Menakar Keabsahan Industri Asuransi dalam Mengeluarkan Surety Bond
Utama

Menakar Keabsahan Industri Asuransi dalam Mengeluarkan Surety Bond

Perlu ada keseragaman paham antar UU Penjaminan, UU Asuransi dan UU Jasa Konstruksi agar kepastian hukum penerbitan suretybond bagi industri asuransi menjadi semakin dipertegas.

Hamalatul Qur'ani
Bacaan 2 Menit

 

Saat ditanya soal dasar pembenar yang tertuang secara tegas bagi asuransi untuk mengeluarkan surety bond berdasarkan UU Jasa Konstruksi, Ricardo berpendapat, sepanjang konstruksi yang digunakan terhadap surety bond itu masih seperti yang saat ini berlaku, maka produk itu tetap tidak memenuhi definisi asuransi.

 

Alasannya, asuransi tidak memberikan ruang sedikitpun kepada tertanggung untuk mengalami kerugian dari satu peristiwa karena asuransi mendudukkan tertanggung seakan-akan tidak mengalami kerugian. Lain halnya dengan surety bond, yang pada akhirnya tertanggung yang harus membayar kerugian, walaupun didahulukan pembayarannya oleh asuransi.

 

“Dalam surety bond itu kan prinsipalnya 2 kali bayar, pertama bayar premi, kedua bayar ganti kerugian atas kejadian wanprestasi yang dia sebabkan. Itu beda sekali dengan definisi asuransi,” tukas Ricardo.

 

Way outnya, kata Ricardo, bisa saja dimintakan Fatwa Mahkamah Agung untuk menafsirkan maksud dari Pasal 5 ayat 2 UU Asuransi terkait jenis perluasan yang dapat dilakukan oleh perusahaan asuransi umum.

 

Selanjutnya, Industri asuransi juga dapat mengeluarkan produk surety bond yang tetap sesuai dengan definisi asuransi, yakni dengan tetap mendudukkan tertanggung seakan tak mengalami kerugian dalam surety bond melalui restrukturisasi terkait pihak yang membayarkan premi bukan lagi tertanggung (principal) melainkan adalah obligee. Sehingga tak lagi menjadi soal jika principal membayarkan loss recovery akibat wanprestasi yang dilakukannya, apalagi Pasal 1317 KUHPerdata membuka ruang bagi para pihak untuk bersepakat agar saling memberikan manfaat.

 

“Yang menjadi kontroversi bagi definisi asuransi kan dia kembali meminta pertanggungjawaban (loss recovery). Jadi at the end of the day, yang mengalami kerugian real itu adalah kontraktor yang merupakan tertanggung tadi. Ini yang sampai sekarang tidak match dengan definisi asuransi,” tukas Ricardo.

 

Pasal 1317:

Dapat pula diadakan perjanjian untuk kepentingan orang ketiga, bila suatu perjanjian yang dibuat untuk diri sendiri, atau suatu pemberian kepada orang lain, mengandung syarat semacam itu. Siapa pun yang telah menentukan suatu syarat, tidak boleh menariknya kembali, jika pihak ketiga telah menyatakan akan mempergunakan syarat itu.

Tags:

Berita Terkait