

Melihat kondisi itu Alin berpendapat para capres-cawapres harus berkomitmen terhadap isu lingkungan. Menurutnya isu lingkungan penting untuk dimasukan dalam visi dan misi para calon. Sebab visi dan misi calon yang terpilih akan dituangkan menjadi Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM). “Maka penting untuk dilihat sejauh mana komitmen kedua capres dalam isu lingkungan,” tegasnya.

Dalam visi dan misi pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK), Alin menilai mereka cukup baik membaca akar masalah isu lingkungan. Seperti adanya ketimpangan penguasaan SDA dan bagaimana kaitan praktik ekonomi politik terhadap isu lingkungan. Menurutnya, pemahaman kandidat itu terlihat karena mampu menilai masalah lingkungan bukan hal sepele.

Tapi berhubungan dengan ekonomi politik, penjarahan SDA yang masih sehingga mengakibatkan kemiskinan. “Kalau akar masalah dapat dibaca dan dibarengi dengan program strategis maka dapat menjawab masalah lingkungan hidup itu sendiri,” urainya.

Catatan Alin untuk Jokowi-JK dalam visi dan misi di sektor lingkungan mengenai penegakan hukum dalam kasus lingkungan. Menurutnya, kejahatan lingkungan itu termasuk luar biasa (extraordinary) karena kasusnya rumit. Sebab, ada keterlibatan negara yang mendukung kejahatan korporasi terhadap lingkungan. Sehingga kejahatan itu dianggap sesuai dengan regulasi.

Ironisnya, Alin melanjutkan, pemahaman aparat penegak hukum terhadap isu lingkungan sangat lemah. Bahkan dalam peradilan kasus kejahatan lingkungan di Malang, Jawa Timur, hakimnya mengaku bersertifikat lingkungan. Setelah ditelusuri, ternyata hakim itu bohong. Baginya, hal tersebut menunjukan kualitas aparat penegak hukum sangat buruk.

Atas dasar itu Alin mengingatkan penegakan hukum lingkungan belum jelas dijabarkan dalam visi dan misi Jokowi-JK. Begitu pula dengan agenda strategis terkait isu lingkungan. Padahal, jika menginginkan perubahan maka proses penegakan hukum di sektor lingkungan tidak bisa menggunakan cara seperti biasa. Namun Alin mengapresiasi pasangan tersebut karena mampu melihat kejahatan dan bencana lingkungan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan.

Sedangkan dalam visi dan misi pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa (Prabowo-Hatta), Alin menemukan ada pembahasan terhadap isu lingkungan hidup. Tapi hal itu tidak berarti kandidat tersebut fokus pada penyelamatan lingkungan. Pasalnya, pemahaman terhadap penyelamatan lingkungan dari pasangan calon itu sifatnya sangat teknis seperti reboisasi, menanam pohon dan membuat hutan kota. Padahal, isu lingkungan tidak hanya itu, tapi bersinggungan dengan ekonomi politik. “Berapapun banyaknya hutan kota kalau HTI marak ya percuma,” kritiknya.

Pasangan Prabowo-Hatta menurut Alin juga mengusung MP3EI sebagaimana yang digulirkan pemerintahan sekarang. MP3EI akan diandalkan oleh pasangan tersebut sebagai basis pembangunan ekonomi dan infrastruktur. Padahal, MP3EI yang sudah dijalankan sekarang mengakibatkan bencana ekologis.

Alin menilai poin pelestarian alam dan lingkungan sebagaimana tercantum dalam visi dan misi Prabowo-Hatta seolah manipulatif. Sebab, pelestarian itu akan hancur lewat kebijakan MP3EI. “Dari hasil kajian kami, MP3EI akan melanggengkan konflik agraria, perampasan tanah dan pengerusakan lingkungan hidup,” paparnya.

Koordinator KontraS, Haris Azhar, menjelaskan kerusakan lingkungan merupakan bentuk pelanggaran HAM. MP3EI dapat dikategorikan sebagai kebijakan yang memicu munculnya pelanggaran HAM. Sebab 70 persen program MP3EI mengandalkan bisnis eksploitatif SDA. Sedangkan pelaksanaannya dilakukan lewat pemerintah dan didanai APBD.

Ujungnya, penyelenggaraan MP3EI menimbulkan masalah yang merugikan masyarakat lokal. Data KontraS menunjukan ada ratusan kasus yang muncul di berbagai daerah akibat penyelenggaraan MP3EI. Seperti di koridor Sumatera 55 kasus, Kalimantan 86 kasus, Jawa 67 kasus dan Bali 16 kasus. Haris yakin ada banyak kasus lainnya yang ditimbulkan sebagai dampak dari pelaksanaan MP3EI dan belum tercatat. “Paling bermasalah itu di bidang pengelolaan perkebunan, pertambangan dan agraria. Kasusnya meliputi kepemilikan tanah adat atau akses masyarakat terhadap tanah,” paparnya.
Tags:

Berita Terkait