Mempertanyakan Tanggung Jawab Pemerintah dan Korporasi dalam Karhutla
Berita

Mempertanyakan Tanggung Jawab Pemerintah dan Korporasi dalam Karhutla

Pemerintah dan korporasi dinilai abai mengantisipasi karhutla. Masyarakat menjadi pihak paling dirugikan akibat kejadian ini.

Mochamad Januar Rizki
Bacaan 2 Menit

 

“Jelas bahwa karhutla di berbagai daerah di Pulau Sumatera dan Pulau Kalimantan sudah menimbulkan keadaan darurat pencemaran udara. Selain berupaya menghentikan karhutla, pemerintah pusat dan daerah harus segera mengevakuasi masyarakat ke daerah dengan kualitas udara yang aman. Paparan pencemar udara seperti PM2.5 dengan konsentrasi ratusan hingga ribuan mikrogram per meter kubik merupakan tingkat yang berbahaya bagi semua populasi dan dapat mengakibatkan berbagai penyakit yang dapat berujung pada kematian dini. Tentu ini adalah dampak yang sangat signifikan dan tidak bisa dikesampingkan,” ujar Fajri.

 

Sayangnya, Fajri menambahkan masih ada yang menganggap karhutla ini merupakan bencana alam tanpa unsur kelalaian manusia. Padahal, karhutla yang terjadi di beberapa wilayah saat ini terjadi karena faktor kelalaian dalam perencanaan pemanfaatan lahan dan upaya pencegahan. Sebab, pendekatan yang digunakan oleh pemerintah untuk mengatasi karhutla masih sebatas penanggulangan dan penegakan hukum. Fungsi pencegahan dan pengawasan masih minim perhatian.

 

Fajri memaparkan dalam penelitian audit kepatuhan karhutla yang disusun ICEL pada 2017 terdapat temuan antara lain belum ada pengawasan periodik dan intensif, data pencegahan dan pengawasan yang tidak transparan, serta belum adanya Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut (RPPEG). Kemudian, evaluasi perizinan juga tidak pernah dilakukan.

 

Selain itu, perizinan di bidang lingkungan seringkali dianggap menghambat investasi dan hendak dipangkas. Hal ini terlihat dengan kehadiran Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2018 mengenai Online Single Submission (PP OSS) yang memberi kesempatan Izin Lingkungan hanya berdasarkan komitmen semata.

 

Deputi Direktur Pengembangan Program ICEL, Raynaldo Sembiring mengkritik keseriusan pemerintah dalam menangani isu karhutla. Menurutnya, karhutla yang terjadi saat ini menunjukkan ketidakmampuan pemerintah menangani masalah ini. “Perlu dicatat, periode pertama pemerintahan Jokowi dibuka dan ditutup dengan karhutla. Dengan segala hormat kepada tim yang sudah bekerja di lapangan, masalah ini adalah tanggung jawab utama Presiden,” jelas Raynaldo.

 

Bahkan, dari hasil sengketa informasi antara ICEL dengan Kemenkopolhukam tahun 2018, terungkap bahwa tidak pernah ada laporan pelaksanaan Inpres tersebut, sehingga pelaksanaan pengendalian karhutla yang diamanatkan Inpres 11/2015 patut dipertanyakan.

 

Adapun dalam amar Putusan Sengketa Informasi Nomor 001/1/KIP-PS-A/2017, Komisi Informasi memerintahkan kepada Kemenkopolhukam selaku Termohon untuk menyusun laporan pelaksanaan Inpres No. 11 Tahun 2015 dan memberikannya kepada pemohon sebagai informasi publik yang terbuka untuk umum.

 

“Kemudian terhadap Putusan CLS Palangkaraya yang isinya adalah pelaksanaan kewajiban hukum saja pun, Presiden masih mau mengajukan PK. Seandainya dari tingkat banding Presiden tidak PK, maka kebijakan dan sistem pengendalian karhutla berdasarkan putusan tersebut sudah tersedia. Terakhir yang perlu diingat, sebagian dari isi putusan tersebut berlaku untuk seluruh masyarakat Indonesia.” tutup Raynaldo.

 

Tags:

Berita Terkait