Mempertanyakan Keseriusan Pemerintah untuk Merevisi UU ITE
Utama

Mempertanyakan Keseriusan Pemerintah untuk Merevisi UU ITE

Keseriusan sikap pemerintah untuk mengusulkan revisi UU ITE ditunggu dan tak boleh hanya sebatas retorika. Bila pemerintah ingin membuat pedoman interpretasi UU ITE dinilai tidak tepat karena bukan norma peraturan perundang-undangan.

Rofiq Hidayat
Bacaan 5 Menit
Gedung DPR, tempat pembahasan RUU antara pemerintah dan DPR-DPD. Foto: RES
Gedung DPR, tempat pembahasan RUU antara pemerintah dan DPR-DPD. Foto: RES

Rencana Presiden Joko Widodo bakal mengusulkan revisi UU No.19 tahun 2016 tentang Perubahan atas UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) nampaknya belum bulat di internal pemerintah. Padahal, keseriusan pemerintah dalam hal ini sangat ditunggu-tunggu kalangan DPR ataupun masyarakat luas terkait perubahan sejumlah pasal-pasal UU ITE yang dianggap karet dan menimbulkan multitafsir dalam penerapanyan.

Badan Legislasi (Baleg) DPR sudah menanti-nanti sikap pemerintah untuk merevisi UU ITE. Hanya saja memang ada mekanisme yang mesti dilewati agar niatan pemerintah untuk dapat membahas revisi UU ITE. Wakil Ketua Baleg DPR Achmad Baidowi paham betul bagaimana mekanisme pembuatan Rancangan Undang-Undang sebelum ditindaklanjuti dalam pembahasan tingkat pertama.

Misalnya, diawali terlebih dahulu masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2021. Tapi, revisi UU ITE masuk dalam daftar prolegnas jangka menengah periode 2020-2024 dengan nomor urut 7. Praktiknya sebuah RUU dapat masuk dalam daftar Prolegnas Prioritas sebagaimana diatur UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana diubah dengan UU No.15 Tahun 2019.

Pengaturan lebih detil tentang masuknya sebuah RUU dalam tahun berjalan Prolegnas Prioritas diatur dalam Peraturan DPR No.2 Tahun 2020 tentang Pembentukan Undang-Undang. Prolegnas Prioritas jumlah RUU dapat berubah atau diubah di tengah perjalanan. Sebab, praktiknya adanya mekanisme evaluasi per enam bulanan yang disepakati DPR dan pemerintah serta DPD. (Baca Juga: Sejumlah Alasan Pencemaran Nama Baik di Dunia Maya Perlu Dicabut dari UU ITE)

Pasal 33 ayat (1) Peraturan DPR No. 2 Tahun 2020 menyebutkan, “Evaluasi terhadap Prolegnas prioritas tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) huruf b dapat dilakukan sewaktu-waktu”. Evaluasi tersebut dilakukan dengan mengkaji pelaksanaan Prolegnas Prioritas tahunan tahun berjalan dan/atau perkembangan serta kebutuhan hukum masyarakat.

Nah, implikasi dari evaluasi ini dapat berupa perubahan judul RUU dalam prolegnas prioritas tahunan, dikeluarkannya judul RUU dari prolegnas prioritas, serta ditambahkannya judul RUU ke dalam prolegnas prioritas tahunan. “Namun, perlu ditegaskan bahwa keputusan prolegnas harus dibuat dalam rapat tripartit antara DPR, pemerintah dan DPD,” ujar Achmad Baidowi kepada wartawan Kamis (18/2/2021) kemarin.

Politisi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) melihat kalangan DPR tak keberatan untuk mewujudukan keinginan Presiden Joko Widodo yang hendak merevisi UU ITE. Apalagi penerapan UU ITE dengan asas kehati-hatian menjadi perhatian Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo guna menunjang profesionalitas Polri.

Itu sebabnya penggunaan UU ITE tak boleh serampangan menjerat orang atau kelompok yang kritis terhadap pemerintah dengan mengada-ada semata. Sebaliknya, bila memang terdapat unsur pidana terhadap perbuatan pelanggaran UU ITE, maka tetap dapat diganjar hukuman pidana. “Makanya harus dipilah secara benar mana yang bisa dijerat UU ITE dan mana yang tidak bisa,” katanya.

Terpisah, Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur mempertanyakan keseriusan pemerintah yang ingin merevisi UU ITE yang tak boleh hanya sebatas retorika. Dia khawatir ucapan Presiden Joko Widodo sebatas “angin surga” demi populis semata. Karena itu, ucapan Presiden Jokowi sebaiknya mesti ditindaklanjuti dengan langkah konkrit.

Pertama, seluruh pasal-pasal yang multitafsir dan berpotensi overkriminalisasi dalam UU ITE sudah seharusnya dihapus. Ironisnya, rumusan pasal-pasal dalam UU ITE, yang telah diatur dalam KUHP, justru diatur secara buruk. Bahkan tidak jelas rumusannya disertai dengan ancaman pidana lebih tinggi. Misalnya, Pasal 27 ayat (1) UU ITE yang memuat unsur “melanggar kesusilaan”.

