Menagih Utang dengan Cara Intimidasi? Pelajaran Penting dari Dua Putusan Pengadilan
Utama

Menagih Utang dengan Cara Intimidasi? Pelajaran Penting dari Dua Putusan Pengadilan

Putusan Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung berimbas pada keberadaan debtcolletor. Pada dasarnya pengadilan memberikan pedoman penagihan utang secara benar dan beradab.

Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi penagihan utang atau kredit dari pengendara. Ilustrator: HGW
Ilustrasi penagihan utang atau kredit dari pengendara. Ilustrator: HGW

Putusan Mahkamah Konstitusi No. 18/PUU-XVII/2019 mengenai kekuatan eksekutorial jaminan fidusia telah memantik diskusi berkepanjangan. Tidak hanya kalangan hukum, tetapi juga bankir, perusahaan penjaminan, dan warga masyarakat. Masyarakat awam menghubungkan putusan itu dengan upaya menagih utang lewat pihak ketiga yang lazim dilakukan kreditor. Lantas, benarkah putusan Mahkamah Konstitusi itu menutup pintu sepenuhnya bagi debtcollector?

Di satu sisi, ada banyak peristiwa yang terekam kamera dan dapat diakses publik saat itu yang memperlihatkan perilaku kasar penagih utang. Tidak sedikit pula penagih utang yang melakukan tindakan intimidasi, mengeluarkan ancaman dan kata-kata kasar, atau tindakan memperlakukan debitor. Tindakan semacam itu sudah banyak dikeluhkan di media massa dan media sosial. Bagi satu dua orang yang melek hukum, mereka melakukan perlawanan atas tindakan sewenang-wenang petugas penagih utang.

Dalam konteks ini, orang lebih melihat pada tindakan sewenang-wenang dan main hakim sendiri yang dilakukan kreditor terhadap debitor. Kreditor, terutama melalui tangan pihak ketiga, melakukan tindakan yang berpotensi melanggar hak asasi manusia. Itu sebabnya, pengamat hukum perlindungan konsumen dari Universitas Islam Djakarta (UID), Abustan, melihat putusan Mahkamah Konstitusi dalam dua perspektif. Pertama, putusan Mahkamah Konstitusi memberi pelajaran kepada masyarakat bahwa siapapun tidak boleh main hakim sendiri (eigenrichting). Kedua, putusan Mahkamah Konstitusi menegaskan prinsip equality before the law, semia orang sama kedudukannya di depan hukum. “Hukum harus ditegakkan dan jangan ada bentuk kekerasan untuk menyelesaikan suatu masalah,” ujar mantan anggota Badan Perlindungan Konsumen Nasional itu kepada hukumonline.

Di sisi lain, siapapun tahu bahwa orang yang berutang wajib melunasi utangnya. Kalau ada faktor yang menyebabkan ketidakmampuan untuk membayar utang, tinggal disampaikan dan dibicarakan kepada orang yang berpiutang. Jika orang yang berutang tidak bersedia memenuhi kewajibannya sesuai diperjanjikan, maka susah sewajarnya mekanisme hukum yang berlaku. Pertanyaannya, bagaimana hukum mengatur mekanismenya? Dalam konteks inilah Pasal 15 ayat (2) dan ayat (3) UU No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia dipersoalkan.

Pasal ini menyebutkan bahwa sertifikat jaminan fidusia mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Jika debitor cidera janji, penerima fidusia mempunyai hak untuk menjual benda yang menjadi objek jaminan fidusia atas kekuasaannya sendiri. Ada tiga frasa penting yang menjadi fokus perhatian dalam sidang pengujian UU Jaminan Fidusia di Mahkamah Konstitusi: ‘kekuatan eksekutorial’; ‘sama dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap’; dan ‘cidera janji’.

Berkaitan dengan istilah pertama dan kedua, Mahkamah Konstitusi menyatakan frasa ‘kekuatan eksekutorial’ dan frasa ‘sama dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap’ bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai ‘terhadap jaminan fidusia yang tidak ada kesepakatan tentang cidera janji (wanprestasi) dan debitur keberatan menyerahkan secara sukarela objek yang menjadi jaminan fidusia, maka segala mekanisme dan prosedur hukum dalam pelaksanaan eksekusi Sertifikat Jaminan Fidusia harus dilakukan dan berlaku sama dengan pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap’.

Berkaitan dengan istilah ‘cidera janji’, Mahkamah Konstitusi menyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai bahwa ‘adanya cidera janji tidak ditentukan secara sepihak oleh kreditur melainkan atas dasar kesepakatan antara kreditur dengan debitur atas dasar upaya hukum yang menentukan terlah terjadinya cidera janji’.

Hakim Mahkamah Konstitusi, Enny Nurbaningsih, memberikan penegasan kepada hukumonline bahwa UU Jaminan Fidusia tidak memberikan kejelasan kapan cidera janji itu dihitung dan siapa yang berwenang menentukan telah terjadi cidera janji.

Jika mengikuti praktik yang terjadi selama ini, eksekusi jaminan fidusia oleh debtcollector di lapangan, acapkali menimbulkan kesewenang-wenangan, penarikan kendaraan misalnya tidak disertai bukti-bukti terjadinya cidera janji.

Mahkamah Konstitusi berada dalam posisi menginginkan kejelasan kapan terjadinya cedera janji. “Dalam pertimbangan putusan MK itgu sudah jelas bahwa cidera janji harus dibuat para pihak. Kalau para pihak tidak sepakat harus ada upaya hukum melalui putusan pengadilan,” jelasnya kepada hukumonline.

