Memproyeksikan Dua Potensi Putusan Majelis Kehormatan MK
Utama

Memproyeksikan Dua Potensi Putusan Majelis Kehormatan MK

Secara hukum positif, majelis kehormatan tidak bisa menjatuhkan sanksi berupa membatalkan putusan MK. Bila MKMK tak membatalkan putusan 90/PUU-XXI/2023, bisa saja MKMK dalam putusannya meminta MK memeriksa kembali perkara yang sama dengan komposisi hakim konstitusi yang berbeda.

Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Dosen Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera, Bivitri Susanti. Foto: RES
Dosen Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera, Bivitri Susanti. Foto: RES

Proses persidangan etik atas dugaan pelanggaran etik dan perilaku hakim yang digelar Mahkamah Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) terus bergulir. Setidaknya jumlah laporan dari masyarakat bertambah menjadi 21 perkara. Tapi nantinya, putusan MKMK bukanlah sebanyak jumlah laporan, namun sesuai dengan hakim konstitusi yang dilaporkan.

“Putusan sesuai dengan terlapor ada 9 hakim,” ujar Ketua MKMK, Prof Jimly Asshiddiqie  dalam persidangan perkara No.21, 14/MKMK/L/ARLP/X/2023, di gedung MK, Jumat (3/11/2023).

Ada sejumlah laporan yang diadukan dari sejumlah pelapor yang memiliki perbedaan masing-masing aduan. Seperti adanya hubungan kekerabatan sehingga hakim konstitusi yang bersangkutan harusnya mundur dalam memeriksa perkara. Kemudian ada pelapor yang mengadukan hakim konstitusi berbicara di depan publik mengenai isu dalam perkara yang ditangani.

Bahkan, laporan soal adanya hakim konstitusi yang kesal kemudian mengungkap masalah kepada publik, padahal urusan internal MK seharusnya tidak mengumbar ke luar. Soal sanksi yang dapat dijatuhkan kepada hakim konstitusi sebagai terlapor, Prof Jimly menyebut sesuai Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) No.1 Tahun 2023 tentang Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi, ada 3 jenis sanksi.

Baca juga:

Yakni teguran lisan, teguran tertulis, atau pemberhentian tidak dengan hormat. Tapi Prof Jimly menyebut tak menutup kemungkinan ada variasi putusan MKMK misalnya pemberhentian dengan hormat, pemberhentian dari posisi Ketua dan lainnya.  “Tunggu saja kreatifitas MKMK, ini lembaga penegak etik, kita tidak menilai putusan MK, kalau bisa meyakinkan MKMK dengan logis, masuk akal, why not,” imbuhnya.

Dosen Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera, Bivitri Susanti, mengatakan setidaknya ada 2 kemungkinan hasil putusan MKMK terhadap laporan yang diadukan pelapor. Terutama yang mengadukan Ketua MK Anwar Usman dalam perkara syarat usia calon Presiden dan Wakil Presiden (Capres-Cawapres).

Pertama, jika MKMK tidak membatalkan putusan 90/PUU-XXI/2023, tapi bisa saja dalam putusan itu Majelis Kehormatan meminta MK memeriksa kembali perkara yang sama. Tentu saja dengan komposisi hakim konstitusi yang berbeda, karena asumsinya Ketua MK sudah dicopot dari jabatan struktural maupun hakim konstitusi. Dalam aturan, 8 hakim konstitusi yang tersisa bisa menggelar persidangan tersebut.

Kedua, jika MKMK tidak menjatuhkan sanksi pelanggaran etik, bagi Bivitri hal itu mengonfirmasi apa yang menjadi diskusi kalangan masyarakat sipil selama ini. Yakni, negara hukum dalam bahaya karena MK diseret tak lagi menjadi ‘wasit’ yang netral, tapi menjadi pemain. Alhasil, masyarakat semakin tidak mempercaya terhadap lembaga hukum.

“Kami yakin terjadi pelanggaran etik berupa benturan kepentingan. Kami minta pemberhentian dengan tidak hormat untuk Anwar Usman,” ujarnya dikonfirmasi, Jumat (3/11/2023).

Tidak bisa membatalkan putusan

Dekan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Aan Eko Widiarto, mengingatkan secara hukum positif MKMK tidak bisa menjatuhkan sanksi berupa pembatalan putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023. Pasalnya secara gamblang dalam PMK 1/2023 hanya mengatur 3 jenis sanksi pelanggaran etik.

Aan bependapat sangat berisiko jika putusan MK terlalu mudah diintervensi. Misalnya, MKMK membatalkan putusan MK, kemudian di masa mendatang berpotensi ada persoalan serupa, dan tak menutup kemungkinan potensi ada rekayasa. Sehingga, putusan MK bisa batal melalui cara yang sama. Akibatnya putusan MK tak lagi bisa sesuai mandat konstitusi yakni final dan mengikat.

“Ini akan menjadi persoalan besar ke depan. Boleh ada out of the box (terobosan oleh MKMK,-red), tapi kalau dibiarkan di luar hukum (di luar MK,-red) dikhawatirkan dampaknya ke depan menjadi destruktif,” paparnya.

Menurut Aan lebih baik MK memeriksa permohonan yang baru apalagi sudah ada permohonan yang masuk untuk menguji pasal 169 huruf q UU No.7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang normanya telah diubah MK melalui putusan No.90/PUU-XXI/2023. Melalui permohonan itu MK akan memeriksa kembali perkara yang menjadi polemik atau boleh jadi nanti MKMK sudah memutus ada pelanggaran etik dan sanksinya diberhentikan.

“Maka ada komposisi baru hakim konstitusi dalam memeriksa perkara itu, dan perubahan pendirian MK dimungkinkan lebih soft karena MK sendiri yang melakukan, bukan lewat intervensi,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait