Mempersoalkan Pengaturan Jabatan dan Waktu Tertentu bagi TKA
Berita

Mempersoalkan Pengaturan Jabatan dan Waktu Tertentu bagi TKA

Majelis panel meminta para pemohon memperjelas kedudukan hukum dihubungkan dengan kerugian konstitusional dan bagian petitum.

Agus Sahbani
Bacaan 2 Menit
Tenaga kerja asing di Jakarta. Foto: RES (Ilustrasi)
Tenaga kerja asing di Jakarta. Foto: RES (Ilustrasi)

Bertambahnya jumlah tenaga kerja asing (TKA) yang masuk ke Indonesia setiap tahunnya mendorong dua warga negara mengajukan uji materi Pasal 42 ayat (4) UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Pemohon Perkara Nomor 66/PUU-XVIII/2020 ini adalah Slamet Iswanto (Pemohon I) dan Maul Gani (Pemohon II) yang tinggal di Sulawesi Tenggara dan hadir langsung dalam sidang perdana yang digelar di MK, Rabu (12/8/2020).   

Keduanya, mempersoalkan frasa “jabatan tertentu” dan “waktu tertentu” dalam Pasal 42 ayat (4) UU Ketenagakerjaan. Sebab, para pemohon merasa dirugikan dengan berlakunya ketentuan dalam Pasal 42 ayat (4) UU Ketenagakerjaan yang menyebutkan, “Tenaga kerja asing dapat dipekerjakan di Indonesia hanya dalam hubungan kerja untuk jabatan tertentu dan waktu tertentu.”

Para pemohon berdalih, frasa “jabatan tertentu” tidak terdapat pemaknaan yang jelas dan pasti baik pada bagian penjelasan Pasal 42 ayat (4) itu maupun pada bagian batang tubuh pasal-pasal lain dalam UU Ketenagakerjaan. Tidak ada satupun yang dapat menjelaskan secara spesifik kategori jabatan tertentu atau jenis-jenis jabatan apa saja yang dapat diduduki oleh tenaga kerja asing, sehingga ketentuan pasal ini memberi ruang kepada pemerintah untuk memaknainya secara bebas sesuai dengan tafsiran sendiri.

Pasal 42 ayat (4) UU Ketenagakerjaan itu dinilai multitafsir dan diskriminatif terhadap para pemohon selaku tenaga kerja lokal. Sebab, ketentuan Pasal 42 ayat (4) UU Ketenagakerjaan memberi ruang sebesar-besarnya kepada menteri untuk menafsirkan sendiri, atau menentukan sendiri jabatan-jabatan tertentu apa saja yang dapat diduduki oleh tenaga kerja asing, juga tidak menentukan batasan waktu bagi tenaga kerja asing bekerja di Indonesia.

“Ketentuan kategorisasi apa-apa saja atau jenis-jenis jabatan tertentu yang bagaimana yang dapat diduduki tenaga kerja asing, serta ketentuan waktu tertentu diberikan kewenangan kepada menteri untuk mengaturnya,” kata kuasa hukum pemohon, Erdin Tahir dalam persidangan seperti dikutip laman resmi MK.

Bagi pemohon, jabatan-jabatan tertentu yang diperuntukkan tenaga kerja asing sebagaimana termuat dalam Keputusan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 228 Tahun 2019 (sejatinya, red) dapat diisi oleh para pemohon. Begitu pula dengan frasa “waktu tertentu” tidak ada kejelasan sampai kapan batas waktu bagi tenaga kerja asing dapat bekerja di Indonesia.

Jika tidak diatur jangka waktunya, maka jelas merugikan kepentingan para pemohon untuk mendapat kesempatan mendapatkan pekerjaan sebagaimana dijamin konstitusi. “Sehingga frasa ‘jabatan tertentu’ dan ‘waktu tertentu’ bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.”

Menanggapi permohonan, Anggota Majelis Panel Daniel Yusmic P. Foekh menyoroti teknis penulisan permohonan. “Karena Pemohonnya lebih dari satu, maka dituliskan para pemohon. Sedangkan dalam petitum agar dicermati bahwa penulisan undang-undang harus disertai lembaran negara dan tambahan lembaran negara,” saran Daniel.

Kemudian mengenai penulisan pasal, kata Daniel. ada yang huruf pertamanya besar dan ada yang huruf pertamanya kecil. “Tolong dilihat lagi agar penulisannya seragam,” pinta Daniel yang juga mencermati kedudukan hukum para pemohon.

Daniel pun meminta para pemohon yang merupakan lulusan S1 agar melampirkan ijazah dan kartu kerja untuk memperkuat argumentasi para pemohon.

Anggota Majelis Panel lain, Suhartoyo menilai sistematika permohonan para pemohon sudah cukup baik, meskipun baru pertama kali berperkara di MK. “Hanya memang substansinya agar dipadatkan, tidak terjadi pengulangan. Kemudian untuk Kewenangan Mahkamah, rujukannya sudah cukup bagus. Sedangkan untuk kedudukan hukum, perlu dijelaskan lagi keterkaitannya dengan kerugian konstitusional para pemohon dengan berlakunya norma yang diujikan ke MK,” saran Suhartoyo.

Ketua Majelis Panel Saldi Isra mengkritisi petitum para pemohon. “Anda meminta sesuatu yang berbeda (pembatalan pasal, red) dengan yang dijelaskan sebelumnya (dalam bagian alasan permohonan meminta tafsir pasal, red),” ujar Saldi mengingatkan.  

Berikutnya, Saldi menyinggung kedudukan hukum para pemohon dan menyarankan untuk menjelaskan lebih detail tentang jumlah tenaga kerja asing yang dipersoalkan. 

“Semestinya hakim diberikan perspektif masuknya sekian ribu tenaga kerja asing dan sebagainya. Jadi orang bisa menghubungkan, lalu diperiksa bukti-buktinya. Agar para pemohon memiliki kedudukan hukum, perlu ada penjelasan akurat soal tenaga kerja asing. Kalau Anda tidak bisa menjelaskan kerugian konstitusional, Anda dianggap tidak memiliki kedudukan hukum mengajukan permohonan,” katanya.

Tags:

Berita Terkait