(Baca juga: MK: Eksekusi Jaminan Fidusia untuk Menghindari Kesewenangan Debitur).

Pemohon pengujian UU Jaminan Fidusia adalah suami isteri warga Bekasi. Tetapi jumlah orang yang merasa dirugikan oleh penarikan paksa bendera bergerak oleh debtcollector di jalanan lebih dari dua orang. Data yang masuk ke YLKI mungkin dapat dijadikan rujukan. Pada 2019, YLKI menerima 1.871 aduan terdiri dari 563 aduan individual, dan 1.308 kasus kolektif atau kelompok. Ternyata, pengaduan konsumen atas produk jasa finansial mencapai 46,9 persen), yang meliputi lima komoditas yakni bank, uang elektronik, asuransi, leasing, dan pinjaman daring. Tulus Abadi, Ketua Pengurus Harian YLKI, melihat data sebagai gambaran pengawasan oleh otoritas yang masih bermasalah, dalam hal ini Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Sebenarnya, OJK sudah menaruh perhatian juga pada persoalan ini. Setidaknya, dapat dibaca dari Peraturan OJK No. 35/POJK.05/2018 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Pembiayaan. Peraturan ini selain mengatur mitigasi risiko, juga mengatur cara penagihan. Misalnya ditentukan penagihan dilakukan minimal dilakukan dengan surat peringatan. Dalam penagihan, perusahaan pembiayaan dapat melakukan kerjasama dengan pihak ketiga untuk melakukan fungsi penasihan. Tetapi perlu digarisbawahi bahwa perusahaan pembiayaan tidak dapat melepaskan tanggung jawab atas dampak yang ditimbulkan dari kerjasama dengan pihak lain tersebut.

Putusan MA: Hindari Intimidasi dan Premanisme

Dalam perspektif hukum perlindungan konsumen, Abustan, menilai positif putusan Mahkamah Konstitusi. Putusan ini setidaknya mendorong perusahaan pembiayaan, bank, dan pihak-pihak terkait untuk melakukan penataan terkait penagihan utang, termasuk menggunakan jasa pihak ketiga (debtcollector). “Masalah yang membelit konsumen tersebut menimbulkan pertanyaan tentang tata kelola penasihan yang dilakukan oleh pelaku usaha melalui peran debtcollector yang dianggap sudah tidak on the track lagi secara hukum. Bahkan dalam praktek kita jumpai sudah di luar batas kemanusiaan,” paparnya kepada hukumonine.

Pernyataan Abustan tentang pentingnya melalui jalur hukum secara benar ketika menagih utang atau kredit sebenarnya tak hanya tercermin dalam putusan Mahkamah Konstitusi, tetapi juga Mahkamah Agung. Jauh sebelum Mahkamah Konstitusi menjatuhkan putusan tentang Pasal 15 ayat (2) dan (ayat (3) UU Jaminan Fidusia, Mahkamah Agung sudah memberikan ‘warning’ kepada pelaku usaha yang melakukan penagihan kredit melalui cara-cara intidasi dan premanisme.

Pada Oktober 2013 lalu, Mahkamah Agung pernah menghukum bank dan pihak lain yang digugat untuk membayar secara renteng ganti rugi kepada penggugat sebesar Rp1 miliar. Para tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum ketika melakukan penagihan kredit dengan cara-cara teror dan intimidasi. Dalam pertimbangan majelis hakim kasasi yang memutus perkara No. 3192K/Pdt/2012 itu dapat diangkat suatu kaidah hukum. “Bahwa tindakan Tergugat I dalam melakukan penagihan kredit adalah tindakan tidak professional karena mengutamakan penggunaan pendekatan intimidasi dan premanisme daripada pendekatan lain yang mendudukkan nasabah sebagai partner bank, dan oleh karena itu adalah layak dan adil apabila Tergugat dijatuhi hukuman untuk membayar ganti rugi kepada Penggugat yang lebih berat”.

Sukarela atau tidak?

Masalah kesukarelaan debitor untuk menyerahkan barang yang menjadi objek jaminan fidusia juga disinggung dalam putusan Mahkamah Konstitusi. Mahkamah menyatakan jika debitor selaku pemberi hak fidusia mengakui adanya cidera janji dan secara sukarela menyerahkan benda yang menjadi objek jaminan fidusia, maka menjadi kewenangan sepenuhnya bagi penerima fidusia (kreditor) untuk melakukan eksekusi sendiri (parate eksekusi).

Sebaliknya, jika debitor tidak mengakui adanya cidera janji atau wanprestasi dan keberatan untuk menyerahkan secara sukarela benda yang menjadi objek dalam perjanjian fidusia, maka kreditor tidak boleh melakukan eksekusi sendiri. Menurut Mahkamah kreditor harus mengajukan permohonan pelaksanaan eksekusi ke pengadilan negeri. “Dengan demikian hak konstitusionalitas pemberi hak fidusia (debitur) dan penerima hak fidusia (kreditur) terlindungi secara seimbang,” demikian antara lain pertimbangan Mahkamah Konstitusi.

Berkaitan dengan masalah ini, menurut Abustan, pelajaran penting yang dapat ditarik adalah bahwa siapapun tidak boleh sembarangan dan secara sepihak tanpa bukti menuduh seseorang melakukan kesalahan, atau dalam konteks ini cidera janji. “Untuk mengatakan apakah seseorang bersalah atau tidak, haruslah melalui putusan pengadilan. Itulah makna esensial putusan Mahkamah,” ujarnya.

Tags:

Berita Terkait