Menagih Janji Keadilan Bagi Penyandang Disabilitas Sebagai Pekerja
Utama

Menagih Janji Keadilan Bagi Penyandang Disabilitas Sebagai Pekerja

Hak kuota satu persen di perusahaan swasta dan dua persen di lembaga-lembaga plat merah, termasuk BUMN dan BUMD.

Normand Edwin Elnizar
Bacaan 2 Menit
Foto: RES
Foto: RES

Perusahaan swasta wajib mempekerjakan paling sedikit satu persen penyandang disabilitas dari jumlah pegawai atau pekerja. Pada saat yang sama, ada hak insentif seperti kemudahan izin usaha bagi perusahaan swasta yang melaksanakannya. Namun belum ada ketegasan soal pelaksanaan kewajiban tersebut.

 

“Baru dua Peraturan Pemerintah yang disahkan untuk pelaksanaan UU No.8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas (UU Disabilitas), selebihnya masih dibahas,” kata Fajri Nursyamsi, peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) kepada Hukumonline, Selasa (3/12). Kemarin bertepatan dengan peringatan Hari Disabilitas Internasional

 

Fajri menilai belum ada upaya implementasi yang efektif dari pemerintah soal hak-hak penyandang disabilitas. Padahal hak-hak tersebut dijamin konstitusi masing-masing setidaknya di pasal 28H ayat 2, pasal 28I ayat 1 dan ayat 2 serta pasal 28J UUD 1945. UU Disabilitas pun telah tiga tahun berlaku sejak disahkan Presiden Joko Widodo pada 15 April 2016.

 

“Pengusaha dan asosiasi pengusaha pun belum pasti memahami pasal UU Disabilitas itu,” kata Fajri merujuk pasal 53 ayat 2 UU Disabilitas. Pasal tersebut berbunyi Perusahaan swasta wajib mempekerjakan paling sedikit 1% (satu persen) Penyandang Disabilitas dari jumlah pegawai atau pekerja.

 

Sebenarnya ada janji insentif dari pemerintah untuk mendorong pelaksanaannya alih-alih memberikan sanksi. Beberapa bentuk insentif yang dijanjikan pasal 54 ayat 1 UU Disabilitas adalah kemudahan perizinan, penghargaan, hingga penyediaan fasilitas kerja yang mudah diakses. Sayang sekali Peraturan Pemerintah yang mengatur insentif tersebut belum juga diterbitkan.

 

Tidak hanya kepada perusahaan swasta, pasal 53 ayat 1 UU Disabilitas bahkan mewajibkan yang sama untuk Pemerintah, Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara, dan Badan Usaha Milik Daerah. Bahkan jumlahnya lebih banyak: paling sedikit dua persen penyandang disabilitas dari jumlah pegawai atau pekerja.

 

Belum terbitnya Peraturan Pemerintah soal insentif dinilai Fajri memang berpengaruh pada sikap perusahaan swasta. Meskipun tetap ada cara lain untuk mendorong pemenuhan hak penyandang disabilitas dalam memperoleh pekerjaan. “Pemerintah, Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara, dan Badan Usaha Milik Daerah dulu yang konsisten mencontohkan kepada perusahaan swasta,” kata Fajri.

 

Ia mengakui sudah ada upaya menyerap penyandang disabilitas lewat kuota penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS). Namun belum ada data yang diungkap ke publik apakah jumlah paling sedikit dua persen itu dipenuhi dengan cara yang tepat.

 

Baca:

 

Masalah Akses Informasi

Boy Gemino Kalauserang, Group Legal Head PT. Pamapersada Nusantara, berbagi pengalamannya kepada Hukumonline. Tanpa mempersoalkan insentif apa yang akan didapat, perusahaannya telah mencoba menunaikan kewajiban dalam UU Disabilitas. Hanya saja, tidak mudah untuk menemukan penyandang disabilitas yang sesuai dengan kebutuhan perusahaan.

 

“Kami coba mencari ke kampus. Tapi universitas tidak terbuka soal datanya kepada publik walaupun dalam rangka menyerap calon pegawai,” kata Boy. Pihak kampus yang ditemuinya tidak cukup membantu untuk berbagi informasi yang dibutuhkan. Padahal Boy berusaha merekrut penyandang disabilitas berdasarkan kompetensinya.

 

“Tentu kami ingin menempatkan penyandang disabilitas sesuai kebutuhan khusus mereka dan kompetensinya. Tidak mungkin memaksakan disabilitas fisik di area pertambangan misalnya,” ujar Boy.

 

Meskipun begitu usaha Boy tidak sia-sia. Ia bisa menemukan Muhammad Karim Amrullah, alumni Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (FH UGM) untuk menjadi stafnya. Karim kini menjabat salah satu in house counsel PT. Pamapersada Nusantara.

