Mempertanyakan Kasasi ‘Terbatas’ dalam Putusan MK Terkait Kasasi Putusan PKPU
Utama

Mempertanyakan Kasasi ‘Terbatas’ dalam Putusan MK Terkait Kasasi Putusan PKPU

Penolakan kreditur dan produk voting di mana pengadilan tidak memiliki pilihan di dalamnya, akan menjadi isu PKPU dan pailit. Yang menjadi pertanyaan adalah hukum apa yang diperiksa oleh hakim MK dari voting perdamaian.

Fitri Novia Heriani
Bacaan 5 Menit
Ilustrasi: HOL
Ilustrasi: HOL

Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan putusan terkait UU No 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU). Dalam putusan tersebut, MK mengabulkan permohonan pengujian Pasal 235 ayat (1) dan Pasal 293 ayat (1) UU No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) terkait putusan PKPU tidak bisa diajukan upaya hukum apapun. Putusan yang dibacakan, Rabu (15/12), MK menyatakan Pasal 235 ayat (1) dan Pasal 293 ayat (1) UU No.37 Tahun 2004 inkonstitusional bersyarat. Sementara pengujian Pasal 295 ayat (1) UU 37/2004 dinyatakan ditolak.  

"Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian. Menyatakan Pasal 235 ayat (1) dan Pasal 293 ayat (1) UU Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai 'diperbolehkannya upaya hukum kasasi terhadap putusan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang diajukan oleh kreditor dan ditolaknya tawaran perdamaian dari debitor’," ujar Ketua Majelis MK Anwar Usman saat membacakan amar putusan bernomor 23/PUU-XIX/2021, Rabu (15/12).

Sebelumnya, Pasal 235 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU berbunyi “Terhadap putusan penundaan kewajiban pembayaran utang tidak dapat diajukan upaya hukum apapun.” Sedangkan, Pasal 293 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU berbunyi “Terhadap putusan Pengadilan berdasarkan ketentuan dalam Bab III ini tidak terbuka upaya hukum, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini.”

Baca:

Ketua Ikatan Kurator dan Pengurus Indonesia (IKAPI), Oscar Sagita, menyatakan bahwa dalam proses judicial review tersebut pihaknya sempat dipanggil oleh Mahkamah Konstitusi (MK) untuk dimintai pendapat mengenai Pasal 235 ayat (1) dan Pasal 293 ayat (1). Kala itu Oscar mengaku dirinya berpendapat bahwa proses PKPU yang berakhir dengan pailit seharusnya diberikan upaya hukum lanjutan yakni kasasi.

Oscar mempertanyakan alasan UU yang memberikan perlakuan berbeda terhadap putusan permohonan pailit dan putusan PKPU yang berakhir dengan pailit. UU Kepailitan memberikan ruang kepada debitur untuk mengajukan kasasi dalam putusan pailit, sementara permohonan PKPU yang berakhir dengan putusan pailit tidak dapat diajukan upaya hukum lanjutan (kasasi).

“Melihat secara penafsiran saya terhadap UU ini terutama pailit dan PKPU, kenapa PKPU dibedakan dengan putusan kepalitan yang memiliki upaya hukum kasasi? Ada pendapat mengatakan kepalitan itu sifatnya langsung dan besar maka harus ada upaya hukum sebagai filter supaya hakim tidak seenaknya membuat putusan. Saya mengatakan kalau memang efek kepalitan jadi titik berat upaya hukum kasasi, kenapa saat perdamaian ditolak, dalam PKPU tidak ada kasasi,” kata Oscar dalam sebuah webinar, Jumat (8/4).

Saat pendapat itu disampaikan, Oscar mengaku terjadi pertentangan di kalangan profesi kurator dan pengurus. Dia menegaskan bahwa pendapat tersebut disampaikan dalam kacamata sebagai yuris, bukan menempatkan diri sebagai pengurus dan kurator.

Kemudian banyak pihak yang menyebut bahwa upaya hukum kasasi dalam putusan PKPU yang berakhir pailit dapat membatasi pekerjaan pengurus. Namun Oscar menilai hal tersebut tidak akan menghambat pekerjaan pengurus. Sebagaimana tugas dan tanggung jawab kurator tetap dapat dilaksanakan meskipun ada upaya hukum kasasi dalam putusan pailit.

“Kalau bicara profesi, ada putusan pailit ketika ada kasasi enggak ada bedanya. Kita juga bebas kerja, secara analogis putusan PKPU berlaku saat itu juga, dan gak ada bedanya. Kalau putusan palit diajukan kaasi kita tetap bekerja, kalau putusan PKPU yang berakhir pailit di kasasi tetap bisa bekerja. Itu yang membuat saya berkeras upaya hukum harus diberikan demi kepentingan keadilan,” jelasnya.

Menurut Oscar tedapat beberapa alasan mengapa diperlukan upaya hukum kasasi dalam PKPU. Yakni PKPU mempunyai konsekuensi hukum yang sangat material terhadap diri debitur, permohohonan PKPU oleh krditur terhadap debitur sarat dengan perdebatan. Kemudian memberikan kesempatan kepada debitur maupun kreditur yang merasa dirugikan untuk mengupayakan koreksi terhadap hasil putusan yang dianggap keliru agar kekeliruan atau kekhilafan yang terjadi pada putusan dapat diperbaiki, dan tidak adanya upaya hukum terhadap putusan PKPU berpotensi mengeliminir asas-asas yang dianut oleh UU Kepailitan dan PKPU, khususnya asas keseimbangan, asas kelangsungan usaha, dan asas keadilan.

Oscar mengaku mendukung putusan MK tersebut. Namun dia menilai ada hal yang tidak tepat. Selain membuka peluang kasasi kepada debitur dalam putusan PKPU, MK juga menyatakan Pasal 235 ayat (1) dan Pasal 293 ayat (1) UU Kepailitan tidak mempunyai  sepanjang tidak dimaknai 'diperbolehkannya upaya hukum kasasi terhadap putusan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang diajukan oleh kreditor dan ditolaknya tawaran perdamaian dari debitor’.

Dalam hal ini Oscar mempertanyakan putusan MK yang mempertimbangkan voting dalam PKPU. Menurutnya voting tidak bisa dijadikan pertimbangan hukum. “Bagaimana logikanya voting jadi pertimbangan hukum. Voting tidak bisa dijadikan pertimbangan hukum,” ungkapnya.

Senada, Ketua Umum Lembaga Kajian Hukum Kepailitan Dan Restrukturisasi FHUI Teddy Anggoro menilai pergeseran prinsip dalam putusan MK. Putusan tersebut, lanjut Teddy, menggeser pengujian Pasal 235 ayat (1) dan Pasal 295 ayat (1) UU 37/2004 dalam putusan No.17/PUU-XVIII/2020 dari konstitusional bersyarat.

Kemudian putusan MK juga menggeser permohonan PKPU yang merupakan jurisdiksi voluntair atau tanpa sengketa menjadi jurisdiksi contentiosa atau terdapat sengketa, mengakui fokus utama PKPU adalah deitur dan adanya kasasi terbatas khusus bagi PKPU yang diajukan oleh kreditur.

Terkait kasasi terbatas dalam putusan MK khusus bagi PKPU yang diajukan kreditur, Teddy menilai terjadi penetapan hukum yang tidak tepat. Jika MK menjadikan putusan pengadilan sebagai bahan pertimbangan dalam memutus, hal tersebut dinilai tepat. Namun penolakan kreditur dan produk voting dimana pengadilan tidak memiliki pilihan di dalamnya sebagaimana diatur dalam UU Kepailitan, akan menjadi isu di PKPU dan pailit. Teddy mempertanyakan hukum apa yang diperiksa oleh hakim MK dari voting perdamaian.

“Dalam hal perdamaian yang ditolak oleh kreditur dan produk voting di mana pengadilan tidak ada pilihan apa-apa kecuali memutuskan bahwa debitur pailit dengan dasar voting. Memang MK mengamanahkan MA untuk menyusun juklak sebagai pedoman, tapi sampai saat ini belum ada. Ini jadi isu. Saya merasa tampaknya hakim MK ketika memutus itu dia mau menyeimbangkan lagi, padahal penyeimbang itu sudah ada ketika dia diberikan kasasi untuk putusan PKPU.  Nah ini mau diseimbangkan lagi dan jika PKPU diajukan kreditur bisa diajukan kasasi saat perdamaian ditolak harus dikasih juga (kasasi) karena bisa juga khilaf atau tidak memahami. Ini jadi pertanyaan mengapa tahu-tahu kok muncul,” kata Teddy pada acara yang sama.

Selanjutnya putusan ini tentunya membutuhkan pengaturan di kemudian hari. Apakah akan mengikuti putusan MK, atau menghapus kewenangan kreditur untuk mengajukan PKPU. Jika kewenangan kreditur mengajukan PKPU dihapuskan dalam UU Kepailitan, maka Teddy menegaskan upaya hukum kasasi tidak diperlukan.

“Penting di kemudian hari ditentukan kita putuskan di penyusnan RUU Kepailitan dua pendapat ini. Apakah ingin tetap dengan putusan MK atau dihilangkan hak kreditur mengajukan PKPU. Kalau tetap dengan putusan MK harus menambahkan norma karena di putusan MK ada upaya hukum terbatas hanya kepada PKPU yang diajukan kreditur. Upaya hukum ini harusnya berlaku untuk kreditur dan debitur dan ketika menyusun rumusan harus ditambahkan norma baru. Jadi ini pilihan di kemudian hari, kedua-duanya sudah merepresentasikan keadilan yang ada di UU Kepailitan itu sendiri,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait