Mempertanyakan Nasib RUU Migas yang Mandeg di DPR
Berita

Mempertanyakan Nasib RUU Migas yang Mandeg di DPR

Keseriusan DPR membahas RUU Migas dipertanyakan. Tarik menarik kepentingan diduga jadi latar belakang terus tertundanya pembahasan RUU ini.

Mochamad Januar Rizki
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi perusahaan migas. Foto: SGP
Ilustrasi perusahaan migas. Foto: SGP

Kejelasan pembahasan Revisi Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (RUU Migas) yang saat ini sedang dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) nampaknya belum ada titik terang. Padahal, RUU tersebut telah masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) sejak 2010.

 

Menyikapi persoalan ini, Manager Advokasi dan Networking Publish What Your Pay (PWYP), Aryanto Nugroho mendesak DPR segera merampungkan RUU tersebut. Menurutnya, menggantungnya pembahasan RUU ini menandakan ketidakseriusan DPR terhadap dunia migas nasional. Bahkan, dia menduga ada tarik ulur kepentingan dalam penyusunan RUU Migas.

 

“RUU Migas sudah masuk dalam Prolegnas sejak tahun 2010. Hingga tahun 2018 ini atau 1 tahun selesainya jabatan DPR periode ini, belum ada progress yang signifikan. Kami menduga ada tarik ulur kepentingan yang membuat RUU Migas tidak selesai,” kata Aryanto saat dihubungi Hukumonline, Senin (9/7/2018). Baca Juga: Sejumlah Masukan Peneliti Terkait Revisi UU Migas

 

Baginya, tertundanya pembahasan ini dinilai berdampak buruk terhadap industri migas nasional. Rendahnya investasi di sektor ini dalam beberapa tahun terakhir dinilai terjadi akibat tidak jelasnya payung hukum di dunia migas. Menurutnya, terus tertundanya penyelesaian RUU Migas menjadi salah satu indikator ketidakpastian hukum yang sangat dibutuhkan pelaku usaha.

 

“Wajar, apabila pelaku usaha tidak tertarik dengan (investasi) industri migas di Indonesia karena penuh ketidakpastian hukum,” kata dia.

 

Aryanto menjelaskan RUU Migas penting untuk diselesaikan karena terdapat beberapa isu yang belum diatur dalam UU. Seperti, tata cara perpanjangan blok migas, Participating Interest (PI), Kelembagaan BUMN Holding Migas, ataupun Gross Split, kebijakan berbentuk Peraturan Pemerintah (PP) atau Permen ESDM.

 

“Repotnya, kalau RUU Migas yang disahkan nanti ternyata berbeda dengan PP atau Permen ESDM, tentu saja berimbas pada industri migas itu sendiri,” kata pria yang disapa Ary tersebut.

 

Dia meminta RUU ini perlu segera diselesaikan karena saat ini terjadi kekosongan payung hukum usai Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan sejumlah ketentuan dalam UU Migas. Selain itu, ancaman krisis energi akibat turunnya produksi dan tidak adanya penemuan cadangan baru juga menjadi alasan perlunya DPR segera menyelesaikan RUU ini.

 

Tak hanya itu, saat ini industri migas nasional juga harus berhadapan dengan gejolak harga minyak dunia yang mengganggu biaya produksi. Terlebih lagi, menurut Ary, industri migas, khususnya sektor hulu kerap diindikasikan adanya praktik mafia migas dan inefesiensi biaya operasional.

 

Sebagai solusi menggantungnya RUU Migas, Ary meminta kepada DPR untuk terbuka dan melibatkan publik dalam proses pembahasannya untuk menghindari adanya kepentingan-kepentingan sesaat. Dia juga meminta pemerintah aktif bersama-sama menyelesaikan RUU ini.

 

Sebelumnya, PWYP Indonesia juga telah menyusun Draf RUU Migas versi Masyarakat Sipil. Terdapat sebelas isu kunci yang menjadi fokus dalam draf tersebut yaitu  perencanaan pengelolaan migas; model kelembagaan hulu migas; badan pengawas, BUMN Pengelola; Petroleum Fund; Domestic Marker Obligation (DMO); Dana Cadangan; Cost Recovery; Participating Interest (PI); Perlindungan atas Dampak Kegiatan Migas; serta Reformasi Sistem Informasi dan Partisipasi.

 

Masih mandeg

Dihubungi terpisah, Wakil Ketua Komisi VII DPR RI, Satya Widya Yudha membenarkan bahwa hingga saat ini pembahasan revisi tersebut masih terhambat di DPR. Dia mengatakan draf RUU tersebut telah diserahkan kepada Badan Legislasi (Baleg) DPR sejak 2017 silam. “Pembahasan RUU migas yang jelas masih mandeg, kami (Komisi VII) telah menyerahkan kepada Baleg sudah lama sudah setahun lalu sekitar 15 bulanan,” kata Satya saat dihubungi Hukumonline, Senin (9/7/2018). 

 

Meski demikian, Satya mengakui RUU tersebut mendesak untuk segera dibahas dan disahkan karena terdapat sejumlah ketentuan dalam UU Migas sebelumnya tidak berlaku lagi setelah keluar putusan MK No. 002/2003 yang membatalkan sejumlah pasal UU Migas dan putusan MK Nomor 36 Tahun 2012 yang membubarkan Badan Pelaksana Kegiatan Hulu Migas (BP Migas). Baca Juga: Keputusan Strategis Terkendala Alotnya Pembahasan RUU Migas

 

“Saat ini industri migas diatur hanya berdasarkan peraturan menteri. Padahal, terdapat beberapa pasal dalam UU Migas invalid karena dibatalkan MK, contohnya seperti bentuk tipe kontrak dan pembubaran BP Migas,” jelasnya.

Tags:

Berita Terkait