Menakar Besar Kecilnya Fee Advokat
Resensi

Menakar Besar Kecilnya Fee Advokat

Buku ini menyajikan landasan yuridis honorarium advokat dan beragam bias di lapangan. Ternyata, klien tidak selalu bisa mengakses penggunaan biaya yang telah diserahkan kepada advokat. Penerima dana acapkali enggan membuatkan kuitansi.

Mys
Bacaan 2 Menit

 

Penelusuran yang dilakukan Binoto mengungkapkan fakta bahwa sebenarnya sebagian pembuat undang-undang berharap ada rumusan yang lebih komprehensif mengatur honorarium advokat. Fraksi Daulat Ummat kala itu mengingatkan fenomena yang terjadi di masyarakat. Seorang advokat lebih mengutamakan besarnya bayaran dari sebuah perkara yang dibela. Sehingga muncul kesan, advokat lebih memilih mencari profit ketimbang membantu masyarakat pencari keadilan. Kalau yang datang menemui adalah orang miskin, advokat acapkali mencari-cari alasan untuk menghindar. Malah berusaha meyakinkan klien miskin bahwa perkaranya akan kalah di pengadilan (hal. 59).

 

Mungkin sindiran Fraksi Daulat Ummah itu pula yang kini banyak ditonton masyarakat. Kalau ada seseorang pembesar diadili apalagi yang secara kasat mata berduit –katakanlah karena perkara korupsi—advokat berlomba-lomba membela. Dari sisi klien pun demikian. Klien yang ingin bebas dari tuduhan korupsi, akan berusaha mendapatkan sebanyak mungkin advokat ternama.

 

Dalam praktek, besar kecilnya honorarium advokat tergantung pada banyak hal. Maklum output yang dihasilkan advokat berbeda-beda. Meskipun output tersebut tidak bisa distandarisasi, dalam menentukan besarnya honorarium, seorang advokat perlu dan harus menjelaskan kepada klien hal-hal yang mempengaruhi besaran honorarium tadi (hal. 107). Bagaimanapun, honorarium advokat haruslah wajar. Yang dimaksud wajar, menurut penjelasan pasal 21 ayat (2) UU Advokat adalah memperhatikan resiko, waktu, kemampuan dan kepentingan klien.

 

Penulis buku ini coba mengutip delapan faktor penentu besaran honorarium berdasarkan kode etik American Bar Association. Kedelapan faktor itu meliputi waktu dan tenaga yang dibutuhkan, kesamaan perkara, tarif umum di lokasi tertentu, jumlah pengeluaran dan hasil yang akan diperoleh, keterbatasan waktu klien, sifat alamiah dan lamanya hubungan profesional, pengalaman dan reputasi advokat, serta sifat honorarium apakah tetap atau tidak.

 

Untuk menentukan besaran itu dan komponen-komponennya, biasanya digunakan dua metode: penentuan secara kontijensi, dan berdasarkan jam kerja atau waktu yang dibutuhkan. Sekarang, cukup banyak advokat yang menetapkan tarif berdasarkan waktu yang dipergunakan untuk menyelesaikan kasus klien (hourly billing).

 

Dalam simpulan penulis, salah satu yang jadi masalah di lapangan adalah ketidakterbukaan advokat tentang komponen perhitungan honorarium. Harusnya, advokat mau menjelaskan secara terbuka kepada klien agar perlindungan kepada klien sebagai pengguna jasa hukum lebih terjamin. Sayangnya, banyak klien yang tidak mempunyai akses untuk mendapatkan informasi semacam itu.

 

Buku karya Binoto Nadapdap ini patut mendapat apresiasi di tengah minimnya literatur tentang honorarium advokat. Setidaknya, apa yang dilakukan penulis bisa membuka cakrawala advokat dan klien tentang hak dan kewajiban masing-masing. Apalagi buku ini dihasilkan dari sebuah kajian ilmiah. Data dalam buku ini bisa dipertanggungjawabkan, puji Prof. Hikmahanto dalam kata pengantarnya.

 

Anda tertarik untuk baca?

 

Tags: