Menakar Efektivitas Pembentukan Peraturan Turunan UU Cipta Kerja
Utama

Menakar Efektivitas Pembentukan Peraturan Turunan UU Cipta Kerja

Membentuk banyaknya peraturan turunan dalam UU Cipta Kerja dalam waktu 3 bulan dinilai sangat tidak realistis. Belum lagi, proses harmonisasi dalam pembentukan aturan turunan eksisting dari 76 UU terdampak. Meski meminta masukan masyarakat dalam pembuatan aturan turunan, tak ada jaminan masukan bakal diakomodir.

Rofiq Hidayat
Bacaan 4 Menit
Perwakilan pemerintah berfoto bersama pimpinan DPR usai pengesahan RUU Cipta menjadi UU dalam Rapat Paripurna di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (5/10). Foto: RES
Perwakilan pemerintah berfoto bersama pimpinan DPR usai pengesahan RUU Cipta menjadi UU dalam Rapat Paripurna di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (5/10). Foto: RES

Salah satu tujuan pembentukan UU Cipta Kerja memangkas over regulasi yang saling tumpang tindih nampaknya perlu ditelaah mendalam. Sebab, justru UU Cipta Kerja bakal melahirnya banyak aturan turunan berupa Peraturan Pemerintah (PP) atau Peraturan Presiden (Perpres) di setiap 76 UU yang terdampak dalam UU Cipta Kerja. Setidaknya, diperkirakan ada sekitar 470-an aturan turunan yang diamanatkan UU Cipta Kerja.   

“UU Cipta Kerja memerintahkan pembentukan PP dan Perpres dalam jumlah yang banyak. Jumlah tersebut masih akan bertambah lebih banyak apabila menghitung jumlah peraturan di bawah undang-undang yang terdampak, mulai dari PP sampai dengan Peraturan Menteri,” ujar Dosen Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera, Muhammad Nur Sholikin kepada Hukumonline, Rabu (21/10/2020). (Baca Juga: Pemerintah Diminta Gencar Sosialisasikan UU Cipta Kerja)   

Saat konferensi pers di Istana Bogor, Jum’at (9/10) lalu, Presiden mengatakan UU Cipta Kerja membutuhkan banyak sekali aturan turunan berupa PP dan Perpres yang harus diselesaikan paling lambat 3 bulan setelah diundangkan. Presiden membuka berbagai usulan dari seluruh lapisan masyarakat terkait penyusunan aturan turunan tersebut.

Dalam Bab Ketentuan Penutup, Pasal 185 huruf a UU Cipta Kerja “Peraturan pelaksanaan dari UU ini wajib ditetapkan paling lama 3 bulan”. Namun, belakangan pernyataan Presiden itu justru berbanding terbalik dengan pernyataan Kepala Kantor Staf Presiden (KSP) Moeldoko yang menyebut UU Cipta Kerja hanya dengan 35 PP dan 5 Perpres.

Sholikin menilai membentuk peraturan turunan ataupun perubahan aturan terdampak menjadi pekerjaan berat bagi pemerintah di tengah rendahnya legitimasi UU Cipta Kerja. Apalagi, UU Cipta Kerja itu membatasi pembentukan peraturan turunan hanya dalam waktu maksimal tiga bulan. Dia ragu dengan pendeknya jangka waktu itu, sejumlah aturan turunan dapat diproses secara transparan, partisipatif dan akuntabel.

Dia melihat praktik penyusunan PP ataupun Perpres selama ini memerlukan waktu yang lama. Setidaknya lebih dari satu tahun. “Penentuan waktu paling lama tiga bulan untuk membentuk banyaknya peraturan turunan tersebut sangat tidak realistis,” ujarnya.

Pembuatan aturan pelaksana dalam kurun waktu yang pendek berpotensi justru menimbulkan persoalan tumpang tindih regulasi. “Proses penyusunannya pun tak ideal. Semestinya, dimulai melalui tahapan perencanaan pembentukan PP dan Perpres atau program penyusunan terlebih dahulu sebagaimana diatur UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.”

Belum lagi, kata peneliti Senior Pusat Studi Hukum Kebijakan (PSHK) Indonesia ini, proses harmonisasi juga menjadi tantangan besar dalam pembentukan/perubahan aturan turunan eksisting dari 76 UU terdampak. Mulai harmonisasi vertikal ke berbagai undang-undang terkait, maupun horisontal ke PP maupun Perpres yang bersinggungan. Bila prosedur tahapan proses tak dilakukan dengan baik, besar kemungkinan implementasinya di lapangan bakal terhambat

“Kementerian Hukum dan HAM yang memiliki tugas melakukan harmonisasi perlu menyiapkan prosesnya bisa berjalan dengan baik, termasuk melibatkan berbagai pihak dalam proses ini,” saran dia.  

Dia mengungkapkan sering terjadi macetnya proses pembahasan peraturan turunan UU. Salah satunya, tak ada kesepahaman atau masih adanya ego sektoral antar kementerian/lembaga dalam penyusunan aturan turunan UU berupa PP maupun Perpres. Karena itu,jangka waktu 3 bulan untuk membentuk PP dan Perpres UU Cipta Kerja terkesan memaksakan proses pembentukan peraturan. “Alhasil, ketiadaan partisipasi masyarakat bakal menjadi korbannya.”

Menurutnya, meski pemerintah bakal meminta masukan masyarakat dalam pembuatan aturan turunan, menjadi persoalan tak ada jaminan masukan bakal diakomodir. Sebab, keterlibatan atau partisipasi masyarakat dan diakomodirnya masukan masyarakat memang menjadi bagian tak terpisahkan dalam proses pembuatan UU sampai dengan aturan turunan guna memenuhi aspek formalitas semata.

Memungkinkan lebih ramping

Direktur Pusat Kebijakan Publik dan Hukum (Puskapkum) Ferdian Andi pendapat, dalam draf RUU versi 1.035, 905 halaman mengalami perubahan dalam versi 812 yang menjadi draf resmi UU Cipta Kerja. Dalam UU Cipta Kerja banyak menggunakan frasa “diatur dalam peraturan pemerintah” ketimbang “diatur dengan peraturan pemerintah”. Konsekuensi menggunakan frasa “dalam PP” memungkinkan banyak ketentuan diatur dalam satu ataupun Perpres.

“Kalau diatur menggunakan frasa ‘diatur dengan PP’, maka hanya mendelegasikan satu PP atau Perpres. Kalau dicek draf versi 812 lebih banyak menggunakan frasa ‘diatur dalam PP’. (Mungkin, red) Ada benarnya juga pernyataan Moeldoko,” ujarnya.

Dia menilai menggunakan frasa “diatur dalam PP” memungkinkan banyak ketentuan digabungkan dalam satu aturan turunan berupa PP, misalnya. Sehingga memungkinkan aturan turunan dari UU Cipta Kerja menjadi lebih ramping daripada rumusan draf awal RUU Cipta Kerja. Menurutnya, cara tersebut menjadi strategi perumus dan pembuat UU agar bisa mempercepat pembuatan aturan turunan.

“Apalagi target Presiden itu satu bulan, hanya saja di UU Cipta Kerja diberikan waktu sampai tiga bulan,” ujar dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta itu.

Sebelumnya, Staf Kementerian Koordinator (Kemenko) Perekonomian Elen Setiadi mengatakan merefleksi penyusunan PP dari berbagai UU yang sudah berjalan memang jangka waktunya panjang. Dengan waktu yang panjang, pengejaannya pun bisa berujung molor dari yang dijadwalkan. Bahkan bisa memakan tahunan dalam pembuatan aturan turunan UU rampungnya.

“Repotnya, setelah sebuah RUU disahkan menjadi UU, terjadi pergantian pejabat negara. Alhasil proses penyusunan menjadi relatif lebih Panjang,” kata Elen beberapa waktu lalu.  

Belajar dari pengalaman dalam pembuatan PP, pemerintah memiliki metode dalam membuat peraturan pelaksana dari RUU Cipta Kerja. Bahkan sebelum draf RUU Cipta Kerja diajukan ke DPR, pemerintah sudah menyusun pula PP dari RUU ‘sapu jagat’ itu secara pararel. Menurutnya, ketika DPR menyetujui substansi RUU menjadi UU, kementerian/lembaga hanya menyesuaikan dari rumusan norma yang ada. “Makanya kami optimis bisa diselesaikan dalam jangka waktu 1 bulan,” ujarnya.

Pemerintah pun sudah mengarah pada sistem kodifikasi. Namun Elen mengakui belum dapat melakukan kodifikasi sesuai makna sesungguhnya. Elen ingat betul terdapat sekitar 550 PP. Namun Elen mencatat terdapat sekitar 30-an PP yang beragam jenis. Terbanyak PP mengatur norma standar prosedur dan kriteria (NSPK) sebagai kunci dari aturan turunan RUU Cipta Kerja.

“Karena ini menggunakan metode baru, pasti belum sempurna seperti harapan semua. Esensinya, kami pemerintah kementerian/lembaga terkait tetap optimis bisa membuat PP NSPK dalam waktu satu bulan,” katanya.

Tags:

Berita Terkait