Mempertanyakan Sense of Crisis Pemerintah Melanjutkan Pembahasan RUU Cipta Kerja
Berita

Mempertanyakan Sense of Crisis Pemerintah Melanjutkan Pembahasan RUU Cipta Kerja

Sangat tidak logis untuk terus mendiskusikan omnibus law RUU Cipta Kerja karena ke depan akan muncul norma baru pasca Covid-19.

M. Agus Yozami
Bacaan 2 Menit
Webinar Omnibus Law dalam Perspektif Good Legislation Making dan Implikasi RUU CIpta Kerja terhadap Pembangunan Kelautan Berkelanjutan. Foto: RES
Webinar Omnibus Law dalam Perspektif Good Legislation Making dan Implikasi RUU CIpta Kerja terhadap Pembangunan Kelautan Berkelanjutan. Foto: RES

Pemerintah dan DPR diminta menghentikan pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Cipta Kerja. Dalam kondisi seperti saat ini, Pemerintah dan DPR diminta lebih fokus untuk menangani masalah penanganan Covid-19. Sense of Crisis Pemerintah dan DPR dipertanyakan bila pembahasan RUU Cipta Kerja tetap dilanjutkan.

Hal itu disampaikan Dosen FEB Universitas Gajah Mada (UGM), Rimawan Pradiptyo, dalam Seminar Online Indonesia Ocean Justice Initiative dan Hukumonline “Omnibus Law dalam Perspektif Good Legislation Making, dan Implikasi RUU Cipta Kerja terhadap Pembangunan Kelautan Berkelanjutan”, Rabu (19/8), di Jakarta.

“Riset saya terakhir terhadap RUU Omnibus Law 8 Maret 2020. Kenapa saya berhenti? Bagi saya sangat lucu bila bangsa ini tidak menghentikan omnibus law karena ada Covid-19. Simple saja, satu hal bahwa kita belum tentu survive dengan Covid-19. Jadi kita tidak punya sense of crisis oleh karena itu saya berhenti meneliti omnibus law,” katanya.

Rimawan mengatakan sangat tidak logis untuk terus mendiskusikan omnibus law RUU Cipta Kerja karena ke depan akan muncul norma baru pasca Covid-19. “Perlu diingat, setiap RUU itu bicara jangka menengah sementara dalam satu atau dua tahun lagi akan terjadi perubahan yang ada di depan kita,” ujarnya.     

Menurutnya, dampak yang akan ditimbulkan Covid-19 terhadap perekonomian dunia akan dahsyat sekali. Sedangkan saat ini semua belum tahu norma baru seperti apa setelah Covid-19 dan kapan situasi seperti sekarang akan berakhir. (Baca Juga: Menyoal Good Legislation Making dalam Penyusunan Omnibus Law Cipta Kerja)

“Dan kapan Covid-19 selesai tidak ada yang tahu. Ada yang mengatakan Covid-19 akan ada hingga dua atau tiga tahun mendatang. Pertanyaannya, bagaimana kita bertahan dalam situasi ini,” kata Rimawan.

Sementara, pakar hukum lingkungan Prof. Tommy Hendra Purwaka mengatakan dirinya tidak menemukan analisis ataupun evaluasi mengenai sumber daya yang tercantum dalam naskah RUU Cipta Kerja. Menurutnya, RUU yang terdiri dari 15 Bab dan 174 Pasal itu hanya berfokus pada penyertaan perizinan dengan berbasis risiko. (Baca Juga: Lantaran Covid-19, Jimly Sarankan Omnibus Law Cipta Kerja Ditunda)

“Bila yang diinginkan itu oleh pemerintah, kenapa tidak itu saja yang diatur. Dari sudut pandang hukum kita punya lex specialis derogat legi generali, lex superior derograt legi priori, kan itu semua bisa digunakan,” katanya di acara yang sama.

Menurut Tommy, RUU Cipta Kerja seharusnya dirumuskan dengan memperhatikan keseluruhan sumber daya. Sembilan undang-undang yang ingin disederhanakan dalam RUU Cipta Kerja perlu mengatur tentang sumber daya, baik sumber daya manusia, sumber daya alam, maupun sumber daya buatan seperti kelembagaan, teknologi, dan sebagainya.

“Jadi, sumber daya manusia bisa memanfaatkan sumber daya alam dengan memakai sumber daya buatan. Itu masing-masing sumber daya juga dikelola dan diatur oleh undang-undang. Jadi kalau kita lihat, saya pikir UU nya tidak dipakai dengan baik. Setiap undang-undang pasti memiliki tujuan. Pasti ada satu pasal yang menyatakan tujuannya apa, tentunya ada yang tidak tertulis, yaitu ketertiban umum. Jadi, untuk mencapai tujuan ini setiap undang-undang memiliki mandat,” kata Tommy.

Sebelumnya, Pakar hukum tata negara, Prof Jimly Asshidiqie, menyarankan pembahasan RUU Omnibus Law Cipta Kerja sebaiknya ditunda oleh pemerintah dan DPR. Salah satu penyebabnya, muatan RUU Cipta Kerja sudah tidak relevan saat ini karena penyusunannya dilakukan sebelum pandemi Covid-19, sehingga terdapat muatan dalam rancangan aturan tersebut tidak dapat diterapkan pasca-pandemi.

“Saya bilang Covid-19 mengubah wajah politik dan dunia. Maka RUU Cipta Kerja yang disusun sebelum Covid menjadi tidak relevan. Dievaluasi dulu RUU ini. Ketika semua pelaku bisnis dunia meng-adopt sustainable development tiba-tiba mau merusak lingkungan hidup semaunya. Jadi, ini ditunda dulu terlebih lagi waktu efektif tahun ini tinggal tiga bulan sehingga lebih baik ditunda dulu,” jelas Jimly.

Dia mengatakan pemerintah perlu memperbaiki muatan RUU Cipta Kerja agar lebih menjawab kebutuhan pasca-pandemi Covid-19. Selain itu, dia mengusulkan agar pemerintah memisahkan RUU Cipta Kerja berdasarkan topiknya sehingga ruang pembahasannya lebih fokus. Terlebih lagi, saat pandemi ini proses pembahasan RUU Cipta Kerja dinilai tidak optimal karena pembatasan sosial berskala besar.

Di sisi lain, Jimly mengatakan metode omnibus law baik diterapkan pada sistem hukum di Indonesia. Dia menilai penataan hukum di Indonesia tidak jelas karena banyak peraturan secara de jure masih berlaku tapi de facto tak diterapkan. Sehingga, dia berharap metode omnibus ini dapat memperbaiki ketidakjelasan hukum tersebut.

“Omnibus teknik ini sebagai metode baik dan tepat untuk dipraktikan dalam penataan hukum. Karena Indonesia data hukumnya tidak jelas, banyak data (hukum) de jure berlaku tapi de facto tidak lagi.  Namun, omnibus ini bukan hanya urusan ekonomi seharusnya yang di-omnibus kan itu “semua” sistem hukum. Makanya, saat pidato Pak Jokowi mengenai omnibus itu keliru,” jelas Jimly.

Dia menyarankan agar pemerintah menerapkan metode omnibus law pada regulasi yang ruang lingkupnya tidak luas seperti ekonomi. “Jangan begitu diterapkan (RUU) tebal sekali, banyak sekali, maunya cepat dan menyangkut hak-hak warga negara atau publik,” jelas Jimly.

Tags:

Berita Terkait