Menakar Efektivitas UU Cipta Kerja Terhadap Kemudahan Usaha
Utama

Menakar Efektivitas UU Cipta Kerja Terhadap Kemudahan Usaha

Kemudahan akses permodalan merupakan poin penting dalam memunculkan investasi baru dan pemerataan ekonomi.

Mochammad Januar Rizki
Bacaan 3 Menit
Hukumonline menggelar webinar bertema Strategi Hukum dan Implementasi Omnibus Law Bagi Pelaku Usaha, Kamis (19/11). Foto: RES
Hukumonline menggelar webinar bertema Strategi Hukum dan Implementasi Omnibus Law Bagi Pelaku Usaha, Kamis (19/11). Foto: RES

Pemerintah mengklaim penerbitan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja memudahkan investasi di Indonesia. Namun, kehadiran UU Cipta Kerja juga memunculkan penolakan dari berbagai pihak seperti buruh, aktivis lingkungan hingga akademisi. UU Cipta Kerja dinilai sarat kepentingan bagi pengusaha dan merugikan para pekerja serta berisiko rusaknya lingkungan hidup.

Akademisi Fakultas Hukum Universias Indonesia, Teddy Anggoro, mempertanyakan efektivitas UU Cipta Kerja terhadap kemudahan berusaha atau ease of doing business (EoDB) di Indonesia. Menurutnya, UU Cipta Kerja belum mengakomodir secara menyeluruh poin-poin penilaian EoDB yang disurvei oleh World Bank.

Dia mengatakan UU Cipta Kerja belum berbicara mengenai kemudahan akses permodalan bagi pelaku usaha kecil mikro dan menengah (UMKM). Padahal, Teddy menjelaskan kemudahan akses permodalan merupakan poin penting dalam memunculkan investasi baru dan pemerataan ekonomi.

Dia mencontohkan Amerika Serikat merupakan salah satu negara yang memberi kesempatan bagi semua masyarakat dalam kemudahan akses permodalan. Sehingga, setiap masyarakat punya kesempatan untuk membangun usahanya.

“Jadi kalau mahasiswa baru lulus kampus enggak jadi pegawai tapi buka lapangan usaha, nah getting credit enggak ada di UU Ciker,” jelas Teddy dalam Webinar Hukumonline 2020 yang berjudul “Strategi Hukum dan Implementasi Omnibus Law Bagi Pelaku Usaha”, Kamis (19/11). (Baca: Alasan Pemerintah Mengatur Ulang Sanksi Perpajakan dalam UU Cipta Kerja)

Kemudian, Teddy juga menerangkan ketentuan penghapusan akta notaris dengan surat keterangan dalam pendirian badan usaha bagi UMKM harus diperjelas. Menurutnya, perubahan tersebut tidak signifikan apabila surat keterangan tersebut tetap dikeluarkan oleh notaris. 

“Starting busines saya yakin akan tinggi (peringkat EODB). Tapi yang jadi masalah ketika surat pernyataan itu siapa yang keluarkan sehingga harus dijaga banget aturan turunannya,” jelasnya.

Secara keseluruhan terhadap UU Cipta Kerja, Teddy menilai efektivitasnya terhadap kemudahan berusaha belum jelas. Dia mengatakan Indonesia sebetulnya sudah menjadi negara sasaran investasi luar negeri. Hanya saja, Teddy mengatakan kepercayaan investor asing seperti Jepang terhadap Indonesia mulai tergeser dengan negara lain di ASEAN seperti Vietnam.

Teddy menjelaskan salah satu penyebab sulitnya berinvestasi di Indonesia adalah korupsi dan birokrasi. Dia menjelaskan peringkat ICOR yang masih tinggi pada level 6,4 salah satunya menandakan dampak investasi terhadap perekonomian.

“Penyebab efesiensi investasi rendah karena korupsi, birokrasi jalan lambat karena bersih beda lambat karena korupsi,” jelasnya.

Sementara itu, Ahli Hukum Tata Negara Bivitri Susanti mengatakan UU Cipta Kerja hanya fokus terhadap ekonomi dan meminggirkan kepentingan lain seperti lingkungan dan sosial. Menurutnya, perubahan paradigma perizinan usaha menjadi berbasis risiko memiliki peluang kegagalan tinggi. Hal ini karena Indonesia belum siap dari sisi infrastruktur kelembagaan dan masih sering terjadi penyalahgunaan kewenangan.

Bagaimana risk base approach ini punya potensi kegagalan yang tinggi di Indonesia dari sisi infrastruktur dan penyalahgunaan wewenang,” jelas Bivitri.

Kemudian, dia mengatakan UU Cipta Kerja tidak memperbaiki inti permasalahan kemudahan berusaha. “Kritik saya paradigma law development ini akan meminggirkan root of the problem.  Analisis kebijakan zaman sekarang yang dicari root of the problem-nya bukan symptom-nya. Ternyata yang disasar UU Cipta Kerja ini baru gejalanya. Saya setuju semua seperti tumpang tindih regulasi dan pemberdayaan UMKM. Namun, akar permasalahan utama yaitu korupsi dan kapasitas kelembagaan, governance,” jelas Bivitri.

Deputi Bidang Kerjasama Penanaman Modal Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Riyatno mengatakan urgensi UU Cipta Kerja menaikkan kemudahan berusaha dari peringkat 73 pada 2020 menjadi ke posisi 40 pada 2025. Kemudian, UU Cipta Kerja juga mengatasi tumpang tindih kebijakan pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

UU Cipta Kerja juga diharapkan dapat memperbaiki buruknya indeks persepsi korupsi dan mengurai regulasi berlebihan. Lalu, UU Cipta Kerja juga menjadi solusi terhadap tingginya kebutuhan lapangan pekerjaan dan kebijakan sektoral yang belum sinkron.

Dia menambahkan UU Cipta Kerja menyederhanakan dan mengintegrasikan perizinan sektor dari puluhan Undang-Undang dan ratusan pasal yang terkait dengan banyak sektor dan menimbulkan ego sektoral. Nantinya, perizinan tidak lagi berbasis izin namun berbasis risiko. Penentuan tingkat risiko dilakukan berdasarkan dampak pada kesehatan, keselamatan, lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. Perizinan terbagi atas risiko rendah, menengah rendah, menengah tinggi dan tinggi.

Riyatno juga mengatakan tingginya nilai Incremental Capital-Output Ratio (ICOR) mengindikasikan tidak efisiennya dampak investasi terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia. “Salah satu penyebab tidak efisiennya investasi di Indonesia adalah pungli (pungutan liar) yang banyak terjadi dalam penerbitan perizinan berusaha. Dimana hulu dari fenomena tersebut adalah penyusunan kebijakan,” jelasnya.

 

Tags:

Berita Terkait