Menagih Maaf Amerika Serikat dan Pelaku Pembantaian 1965
Senyap: The Look of Silence

Menagih Maaf Amerika Serikat dan Pelaku Pembantaian 1965

Karya Joshua Oppenheimer setelah The Act of Killing (Jagal).

ALi
Bacaan 2 Menit
Adi Rukun (Tengah) pada pemutaran perdana film Senyap: The Look of Silence di Bioskop Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Senin (10/11). Foto: RES.
Adi Rukun (Tengah) pada pemutaran perdana film Senyap: The Look of Silence di Bioskop Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Senin (10/11). Foto: RES.

Adi Rukun serius menatap televisi. Dia sedang menonton rekaman percakapan dua pria. Kedua pria itu adalah pelaku pembantaian orang-orang yang diduga kader atau simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) pada 1965. Adi serius menyimak penjelasan bagaimana mereka membantai korban. Hatinya seperti teriris, karena abangnya, Ramli merupakan salah seorang korban yang dibantai itu.

Adegan itu bisa ditemui di film “Senyap: The Look of Silence” karya Sutradara asal Amerika Serikat Joshua Oppenheimer yang diputar pertama kali di Bioskop Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, Senin (10/11). Ini merupakan film dokumenter kedua Joshua mengenai pembantaian 1965, setelah “The Act of Killing (Jagal)”.

Bila pada film “The Act of Killing” lebih banyak ditampilkan dari sisi pelaku pembantaian, di film “Senyap: The Look of Silence” ini menggunakan perspektif korban. Ya, Joshua mengangkat tema Adi Rukun (dan keluarganya) yang harus bertahun-tahun hidup berdampingan dengan pembunuh abangnya, yang tetap berlenggang tanpa proses hukum.

Di film ini, Adi “berlagak” sebagai penjual kaca mata mendatangi para pelaku dan komandan pembantaian di kampungnya, di Deli Serdang, Sumatera Utara. Di sela-sela memeriksa mata para pelaku pembantaian yang sudah tua, Adi mencoba menggali informasi seputar pembantaian 1965.

Cerita film ini semakin menarik ketika Adi akhirnya mengaku bahwa dirinya adalah adik dari orang yang diduga PKI yang dibantai itu. Apalagi, beberapa pelaku pembantaian itu menduduki posisi penting di pemerintahan dan dianggap sebagai tokoh masyarakat sekitar. Reaksi mereka pun hampir seragam. Tak ada kata penyelesaian dan maaf keluar dari mulut mereka. “Yang lalu, biarlah berlalu,” begitu ucapan mereka.

Sang Sutradara Joshua Oppenheimer memang tidak hadir dalam pemutaran premier film ini. Dia sedang menghadiri pemutaran film ini di Denmark Film Festival pada waktu yang sama. Namun, Joshua hadir di Indonesia melalui secarik surat yang ditulisnya, dibacakan oleh pembaca acara Bonnie Triyana.

Joshua menyatakan masalahnya bukan “yang lalu biarlah berlalu”, tetapi bagaimana para pelaku mau mengakui kesalahannya dan meminta maaf, sehingga bisa terwujud rekonsiliasi. Joshua tak hanya merujuk ke pelaku lapangan, tetapi juga mereka yang terlibat.

Ia mencontohkan bagaimana film Jagal bisa menarik perhatian dunia. Bahkan, lanjutnya, anggota Kongres Amerika Serikat (AS) pernah mendesak agar Amerika Serikat – negara asal Joshua sendiri – untuk mengakui keterlibatannya. “Amerika Serikat dan Inggris yang berperan dalam peristiwa ini harus mengakui perannya, salah satunya dengan mendukung rezim Orde Baru yang dibuatnya,” sebut Joshua dalam suratnya.

Joshua boleh jadi benar. Pasalnya, di film itu, beberapa pelaku menunjuk Amerika Serikat sebagai aliansi pemerintah Orde Baru saat itu. “Amerika Serikat yang mengajari kami bagaimana melawan komunis,” ujar salah seorang pelaku sebagaimana terekam di film yang didukung oleh Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) dan Komnas HAM.

Bahkan, ada pelaku yang terang-terangan menuntut penghargaan dari AS atas aksi yang mereka lakukan kepada orang-orang yang diduga sebagai pendukung PKI. “Seharusnya kami angkatan 66 ini diberikan penghargaan. Seharusnya kami diundang ke Amerika. Kalau tidak naik pesawat, naik kapal laut pun jadi,” seloroh pelaku yang lain.

Para korban, termasuk Adi Rukun tentu miris mendengar itu. Adi mengatakan bahwa yang membuatnya kesal dan benci bukan hanya peristiwa pembantaian itu, tetapi bagaimana pelaku tidak mau menyampaikan penyesalan dan permohonan maaf sedikit pun. Bahkan, mereka mengaku sebagai pahlawan bangsa dan penjaga ideologi negara.

“Harapan saya mereka mau mengakui itu salah. Itu tidak saya dapatkan. Saya hanya mendapatkan kata maaf dari anak salah seorang pelaku. Itu yang paling saya benci. Jangankan minta maaf, menyesal sedikit pun tidak ada,” ujar Adi yang hadir dalam pemutaran film ini.

Adi memang tak memperoleh apa yang diinginkannya. Namun, ia lah bintang dalam film ini. Ketika orang yang terlibat dalam film ini menyembunyikan identitasnya, seperti asisten sutradara yang disebut “anonim”, Adi berani tampil membuka luka lama dengan segala resiko yang bisa menimpa diri dan keluarganya. 

Tags:

Berita Terkait