Mempertanyakan Urgensi PPHN Lewat Amendemen Konstitusi
Utama

Mempertanyakan Urgensi PPHN Lewat Amendemen Konstitusi

Kecenderungan politisi mengunakan cara pandang legalistik konstitusional. Akibatnya berbagai permasalahan konstitusional ditimpakan pada teks dan norma konstitusi yang harus diamendemen. Disarankan untuk mengakomodir PPHN dengan cara mengubah Tap MPR yang masih berlaku, bukan melalui amendemen konstitusi.

Rofiq Hidayat
Bacaan 4 Menit
Mantan Ketua MK Hamdan Zoelva (kiri) dalam kuliah umum secara virtual bertajuk 'Membangun Budaya Konstitusi Untuk Penguatan Demokrasi Indonesia', Selasa (14/9/2021). Foto: RFQ
Mantan Ketua MK Hamdan Zoelva (kiri) dalam kuliah umum secara virtual bertajuk 'Membangun Budaya Konstitusi Untuk Penguatan Demokrasi Indonesia', Selasa (14/9/2021). Foto: RFQ

Rencana amendemen kelima UUD Tahun 1945 secara terbatas untuk memasukan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) terus menjadi perbincangan hangat di masyarakat. Badan Pengkajian Majelis Permusyawaratan Rakyat (BP MPR) pun telah memberikan tiga opsi atas hasil kajiannya soal payung hukum PPHN. Namun, rencana amendemen kelima UUD Tahun 1945 terbatas ini justru dinilai berpotensi menimbulkan konflik konstitusional.

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) periode 2013-2015, Hamdan Zoelva menilai menghidupkan kembali Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) atau dengan istilah baru disebut PPHN berpotensi munculnya konflik konstitusional. Dia menyampaikan dua catatan terkait persoalan ini. Pertama, adanya kebutuhan PPHN dalam menjamin kesinambungan program-program pembangunan.

Dahulu, GBHN diperlukan agar dapat menjamin kesinambungan pembangunan. Agar dapat terbit sebagai produk hukum formal, PPHN harus ditetapkan oleh MPR, sehingga mengharuskan adanya perubahan UUD 1945 terkait penambahan wewenang MPR. Sebab, MPR sejak era reformasi dengan beberapa kali amendemen konstitusi, tak lagi memiliki kewenangan menetapkan GBHN. Konsekuensinya, MPR sama halnya dengan lembaga tinggi negara lain.

“Persoalannya, apakah untuk menjamin kesinambungan pembangunan harus dengan PPHN yang ditetapkan MPR? Ini pertanyaan mendasar,” ujar dalam kuliah umum secara virtual bertajuk “Membangun Budaya Konstitusi Untuk Penguatan Demokrasi Indonesia”, Selasa (14/9/2021). (Baca Juga: Banyak Mudarat Bila Jabatan Presiden 3 Periode)

Kedua, cara berpikir banyak politisi dan birokrat, yang mengharuskan adanya cantolan hukum terkait kewenangan MPR menetapkan PPHN dalam konstitusi. Sebab, produk hukum PPHN harus ditetapkan MPR agar dapat dilaksanakan. Namun, lagi-lagi Hamdan Zoelva mempertanyakan apakah ada jaminan dengan membuat dan memberikan kewenangan MPR menetapkan PPHN, pembangunan dapat berjalan berkesinambungan?

Menurutnya, hal tersebut bukanlah persoalan hukum, tapi soal budaya konstitusi. Sebab, ketika membahas efektivitas, norma hukum konstitusi justru bicara budaya konstitusi. Sedangkan budaya konstitusi tak melulu bicara soal konstitusional teks. “Apakah dengan kewenangan MPR itu dapat menjamin masalah kesinambungan pembangunan?”

Bagi sebagian kalangan politisi, amendemen konstitusi menjadi keharusan dan satu-satunya jalan mengatasi persoalan tersebut. Hamdan menilai hal tersebut sebagai cara pandang legalistik konstitusional. Yakni, persoalan norma konstitusi mesti dikembalikan pada cara pandang yang mengharuskan mengubah konstitusi dengan memberikan kewenangan kepada MPR.

