Menakar Keterpilihan Caleg Sarjana Hukum dalam Pengambilan Keputusan di Parlemen
Melek Pemilu 2024

Menakar Keterpilihan Caleg Sarjana Hukum dalam Pengambilan Keputusan di Parlemen

Partai politik melalui fraksi di parlemen berperan besar menghegemoni dalam pengambilan keputusan strategis. Anggota legislatif harus memiliki ikatan dengan profesinya dan berdialog dengan akademisi dan kalangan organisasi masyarakat sipil.

Ady Thea DA
Bacaan 4 Menit
Ilustrasi
Ilustrasi

Partai politik (Parpol) berperan penting dalam sistem pemerintahan sebagaimana diatur dalam UU No.2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas UU No.2 Tahun 2008 tentang Partai Politik (Parpol). Setidaknya Parpol memiliki tujuan umum dan khusus. Nah, tujuan khusus antara lain meningkatkan partisipasi politik anggota dan masyarakat dalam rangka penyelenggaraan kegiatan politik dan pemerintahan.

Memperjuangkan cita-cita partai politik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Membangun etika dan budaya politik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Parpol yang memenuhi persyaratan tertentu dapat mengikuti pemilihan umum (Pemilu) untuk pemilihan anggota DPR, DPRD provinsi, dan Kabupaten/kota.

Parpol juga dapat mengusulkan pasangan calon peserta pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Berdasarkan data calon sementara pada laman KPU pada pemilu DPR 2024, diketahui sebanyak 1.024 orang atau 10,32 persen caleg berlatar belakang sarjana hukum. Dari 24 partai politik peserta pemilu 2024 yang terdiri 18 partai nasional dan 6 partai lokal sebagaimana telah ditetapkan dalam Keputusan KPU RI No.518 Tahun 2022 masing-masing partai memiliki caleg berlatar belakang sarjana hukum.

Dari 18 partai nasional yang mengikuti pemilu 2024, terdapat enam partai yang memiliki caleg berlatar belakang sarjana hukum paling banyak. Yakni Partai Golkar dengan 105 orang caleg berlatar belakang sarjana hukum. Kemudian PDIP dengan jumlah 89 caleg. Kemudian Partai Demokrat dengan 84 orang caleg. Selanjutnya Partai Nasdem 75 orang, Gerindra dengan 72 orang caleg dan PKB dengan 68 orang. Sementara partai dengan caleg berlatar belakang sarjana hukum paling sedikit adalah Partai Gelora dengan jumlah 13 orang.

Baca juga:

Pengajar Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera, Bivitri Susanti, berpendapat caleg penyandang gelar sarjana hukum kurang penting. Sebab ketika terpilih menjadi anggota legislatif, kenderungan yang ditekankan keterwakilan, bukanlah keilmuannya. Berbeda dengan advokat, hakim, jaksa, dan profesi hukum lainnya yang ditekankan adalah keilmuannya.

Tapi untuk anggota legislatif yang ditekankan keeterwakilannya pada dapil tertentu dan apakah dia mampu menggunakan kekuasannya untuk diterjemahkan dalam kebijakan dan hukum.  “Jadi kemampuan bukan profesi dan skill ilmu, tapi bisakah menggunakan staf ahli yang banyak,” katanya ketika ditemui, Sabtu (02/12/2023).

Sekalipun anggota legislatif terpilih bukan sarjana hukum, tapi mampu memanfaatkan staf ahli, dan legal drafter yang ada maka boleh jadi dapat menjalankan tugasnya dengan baik. Keilmuan hukum bagi anggota legislatif yang bergelar sarjana hukum seolah baru berguna ketika berdebat. Misalnya dengan pemerintah, ahli atau pakar hukum. Tapi untuk pengambilan keputusan ada di tangan fraksi bukan anggota DPR.

Nah, sistem politik di Indonesia ini kan disandra kartel politik, (skill sarjana hukum,-red) mungkin berguna ketika perdebatan dengan mitra di DPR tapi dalam pengambilan keputusan,” urainya.

Bivitri berharap para caleg sarjana hukum punya visi pembaruan, Sehingga tak  terpaku pada gelar yang dimilikinya. Sebab praktiknya ada banyak advokat yang bertindak sebagai advokat hitam atau makelar perkara. Sekalipun pengambil keputusan di DPR berada di tangan fraksi, anggota dewan harus berani mendebat dan bermanuver.

Dalam mendorong pembaruan hukum, anggota legislatif harus memiliki ikatan dengan profesinya. Misal berdialog dengan organisasi advokat, akademisi dan kalangan organisasi masyarakat sipil. “Mereka menjadi punya input apa yang mau dilakukan, jadi itu yang di bawa ke DPR,” imbuhnya.

Hegemoni Parpol

Terpisah, pengajar Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) Titi Anggraini, mengatakan kerja-kerja yang dilakukan DPR dekat dengan ilmu hukum. Oleh karena itu sarjana hukum relevan menjadi latar belakang anggota DPR. Jika dapat digunakan secara optimal, ilmu hukum akan mempercepat akselerasi kerja-kerja anggota DPR.

Tapi faktanya tidak serta-merta latarbelakang sarjana hukum itu dapat meningkatkan performa personal anggota dan kelembagaan DPR. Sebab dalam sistem parlemen dan politik, Parpol memiliki peran yang sangat besar bahkan cenderung hegemoni. “Sehingga terobosan inovasi dan pemahaman hukum yang dimiliki anggota dewan tidak bisa diaplikasikan secara baik,” ujarnya.

Sekalipun anggota legislatif punya pandangan atau terobosan tapi tidak sejalan dengan pendirian atau pendapat fraksi maka tidak dapat berbuat banyak. Tercatat periode 2019-2024 terbit beragam UU bermasalah. Seperti revisi UU MK, UU KPK, terbitnya UU Cipta Kerja dan keterlambatan pengesahan Perppu Cipta Kerja dan Perppu Pemilu melampaui masa sidang berikutnya.

“Sulit untuk mengimplementasikan kalau internal partai politik terlalu pegang kendali anggota dewan (DPR). Tapi memang ini tantangan yang dihadapi anggota DPR,” imbuhnya.

Bagi Dewan Pembina Perludem itu, ada hal yang menarik dimana anggota dewan yang bukan bergelar sarjana hukum berminat untuk belajar hukum. Titi menemukan fenomena itu tak hanya diantara anggota DPR, tapi juga lembaga lainnya. Seperti Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Dia menegaskan, gelar sarjana hukum atau pengetahuan hukum tidak serta merta menghasilkan reformasi hukum.

Terkadang reformasi hukum yang ditawarkan berbenturan dengan kepentingan Parpol dan fraksi yang diwakilinya. Alih-alih melakukan reformasi dan pembaruan hukum yang terjadi malah RUU kontroversial lolos untuk diterbitkan. Apalagi penerbitan suatu RUU terkait juga dengan kepentingan pemerintah. Dalam banyak hal, DPR seolah tak berdaya ketika pemerintah menyodorkan RUU tertentu untuk segera diterbitkan.

Sebut saja UU No. 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara  dan UU No.6 Tahun 2023 tentang Penetapan Perppu No.2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi UU yang dikebut pembahasannya sehingga bisa cepat terbit. Tapi ada juga RUU yang tak kunjung terbit walau pemerintah sudah berupaya mendorong seperti RUU Pelindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT) dan RUU Perampasan Aset. Hal itu terjadi karena ada kepentingan elit. Jika kepentingan elit di pemerintahan dan DPR kuat, maka pembahasan RUU bisa dilakukan dengan cepat.

Titi berharap, caleg berlatar belakang hukum tak hanya sekedar keilmuan hukum tapi nilai-nilai hukum itu terinternalisasi. Hukum harusnya menghadirkan keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum dalam kerja-kerja yang dilakukan anggota dewan. Anggota legislatif juga harus memaksimalkan staf ahli DPR. Perguruan tinggi dan lembaga pendidikan tinggi hukum juga harus mengevaluasi sehingga hukum tak sekedar ilmu tapi juga mengutamakan moralitas.

Tags:

Berita Terkait