Kedua, proses fair trial dalam ketentuan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan dalam revisi UU ITE harus kembali diberlakukan. Termasuk mendukung revisi KUHAP yang mengatur terhadap segala upaya paksa harus seizin penetapan pengadilan. Sementara dalam UU ITE yang sekarang berlaku (UU 19/2016), upaya paksa justru menjadi diskresi aparat penegak hukum dan menghilangkan izin dari Ketua Pengadilan.

Ketiga, pengaturan mengenai blocking & filtering juga harus direvisi. Dia menilai, meski kewenangan ini memang sudah seharusnya dimiliki pemerintah untuk menegakan hukum, tapi perlu adanya kontrol agar tidak terjadi kesewenang-wenangan. Kewenangan mengenai pengaturan blocking dan filtering konten harus diatur secara tegas mekanismenya sesuai dengan prinsip due process of law.

“Terlalu besarnya kewenangan pemerintah, eksekutif melakukan blocking dan filtering konten internet perlu ditinjau ulang dengan memasukan mekanisme kontrol dan pengawasan sebelum dan setelah melaksanakan pemutusan,” ujarnya.

Membuat pedoman interpretasi

Tapi sayangnya, rencana Presiden Joko Widodo nampaknya berbeda dengan langkah yang bakal diambil Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemenkominfo). Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G. Plate malah mendukung upaya yang dilakukan lembaga yudikatif dan kementerian/lembaga untuk membuat pedoman intepretasi resmi terhadap UU ITE agar lebih jelas.

“Kominfo mendukung Mahkamah Agung, Kepolisian, Kejaksaan, dan Kementerian/Lembaga terkait dalam membuat pedoman intepretasi resmi terhadap UU ITE agar lebih jelas dalam penafsiran,” ujar Menkominfo Johnny G. Plate dalam siaran persnya, Selasa (16/2/2021) kemarin.

Menurutnya, UU ITE memiliki semangat menjaga ruang digital Indonesia agar bersih, sehat, beretika, bahkan produktif. Atas dasar itulah pemerintah berupaya agar pelaksanaan UU ITE menerapkan prinsip keadilan. Dia mengingatkan sejumlah pasal yang dianggap “pasal karet” telah diuji materi ke Mahkamah Konstitusi. Hasilnya sejumlah pasal itu dinilai Mahkamah tetap konstitusional. Seperti Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 28 ayat (2) UU ITE.

"Perlu dicatat Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 28 ayat (2) UU ITE, yang kerap kali dianggap sebagai ‘Pasal Karet’, telah beberapa kali diajukan uji materi ke MK dan selalu dinyatakan konstitusional," jelasnya. 

Menkominfo ini mengingatkan Pemerintah bersama DPR telah melakukan revisi terhadap UU ITE pada tahun 2016 yakni UU 11/2008 menjadi UU 19/2016. "Upaya di atas terus dilakukan dan dioptimalkan oleh Pemerintah. Namun, jika dalam perjalanannya tetap tidak dapat memberi rasa keadilan, kemungkinan revisi UU ITE juga terbuka. Kami mendukung sesuai arahan Bapak Presiden," katanya.

Ketua Komunitas Konsumen Indonesia, David Tobing mengkritik keras rencana Menkominfo membuat pedoman intrepretasi resmi UU 19/2016. Menurutnya, tak ada pedoman intrepretasi hukum. Sebab, pedoman tersebut bukanlah suatu norma hukum. “Sehingga apabila tetap dibuat sudah pasti tidak mengikat karena bukan peraturan perundangan,” ujarnya.

David menilai seharusnya yang dilakukan meninjau kembali pengaturan UU ITE berdasarkan hierarki peraturan perundang-undangan mulai dari UU, Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri, dan seterusnya. Selain hierarki, interpretasi pada batang tubuh norma dalam UU ITE tercantum dalam Penjelasan.

Dia menerangkan Lampiran II UU No. 12 Tahun 2011 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, disebutkan Penjelasan berfungsi sebagai tafsir resmi pembentukan peraturan perundang-undangan atas norma tertentu dalam batang tubuh. Penjelasan hanya memuat uraian terhadap kata, frasa, kalimat atau padanan kata/istilah asing dalam norma yang dapat disertai dengan contoh.

“Penjelasan sebagai sarana memperjelas norma dalam batang tubuh tidak boleh mengakibatkan terjadinya ketidakjelasan dari norma yang dimaksud,” kata David Tobing.

Untuk itu, David meminta pembentuk UU harus mempertegas Penjelasan dari pasal-pasal yang dinilai bermasalah bagi publik melalui revisi UU ITE, sehingga tidak terjadi multitafsir dalam implementasi oleh para penegak hukum.

David mengingatkan agar Para Menteri dan lembaga terkait menyikapi UU ITE tidak membuat istilah-istilah yang tidak dikenal dalam hukum. David sangat setuju dengan saran Presiden Jokowi apabila UU ITE terdapat banyak pasal karet yang penerapannya menimbulkan ketidakadilan harus direvisi bersama dengan DPR. “Langkah paling tepat adalah Revisi UU ITE terhadap pasal-pasal yang bermasalah sesuai mekanisme perubahan UU demi kepastian hukum,” tutup David.

Tags:

Berita Terkait