“Apakah tidak ada pendekatan lain untuk menjamin kesinambungan pembangunan selain amandemen konstitusi? Ini pertanyaan mendasar lain yang perlu direnungkan terkait PPHN,” lanjutnya.

Menurutnya, sejumlah persoalan kerap menggunakan pendekatan aspek legal substansi. Akibatnya berbagai permasalahan konstitusional ditimpakan pada teks dan norma konstitusi yang harus diubah ataupun direformulasi. Bahkan, peran pengadilan yakni Mahkamah Konstitusi yang memberi tafsir atas problem konstitusional tidak menjadi pilihan.

“Cara berpikir inilah yang saya sebut sebagai cara berpikir yang tidak imbang hanya memandang hukum dari norma yang ada dalam teks dan tidak melihat pada aspek lain dari hukum yaitu dalam kontek bekerjanya kerangka budaya dalam mengatasi problem atau konflik konstitusional,” katanya.

Belum mendesak

Terpisah, Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Parahyangan, Prof Asep Warlan Yusuf menilai keberadaan GBHN bagi Indonesia saat ini memang penting, tapi belum mendesak dan tidak dalam kondisi darurat. Setidaknya terdapat hal yang perlu dijabarkan dalam konsep haluan negara. Pertama, bagaimana memantapkan ideologi Pancasila. Kedua, bagaimana membangun demokrasi yang beradab. Ketiga, mewujudkan negara hukum yang berkeadilan. Keempat, mewujudkan negara kesejahteraan. Kelima, bagaimana menata kelembagaan negara.

“Haluan negara itu penting karena kita membuat aturan dasar negara, seperti ideologi, negara demokrasi, dan hak asasi manusia (HAM). Kemudian juga untuk membuat aturan sebagai negara hukum yang berkeadilan, kesejahteraan rakyat, dan menata soal kelembagaan negara,” ujarnya.

Meski menyetujui payung hukum PPHN dalam bentuk ketetapan (Tap) MPR, namun tidak dengan cara mengamendemen konstitusi. Menurutnya, menjadi kurang pas bila amendemen hanya sebatas kepentingan bagi haluan negara. Sebab, amendemen perlu argumentasi yuridis dan filosofis yang sangat kuat. “Alasan memasukkan haluan negara dalam amendemen UUD adalah kurang kuat dan kurang tepat. Tidak ada dasar dan alasan kuat untuk mengubah UUD saat ini,” kata dia.

Untuk itu, dia menyarankan untuk mengakomodir PPHN dengan cara mengubah Tap MPR yang masih berlaku. Misalnya, TAP MPR Nomor XVI/MPR/1998 TAHUN 1998 tentang Demokrasi Ekonomi; TAP MPR Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa dan Bernegara; TAP MPR Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.

“Tap MPR itu sebenarnya adalah haluan negara. Jadi, jalan keluarnya tidak harus dengan melakukan perubahan atau amendemen UUD, melainkan ubah saja Tap-Tap MPR yang ada,” katanya.

Sementara Ketua Badan Pengkajian MPR Djarot Saiful Hidayat menegaskan kehadiran PPHN menjadi urgen bagi bangsa Indonesia. Sebab, PPHN amat penting menjadi road map bagi wajah pembangunan Indonesia 25 hingga 50 tahun ke depan. Sebaliknya, ketiadaan haluan negara berdampak terhadap ketidakselarasan antara visi dan misi pemerintah daerah tingkat kabupaten, provinsi, maupun pemerintah pusat/presiden. “Selain itu tidak ada keberlanjutan dan kesinambungan pembangunan,” klaim.

Menurutnya, BP MPR telah memberikan hasil kajiannya ke pimpinan MPR soal payung hukum bagi PPHN. Salah satu rekomendasinya, bentuk hukum bagi PPHN yang terbaik melalui Ketetapan MPR. Karenanya, mengharuskan MPR melakukan amendemen konstitusi terkait dengan Pasal 3 dan Pasal 23 UUD 1945. Yakni dengan menambahkan kewenangan MPR dalam merumuskan, menetapkan, dan mengubah PPHN.

“Kita (Badan Pengkajian, red) tidak pernah mengkaji pasal-pasal lain di luar Pasal 3 UUD 1945,” kata politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu.

Tags:

Berita Terkait