 

Kondisi khusus Karim adalah disabilitas daksa pada punggung dan jari tangannya. Di sisi lain, Karim lulus dari FH UGM hingga jenjang magister dengan prestasi dan kompetensi yang baik. Ia lolos seleksi kompetensi untuk bekerja sebagai in house counsel PT.Pamapersada Nusantara.

 

Karim berbagi ceritanya saat aktif di Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Peduli Difabel selama kuliah di UGM. UKM Peduli Difabel dirintis sejak 2011 atas inisiatif mahasiswa dan dosen untuk mewujudkan kampus UGM yang inklusif. Anggotanya adalah mahasiswa penyandang disabilitas dan nondisabilitas yang mendaftarkan diri. “Kami bekerja sama dengan Rektorat untuk mewadahi dan mendata mahasiswa difabel, resmi berdiri menjadi UKM tahun 2013,” kata Karim.

 

Karim mengakui bahwa UU Disabilitas telah memberikan paradigma jauh lebih baik dibandingkan UU No.4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat. Hanya saja pemahaman dan pemenuhan kebutuhan khusus penyandang disabilitas dalam mengakses lapangan kerja masih belum banyak berubah.

 

“Sebelumnya saya pernah ditolak CPNS lewat formasi disabilitas fisik, tapi dinyatakan tidak lolos karena tidak memenuhi syarat fisik,” katanya sambil tertawa. Saat itu Karim diminta tetap mengikuti tes fisik yang tidak jauh berbeda dengan pelamar nondisabilitas. Hal ini menunjukkan di lembaga pemerintahan pun belum menempatkan penyandang disabilitas secara tepat.

 

Baca:

 

Peran Pemerintah dan Kampus

Mengenai peran pemerintah, Fajri menegaskan bukan dalam bentuk rasa kasihan apalagi diminta memberikan pekerjaan khusus. “Kewajibannya adalah menyediakan akses sesuai kondisi khusus mereka, agar mereka bisa memilih pekerjaan sesuai kemampuan dan minatnya,” ujar Fajri.

 

Sedangkan peran kampus atau lembaga pendidikan adalah menyediakan akses pendidikan dan informasi pekerjaan sesuai kondisi mahasiswa penyandang disabilitas. “Jadi semua mahasiswa bisa mendapatkan informasi peluang yang sama,” kata Fajri. Tidak ada alasan bagi kampus merahasiakan data alumni atau mahasiswanya yang penyandang disabilitas dalam rangka memfasilitasi akses kepada pekerjaan.

 

Susilo Andi Darma, dosen hukum ketenegakerjaan FH UGM yang juga Pembina UKM Peduli Difabel UGM mengakui belum ada unit khusus layanan disabilitas di UGM. UKM Peduli Difabel menjadi satu-satunya mitra Rektorat dan seluruh fakultas untuk mendata serta melayani mahasiswa penyandang disabilitas.

 

Ketika ditanya soal jumlah mahasiswa penyandang disabilitas, Andi mengaku data mahasiswa penyandang disabilitas di UGM tertutup diketahui publik. “Paradigma UGM masih tertutup untuk membuka informasi tentang mahasiswanya yang penyandang disabilitas,” katanya.

 

Berbeda dengan penuturan Arman Nefi, Direktur Kemahasiswaan di Universitas Indonesia (UI). Ia menyebutkan ada 132 mahasiswa penyandang disabilitas per tahun 2019 di UI. Unit khusus layanan disabilitas berada langsung di bawah Direktorat Kemahasiswaan yang dipimpinnya.

 

Asesmen kebutuhan mahasiswa penyandang disabilitas dilakukan bersamaan dengan tes kesehatan bagi semua mahasiswa baru. Segala penyesuaian kebutuhan bagi mereka dilakukan sejak awal diterima sebagai mahasiswa. “Selama dikomunikasikan tentu kami upayakan, ini amanat undang-undang, dan tidak hanya bagi mahasiswa tapi seluruh pegawai penyandang disabilitas di UI juga,” kata Arman yang juga dosen di Fakultas Hukum UI.

 

Rata-rata ada 16 sampai 20 orang penyandang disabilitas yang diterima di UI setiap tahun. Ada jalur ujian penerimaan bagi penyandang disabilitas yang dibuka oleh UI. “Peminatnya juga banyak dan cukup ketat persaingannya,” kata Arman.

 

Mengenai data mahasiswa dan alumni penyandang disabilitas, UI sangat terbuka tanpa merasa perlu dirahasiakan. Apalagi jika untuk membuka akses peluang terserap ke pasar kerja. “Prestasi mereka di UI bagus, bahkan banyak yang punya keunggulan melampaui mahasiswa nondisabilitas,” ujar Arman.

Tags:

Berita Terkait