Menahan Tersangka, Kewenangan Hakim Pemeriksa Pendahuluan
RKUHAP

Menahan Tersangka, Kewenangan Hakim Pemeriksa Pendahuluan

Untuk meminimalisir abuse of power.

RFQ
Bacaan 2 Menit
Menahan Tersangka, Kewenangan Hakim Pemeriksa Pendahuluan
Hukumonline

Aparat Polri dan Kejaksaan takkan lagi boleh langsung menahan seorang yang ditangkap. Pembatasan itu terjadi jika RUU KUHAP disahkan.

Demikian pandangan ketua tim perumus RKUHAP Andi Hamzah saat dimintakan pendapat dan masukannya di ruang Komisi III DPR, Rabu (10/4). “Jadi yang berhak menahan itu hakim pemeriksa pendahuluan,” ujarnya.

Perlu diketahui, hakim pemeriksa pendahuluan sebelumnya banyak ditulis dengan hakim komisaris. Banyak pula kewenangan lain yang melekat pada hakim pemeriksa pendahuluan dalam RKUHAP. Salah satunya mengenai penahanan.

Penyidik yang menahan seseorang tak langsung bisa ditahan. Penyidik harus membawa yang bersangkutan ke depan hakim pemeriksa pendahuluan. Penyidik, menurut Andi Hamzah, dapat menahan seseorang dalam keadaan terpaksa. Cara cepat itu dilakukan setelah penyidik melayangkan surat ke hakim pemeriksa pendahuluan.

Penegasan kewenangan hakim pemeriksa pendahuluan itu tertuang dalam Pasal 59 ayat (1) RKUHAP.

Ayat (1) menyatakan, “Penahanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 hanya dapat dilakukan berdasarkan surat perintah penahanan atau penetapan hakim terhadap tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidana atau melakukan percobaan atau pemberian bantuan terhadap tindak pidana yang diancam pidana dengan pidana lima tahun atau lebih”.

Anggota Komisi III DPR dari F-PPP, Achmad Dimyati Natakusuma berpendapat praktik penahanan perlu diatur secara jelas dan tegas. Sehingga, tak ada ruang atau celah bagi aparat kepolisian untuk menyalahgunakan kewenangannya dalam menahan seseorang.

Ia menilai, rumusan Pasal 59 RKUHAP sudah tepat. “Mekanismenya harus diatur sedemikian rupa. Kalau tersangka ingin ditahan ya harus dihadirkan ke depan hakim pemeriksa,” ujar politisi Partai Persatuan Pembangunan itu.

Rekan satu komisi dengan Dimyati, dari F-PKS, Indra menilai semangat keberadaan hakim pemeriksa untuk menyaring kesewenangan dan mencegah agar tidak terjadi abuse of power. Sudah menjadi rahasia umum, aparat Polri kerap melakukan tindakan asal tangkap. Bahkan salah tangkap.

Tindakan penahanan dalam UU No 8 Tahun 1981 tentang KUHAP sudah diatur. Pasal 21 ayat (1) menyebutkan “Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap seseorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaanya yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana”.

Namun dengan alasan subjektif aparat kepolisian maupun jaksa, pasal tersebut membuka celah aparat penegak hukum dalam sewenang-wenang melakukan penahanan. “Semangatnya ini positif, hakim pemeriksa pendahuluan targetnya meminimalisir untuk itu,” ujarnya kepada hukumonline sebelum menghadiri rapat paripurna, Kamis (11/4).

Lebih jauh, Indra berpandangan, konstruksi keberadaan hakim pemeriksa dalam RKUHAP perlu diatur agar aplikasi di lapangan menjadi realistis. Menurutnya, soal kewenangan penahanan perlu dipertegas dalam RKUHAP. Dikatakan Indra, berbagai kepentingan dari kepolisian, jaksa dan hakim saling tarik menarik.

Itu pula yang ia alami saat melakukan kunjungan kerja ke berbagai daerah menemui sejumlah stakeholders. Misalnya kata Indra, pihak kepolisian di daerah merasa aturan tersebut memperpanjang birokrasi. Namun Indra berpendapat, prosedur itu tetap harus diimplementasikan agar ada proses penyaringan kewenangan penahanan.

“Memang nanti kita akan mengatur ruang subjektifitas itu harus ada sesuatu yang terukur dan limitatif, tegas dan jangan sampai ada ruang untuk disalahgunakan. Tentu kami akan mendapat berbagai masukan bagaimana jalan tengah, dan harus ada fleksibilitas penegak hukum mengambil diskresi. Tapi juga harus ada kepastian hukum jangan sampai ada ruang untuk abuse of power,” pungkasnya.

Mengutip kata pembuka buku ”Hakim Komisaris dalam Sistem Peradilan di Indonesia”, Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) menguraikan, sejak diberlakukan Herziene Indische Reglement (HIR) dengan Staatsblad No. 44 Tahun 1941, istilah regter-commissaris tidak digunakan dalam sistem peradilan. Istilah ini lagi berganti saat Oemar Seno Adjie menjabat sebagai Menteri Kehakiman, yaitu ada hakim komisaris dalam konsep RKUHAP yang diajukan ke DPR pada tahun 1974.

Konsep hakim komisaris mirip dengan dengan konsep yang pernah ada dalam Reglement op de Strafvoerdering. Tetapi dalam perkembangannya, gagasan hakim komisaris tersebut kemudian dianulir oleh Sekretariat Negara yang kemudian diganti dengan lembaga pra-peradilan.

Tags:

Berita Terkait