Menakar "Harga" Saksi Ahli
Berita

Menakar "Harga" Saksi Ahli

Dokter forensik Mun'im Idries menolak menjadi saksi ahli pada persidangan PK Muhammad Siradjuddin alias Pak De (25/2). Alasannya, Mun'im tidak dibayar ketika memberi kesaksian. Bagaimanakah sebenarnya aturan mengenai pembayaran bagi saksi ahli.

Nay/APr
Bacaan 2 Menit
Menakar
Hukumonline

Dalam kasus Pak De, kesaksian Mun'im merupakan kesaksian yang penting. Bahkan, menentukan putusan akhir Peninjauan Kembali (PK) Pak De. Pasalnya, Mun'im lah yang pertama kali mengemukakan adanya dua proyektil (kaliber) peluru yang berbeda saat pemeriksaan forensik atas jasad Dice, yaitu peluru kaliber 38 mm dan kaliber 9 mm.  Untuk bersaksi dalam perkara ini Mun'im meminta bayaran sekitar 10 juta. 

Masalah ini menjadi lebih hangat karena Mun'im juga mengaku tidak akan memberikan keterangan ahlinya dalam kasus pembunuhan hakim agung Syafiuddin, kecuali bayarannya jelas. Padahal dalam perkara itu, Mun'im merupakan saksi yang memberatkan terdakwa yang berarti diajukan oleh jaksa penuntut umum (JPU). Apa JPU punya uang sebanyak itu untuk membayar Mun'im?

Pasal 229 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP menyatakan bahwa saksi atau ahli yang telah hadir memenuhi panggilan dalam rangka memberikan keterangan di semua tingkat pemeriksaan, berhak mendapat penggantian biaya menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Masalahnya, tidak ada keterangan lanjutan mengenai Pasal 229 ini. Namun selama ini, penggantian biaya sebagaimana bunyi pasal 229 ini banyak ditafsirkan sebagai penggantian biaya transport dan akomodasi.

Namun bagaimana jika yang dituntut saksi ahli adalah uang dalam jumlah besar, seperti yang terjadi pada Mun'im. Untuk terdakwa kasus korupsi kelas kakap, membayar seorang saksi ahli jelas tidak akan menjadi masalah.

Lalu, bagaimana dengan terdakwa yang bukan orang kaya seperti Pak De? Bagaimana pula kejaksaan harus meng-counter keterangan saksi ahli dari penasehat hukum terdakwa jika kejaksaan tidak mampu membayar saksi ahli?

Anggaran Kejaksaan atau Pengadilan?

Tarwohadi, Asisten Pidana Khusus (Aspidsus) pada Kejaksaan Tinggi DKI mengemukakan kepada hukumonline bahwa kejaksan tidak mempunyai pos untuk pengeluaran membayar saksi ahli. Menurutnya, penggantian biaya yang dimaksud dalam Pasal 229 KUHAP hanyalah penggantian biaya transportasi.

Menurut Tarwo, selama ini kejaksaan tidak pernah memberi bayaran bagi para saksi ahli yang mereka datangkan. "Karena merasa sebagai warganegara yang menjunjung tinggi hukum, maka ia merasa perlu datang. Selama ini, penggantian dana bagi saksi dialokasikan di pengadilan," ujar Tarwo.

Namun, Humas sekaligus hakim di PN Jakarta Selatan, Soedarto, mengatakan bahwa saat ini di pengadilan sudah tidak ada anggaran untuk biaya saksi pada perkara pidana. Menurut Sudarto, berdasarkan informasi yang diterimanya, saat ini anggaran untuk saksi itu ada pada kejaksaan. Alasannya, jaksalah yang memanggil saksi.

"Dulu, sekitar lima enam tahun yang lalu memang di pengadilan ada mata anggaran saksi untuk perkara pidana, tapi sekarang sudah beralih ke kejaksan," ujar Sudarto kepada hukumonline.  Biaya saksi yang dianggarkan pada saat itu dimaksudkan hanya untuk pengganti biaya transportasi saksi.

Standarisasi

Rudi Satrio, pengajar hukum pidana  FH UI, menyatakan bahwa tidak ada penjelasan lebih lanjut yang mengatur penggantian biaya bagi saksi ahli selain apa yang telah diatur dalam KUHAP. Menurut Rudi, jika saksi ahli harus melakukan penelitian yang membutuhkan biaya untuk memberikan kesaksian, maka sudah sewajarnya biaya itu diganti oleh pihak yang meminta keterangan ahli.

Baik Rudi maupun koleganya di FH UI, Harkristuti Harkrisnowo, sepakat bahwa harus ada ketentuan dan standarisasi yang mengatur biaya bagi saksi ahli. Pasalnya, saksi ahli harus dihargai sebagai seorang profesional yang telah mengorbankan waktu, uang dan tenaganya, serta menyumbangkan keahliannya. "Yang perlu diatur adalah berapa penggantian biaya yang wajar untuk seorang saksi ahli," ujar Rudi.

Pengaturan dan standarisasi ini juga untuk mencegah adanya ketimpangan hukum karena terdakwa atau JPU tidak dapat menghadirkan saksi ahli. Rudi mencontohkan kasus Robot Gedek. Robot yang tersandung kasus sodomi anak-anak ini tidak mampu menghadirkan saksi ahli di persidangan untuk bersaksi tentang kondisi kejiwaannya.

Walaupun Pasal 224 jo. Pasal 522 KUHP menyebutkan bahwa barangsiapa yang tidak memenuhi kewajiban sebagai saksi diancam pidana, menurut Rudi, ancaman pidana itu hanya berlaku jika saksi ahli tidak mau hadir di persidangan. "Jika saksi hadir tetapi menolak memberikan keterangan, maka saksi tersebut tidak bisa dikenai ancaman pidana," kata Rudi kepada hukumonline.

Rudi maupun Harkristuti mengaku pernah beberapa kali menjadi saksi ahli. "Kadang mendapat bayaran sekadar pengganti biaya transport, kadang hanya mendapat ucapan terimakasih," cetus Harkristuti kepada hukumonline.   

Kesaksian pesanan

Fenomena lain adalah adanya saksi ahli yang kabarnya isi kesaksiannya bisa dipesan oleh pihak yang meminta kesaksian. Ada seorang pakar hukum pidana senior yang ketika bersaksi di pengadilan terhadap terdakwa kasus korupsi, kesaksiannya malah meringankan terdakwa dan berbalik arah dari kesaksiannya di BAP. Padahal sang profesor ini adalah saksi dari JPU.

Ada pula pakar hukum tata negara, kebetulan profesor juga, yang menjadi saksi ahli dalam suatu perkara kepailitan. Sang pakar bersedia menjadi saksi ahli dalam perkara kepailitan itu karena pengacara dalam perkara itu pernah membelanya ketika perusahaan si pakar digugat pailit.

Adanya saksi ahli yang kesaksiannya bisa dipesan diakui pula oleh Harkristuti. Malah, ia sendiri pernah diminta bersaksi dan ditanya mau meminta bayaran berapa. Karena itu, Harkristuti mengaku  selama ini selalu menolak untuk menjadi saksi ahli untuk kasus personal, misalnya korupsi atau penggelapan. Ia hanya mau bersaksi untuk kasus yang menyangkut kepentingan publik maupun berkaitan dengan negara.

Tags: