Menakar Era Baru Penggunaan Satu Data dalam Pelayanan Publik
Utama

Menakar Era Baru Penggunaan Satu Data dalam Pelayanan Publik

Kebiasaan menggunakan NIK sebagai satu data menjadi bagian masyarakat dinilai dapat meningkatkan kesadaran bagi wajib pajak dan layanan publik lainnya.

Rofiq Hidayat
Bacaan 3 Menit
Menkumham Yasonna H Laoly. Foto: RES
Menkumham Yasonna H Laoly. Foto: RES

Mengintegrasikan data kependudukan masyarakat sebagai syarat mendapatkan akses pelayanan publik menjadi dalil yang digunakan pemerintah untuk terbitnya Peraturan Presiden (Perpres) No. 83 Tahun 2021 tentang Pencantuman dan Pemanfaatan Nomor Induk Kependudukan (NIK) dan/atau Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dalam Pelayanan Publik. Alasan ini berkelindan dengan muatan materi RUU tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) yang baru saja disetujui dan disahkan DPR.

UU HPP yang baru disahkan tersebut turut mengubah beberapa ketentuan dalam UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Salah satu yang disorot Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Hamonangan Laoly terkait perubahan ini soal penggunaan NIK sebagai pengganti NPWP orang pribadi menuju sistem administrasi perpajakan yang sederhana, mudah, adil dan memberikan kepastian hukum.

Yasonna menilai, mengintegrasikan NPWP dengan NIK menjadi satu data memang memudahkan secara administrasi. Selain itu, penggunaan NIK sebagai instrumen administrasi wajib pajak bakal memudahkan wajib pajak orang pribadi dalam menjalankan hak dan melaksanakan kewajiban perpajakannya. Meski begitu, ia berharap, wajib pajak tetap memperhatikan pemenuhan syarat subjektif dan objektif untuk membayar pajak.

“Yaitu apabila orang pribadi mempunyai penghasilan setahun di atas penghasilan tidak kena pajak (PTKP) atau orang pribadi pengusaha mempunyai peredaran bruto di atas Rp500 juta setahun,” ujarnya di Komplek Gedung Parlemen, Kamis (7/10).

Sementara itu, Direktur Jenderal (Dirjen) Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Prof. Zudan Arif Fakrulloh mengimbau agar masyarakat membiasakan menghapal NIK miliknya masing-masing. Apalagi, pemerintah menuju era satu data melalui NIK sebagai basisnya, sehingga penggunaan NIK menjadi syarat dalam mendapatkan akses pelayanan publik.

“Ini adalah satu tahapan yang kita desain agar semua masyarakat mulai peduli dengan yang namanya Single Identity Number,” ujarnya sebagaimana dikutip dari laman Dukcapil Kemendagri. 

Baginya, NIK merupakan satu nomor tunggal yang bersifat unik dan dibuat satu kali serta berlaku seumur hidup. Dia mengakui, integrasi NIK sebagai syarat mendapatkan akses publik bakal terbangun tradisi baru. Mulai dari berobat ke rumah sakit, mengurus Surat Izin Mengemudi (SIM), kartu prakerja, bantuan sosial. “Kalau dulu kan hanya mengingat nama. Tapi nama banyak yang sama, sekarang hanya mengingat NIK,” katanya. 

Di sisi lain, kebiasaan menggunakan NIK sebagai satu data menjadi bagian masyarakat dapat meningkatkan kesadaran bagi wajib pajak. Dia menilai bagi masyarakat yang belum memiliki NPWP, cukup menyantumkan NIK. Ke depan, NIK bakal menjadi satu data nomor yang digunakan dalam berbagai pelayanan publik.

Prof. Zudan mengatakan, penggunaan NIK sedianya sudah diatur dalam Perpres No.62 Tahun 2019 tentang Strategi Nasional Percepatan Administrasi Kependudukan untuk Pengembangan Statistik Hayati pada bagian lampiran. Perpres ini menjadi jembatan agar semua layanan publik berbasis NIK, sebelum terbitnya UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). “Kemudian ditegaskan kembali dalam Perpres 83/2021,” ujarnya.

Baca:

Memastikan Keamanan

Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) Wahuydi Djafar menemukan tantangan mendasar pemanfaatan NIK sebagai syarat dalam pelayanan publik. Mulai dari tantangan aspek individu, pemrosesan, hingga teknologi identifikasi. Menurutnya, pada aspek individu, penggunaan NIK sebagai syarat mengakses layanan publik rentan mendiskriminasi individu dengan identitas terstigma minoritas seksual, agama, masyarakat, hingga adat, dari fasilitas pelayanan publik.

Sedangkan pada aspek pemrosesan, pemanfaatan NIK tanpa didahului dengan regulasi pelindungan data pribadi yang menyeluruh, berpotensi menimbulkan malafungsi otentikasi, ketidakakuratan, dan pemrosesan berlebihan (overprocessing), yang melahirkan kerentanan baru bagi penduduk. “Terakhir, dalam aspek teknologi, sepanjang pemrosesan data kependudukan, telah terjadi beberapa kali insiden kebocoran dan pencurian data, sehingga penguatan keamanan sistem identifikasi diperlukan sebagai prakondisi pemanfaatan NIK,” ujar Wahyudi.

Ia mengingatkan, pemanfaatan NIK sebagai alat identifikasi dan otentikasi dalam pemberian layanan publik atau sosial lainnya, perlu mengacu pada prinsip dan standar perlindungan yang kuat. Serta berpijak pada prinsip-prinsip pendekatan berbasis manusia (human-centric approach). “Prinsip-prinsip tersebut adalah prinsip inklusi, prinsip privasi, prinsip keamanan, prinsip tata kelola yang baik, dan prinsip akuntabilitas,” katanya.

Elsam, kata Wahyudi, mendorong Presiden Joko Widodo mengevaluasi implementasi Perpres 83/2021 terkait penggunaan NIK sebagai syarat mengakses layanan publik. Caranya, dengan memperhatikan asas kebutuhan dan proporsionalitas terhadap pemanfaatan data NIK sebagai data pribadi. Selain itu, juga presiden pun perlu menyiapkan standar pengamanan dalam pelaksanaan Perpres 83/2021 dengan mengacu pada prinsip inklusi, privasi, keamanan dan tata kelola yang baik serta akuntabilitas.

Prof. Zudan menegaskan, institusi yang dipimpinnya mendorong pelayanan publik dengan akses data ke Dukcapil. Bila sedari 2015 masih terdapat 30 lembaga yang bekerja sama, saat ini sudah mencapai 3.904 institusi. Dia memastikan instrumen perlindungan data masyarakat berjalan aman dan terkendali. "Aman, sudah ribuan lembaga menerapkan kok," pungkasnya saat dikonfirmasi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait